Showing posts with label Scribble. Show all posts
Showing posts with label Scribble. Show all posts

Sunday, September 18, 2016

The First

I still remember every little thing about our first meeting. (Although I'm pretty sure it's technically not our first time seeing each other, considering we might have ran into one another in the park or cafetaria like we did many times later. But it's the first time my subsconscious acknowledged your existence and we first introduced ourselves, so yeah, I think that counts enough.) I remember the place, the time, the clothes you're wearing and mine, the ambience, and I swear I can somehow still recognize the smell: a little tangy and sweet of wet leaves. I remember your eyes seemed to reflect the street lights; bright and sunny as was your smile.

Maybe I have been liking you since then.

(I didn't know, of course, not until years later, and I still don't know if that was stupid of me, or it was just right.)

I also remember our first fight. I don't remember what and who started it, but it's still fresh in my mind that I was so confused and scared because we didn't talk and see each other for a whole week. I realized the fight upset me more than the reason why we even started the fight, so I apologized. It wasn't easy because my pride was everything and you did mock me for giving in first, but we're suddenly fine again and that's the most important thing.

Our first time introducing our significant others was awkward. I was the one who suggested a double date, because it sounded so much like a good idea back in my mind but I regretted it as soon as I said it out loud. To think about it, it's partly your fault for agreeing and not realizing how stupid it was. But maybe it was necessary. Thanks to the disastrous double date, I had came to a realization that I was much more comfortable with you than with my own man. I was wondering why, but I didn't want to know the answer just yet.

When the answer did come, it was like a sudden wave, and I was terrified. Of you, mostly, because there was a very good chance you would hate me once you found out. (You wouldn't, because the answer had already came to you too, but earlier, and I was the one who was dumb for longer.) 

You didn't find out. Still don't. Wouldn't even do.

I still remember our last meeting. The place, the time, the clothes you're wearing and mine, the ambience. It smelled like coffee shop and pattiserie and again, you were wearing that sunshine of a smile and I was too blinded to second guess anything. You said you'd come back tomorrow. I never thought that after everything, you would lie.

(But I have read the letter you left me. If only you sent it sooner. We might have been truly happy for once.)

Tuesday, October 20, 2015

Momentum

Tahu-tahu, sore berubah menjadi senja. Merah jingga yang sebentar. Lalu petang datang.

"Sana sholat Maghrib dulu."

"Iya. Di sana...?"

"Masih terang benderang. Teleponnya ditutup dulu aja, nanti baterenya habis."

"Hu um. Nanti kutelpon lagi ya."

"Siap."

***

Pukul satu dini hari. Ribut burung hantu dan sesekali tiupan angin pada rerimbun semak di belakang rumah menimbulkan siul-siul panjang. Merdu, sekaligus mencekam.

"Belum tidur?"

"Acara di TV lagi bagus, tanggung ah."

"Memangnya ngerti mereka ngomong apa?"

"Sedikit. Kalau ada yang lucu aku udah bisa ikut ketawa."

"Ih kirain. Kan bisa bantu-bantu jadi tukang terjemahin drama."

"Kamu sempat nonton drama?"

"Ya iyalah. Nggak ada hiburan lain."

"...."

"Hoaam. Udah ah, ngantuk. Besok jaga pagi."

"Maaf, ya."

"Hm?"

"Memang harusnya aku nggak usah ambil beasiswanya."

"...."

"...."

"Dah."

"Eh--"

Satu kali sentuh dan sambungan terputus. Suara siul panjang kembali datang. Waktunya menarik selimut dan terlelap.

***

"Perang?"

Keringat dingin. Ritme detak jantung semakin cepat. Bernapas pelan-pelan, satu-dua-hembus.

"Rudal balistik ke pusat kota. Korbannya..."

Tidak tahu. Tidak mau tahu.

Langit mendung kelabu. Angin kencang. Sudah satu jam tapi masih belum turun hujan.

***

"Halo?"

Hening.

Jas putih terlipat rapi di atas koper. Di atas paspor. Di atas visa dan tiket pesawat dan bukti reservasi hotel.

"Aku memutuskan berhenti dulu. Lanjutnya tunggu kamu lulus dua tahun lagi saja. Sendirian nggak enak."

Malam ini tidak ada dekut burung apapun. Tidak pula siulan malam, atau sekadar gemerisik semak.

"Sudah telat, ya?"

Semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama: peluru kendali dari Korea Utara menyerang Korea Selatan. Korban tewas 184 orang. Satu orang warga negara Indonesia.

Kau tentu tahu siapa.

Monday, September 14, 2015

Dunia Alisa

Apa sih susahnya tersenyum?

Galih menatap punggung Alisa yang begitu saja melewatinya tanpa basa-basi. Jangankan tersenyum, bahkan untuk menatap matanya saja gadis itu tidak mau. Rasa-rasanya baru kemarin Galih berhasil membuat Alisa tertawa, tetapi hari ini sikapnya kembali seperti biasa. Dingin dan tak peduli. Ia berjalan sendirian melewati kerumunan di lorong dengan kepala tegak dan tatapan lurus ke depan. Seolah Galih dan seisi kampus hanya pemeran figuran tanpa raut muka di film bisu ciptaannya, dengan Alisa sendiri sebagai pemeran utama.

Sudahlah, batinnya. Kalau gadis itu saja tak peduli, mengapa Galih harus?

Ia menghela napas. Sayang sekali. Padahal setelah dua setengah jam percakapan panjang tentang segala hal bersama Alisa kemarin siang saat terjebak hujan, ia terlanjur terpesona. Gadis yang tampak tak tersentuh itu ternyata seorang teman berbicara luar biasa, bahkan tanpa secangkir kopi dan sebatang rokok atau dua untuk doping seperti standar percakapan rutin dengan teman-teman sepahamnya. Seandainya tidak mengalaminya sendiri, Galih hampir tidak percaya dari dua setengah jam itu, ia tidak sedetikpun merasa bosan. Ia berbicara dan mendengarkan sama antusiasnya. Bonus menatap wajah Alisa yang semakin dilihat semakin manis saja. Tahu-tahu, Galih ingin mengenalnya lebih jauh.

Maka saat hujan mereda dan percakapan terpaksa dijeda, Galih-lah yang paling kecewa. Satu-satunya penghiburan yang ia dapat adalah kenyataan bahwa esok hari ia masih bisa bertemu Alisa lagi.

Tetapi hari ini Galih baru sadar; percakapan di hari hujan itu hanya ketidaksengajaan yang eksepsional. Langit cerah sekarang. Dan Alisa tidak sedang berbagi dunia.

***

Dari jarak jauh, diantara kerumunan mahasiswa, bahkan hanya dengan bagian punggung yang menghadap kearahnya, Alisa masih bisa mengenali Galih. Mungkin karena tinggi badannya yang tidak normal. Atau rambutnya yang terkadang berantakan. Atau tas punggungnya yang lusuh, tapi masih tampak mahal. Tetapi mungkin lebih karena Galih punya semacam aura yang Alisa sudah hapal sejak hari pertama berkenalan.

Galih adalah lelaki tipikal. Tinggi dan percaya diri, punya lingkup pertemanan luas, dan beraroma asap tembakau. Awalnya, Alisa berpikir begitu.

Tetapi siapa sangka ia dan Galih bisa mendiskusikan banyak hal. Berawal dari aroma hujan yang menghambur hingga entah bagaimana sampai pada politik kampus berujung ke sejarah Republik Indonesia. Terdengar gila, tetapi untuk seseorang yang awalnya takut terjangkiti Tubercolosis oleh Galih, mengapa Alisa seolah membukakan pintu masuk ke dunianya?

Mungkin, ia hanya terkejut ketika Galih dengan sopan menyapanya saat berteduh dari hujan hari itu. Galih yang berusaha memulai percakapan, namun bersiap-siap berhenti apabila ia terlihat tak nyaman. Galih yang dengan tenang  mendengarkan pendapatnya, meskipun dari matanya Alisa bisa melihat bahwa isinya kepalanya sudah dipenuhi bantahan-bantahan. Galih yang jago melucu tapi tidak kasar. Galih yang.... ah! Alisa bingung, karena mendadak, jantungnya berdebar lebih kencang. Lalu seperti orang bodoh, matanya tergesa mencari di tengah kerumunan. Sosok tinggi berambut berantakan itu masih ada.

Baiklah, batinnya. Mungkin Alisa hanya perlu menyapanya sekali, dan percakapan seperti kemarin akan terulang kembali.

Semoga ia tidak terlalu grogi hingga kehilangan kepercayaan diri.

***

Sunday, October 19, 2014

Spectrum

I almost didn't recognize him.
Yes, he was wearing his signature plaid shirt, jeans, and sneakers. But they weren't the ones so dirty I had to sneak into his room to throw those abominations to the nearest laundy service few years ago. Actually, his bold colored sneakers looked really fancy, and I was sure it must cost him grand.
And something about his face; it seemed brighter. He still did have the scruff along his jawline--he pledged he wouldn't shave them off otherwise he would look underaged--but instead of growing uncontrollably around his face like a homeless man, he trimmed it nicely. Also, he ditched the old fashioned glasses and maybe wore lenses in exchange, because I could clearly see his emerald green eyes; greener than I ever remember.

The thing that gave him away was his smile. Oh, those smiles. I used to do even the silliest things to get those smiles out of him. Now he gave it easily to just anyone, including me, some random girl he accidentally looked in the eyes at a long bathroom line. He didn't recognize me. Yet.

So I decided to break the ice first.

Wednesday, July 30, 2014

Snippet #2

Kasus kali ini berhasil kami selesaikan jauh lebih cepat daripada yang kukira. Kalimat-kalimat ancaman dari Rio padaku di telepon tadi pagi membuatku membayangkan akan menghadapi sebuah kasus rumit dengan klien terburuk yang pernah ada.

Nyatanya, selain fakta bahwa klien kami adalah seorang pemilik perusahaan tambang yang luar biasa kaya raya dan gampang tersulut emosinya, aku hanya perlu berbincang dengannya selama kurang lebih 30 menit sebelum Rio dapat menyimpulkan analisis dan menemukan benda yang semalaman ini ia cari. Ya, hanya sebuah insiden kehilangan barang biasa. Meski tak dapat dipungkiri barang yang hilang adalah sebuah cincin berlian yang bila diuangkan dapat membayar biaya sewa kamar di rumah Nyonya Tan selama kurang lebih 20 tahun, dan imbalan jasa yang kami terima untuk pekerjaan ini mampu membuat Rio kehilangan wajah sok tenangnya selama sepersekian detik pertama si pengusaha mengulurkan cek yang ditandatanganinya pada kami.

Aku tak mampu menghapus senyum di wajahku. Hari masih pagi, udara yang terasa sejuk karena hujan dini hari membuat kaku wajahku dalam ekspresi itu. Sekilas aku melirik Rio yang berjalan dengan langkahnya panjang-panjang di sampingku. Ia selalu terlihat rileks setiap kali sebuah kasus berhasil diselesaikan dengan mulus, dan meski aku tidak melihat senyum di bibirnya, aku yakin bisa melihat pancaran rasa senang dan optimisme dibalik kacamata ber-frame tebalnya. Rio jelas bukan orang yang berorientasi uang, tapi bukan berarti ia tidak akan senang bila menerima selembar cek yang dapat dicairkan menjadi setumpuk besar uang untuk membiayai kegiatan operasional kami.

Aku memutuskan untuk bertanya selagi Rio masih dalam mood yang bagus. "Jadi, makan-makan di restoran mahal atau pesta barbekyu?"

Rio menoleh dengan ekspresi wajah seakan baru menyadari bahwa aku ada di sampingnya, lalu melambatkan langkah. Aku bersyukur karena tak lagi harus berjalan cepat, bahkan hampir berlari, hanya untuk bisa menyamai langkahnya.

"Maksudmu?"

"Kita baru menyelesaikan kasus gampang dengan bayaran luar biasa dan hari ini pun masih panjang. Tidakkah menurutmu kita harus merayakannya?"

Ia tampak berpikir sebentar. "Jadi kau menyarankan kita perlu makan di restoran mahal, berdua?"

Tuesday, April 01, 2014

Stockholm Syndrome #2

Aku tahu bahwa tidak sopan untuk menatap seseorang lebih lama dari tiga detik, tetapi aku tak tahan untuk tidak memperhatikan sepasang mata milik Axel yang sedang fokus menyetir dan memperhatikan jalan. Warnanya hijau. Berkilau cemerlang seperti warna gundu yang sering kumainkan saat masih kecil dulu. 

"Ada apa di wajahku?" tanya Axel, tanpa melirik.

Cepat-cepat kualihkan pandanganku ke jalanan. Langit masih kelabu dan keping salju mulai turun satu-satu. "Apa kau akan membawaku menemui Sam sekarang?"

Ia mengernyit, entah kenapa tampak tak begitu senang. "Kau ingin menemuinya sekarang?"

"Mm, tidak tahu. Maksudku, aku hanya bertanya."

"Oh."

Axel tidak menjawab pertanyaanku.

Sunday, March 23, 2014

Snippet

Hujan yang telah kuamati selama lima belas menit penuh dari balik jendela kaca tebal kamarku akhirnya berhenti, tetapi rasanya aku terlanjur enggan untuk beranjak. Udara masih dingin dan lembab, dan pelukan selimut di tubuhku terlalu nyaman untuk dilepaskan. Namun, lengkingan ponsel yang bergetar di tangan mencegahku untuk meringkuk lebih dalam di bawah selimut dan bergelung di sana hingga pagi menjelang. 

"Halo?"

"Hujan sudah berhenti. Cepat kemari atau akan ada kekacauan besar, yang dapat kupastikan penyebabnya adalah kau."

Rio tidak pernah mengerti adab berbicara di telepon, bahkan untuk sekedar berkata 'halo'. Aku mendesah, menendang selimut dengan kakiku hingga terlempar ke lantai, dan merasakan udara dingin menyergap tubuhku yang hanya berbalut daster tidur kesayangan. "Baiklah, dua puluh menit lagi aku sampai. Itupun kalau jalanan lancar. Kau tahu, seperti biasa hujan selalu mendatangkan kemacetan."

"Omong kosong. Kau akan sampai dalam lima belas menit. Sudah kusuruh orang menjemputmu sejak hujan berhenti tadi."

"Orang?" Aku menelan ludah. Orang-orang Rio tidak pernah membuatku merasa nyaman. "Biar kutebak, Bobby?"

"Yep," jawabnya singkat, lalu dengan satu klik cepat memutuskan sambungan.

Friday, March 07, 2014

Pelangi


Kamu tahu mengapa saya suka pelangi? Bila belum, mari saya bagi ceritanya padamu.

Pada suatu hari, sehabis bermain lompat tali dengan teman-teman sebelah rumah di pekarangan sekolah seberang jalan, saya mencoba menjadi sedikit nakal. Ibu bilang saya sudah harus pulang sebelum jam tiga, tetapi saya masih belum puas karena anak-anak tetangga mau lanjut bermain petak umpet di lorong-lorong kelas yang terkunci. Sekali itu saja, pikir saya. Saya bosan jadi anak yang paling bodoh dalam permainan karena terlalu banyak diam di rumah dan duduk membaca.

Seorang yang mendapat giliran jaga mulai menghitung sampai seratus dengan kecepatan mobil formula. Saya dan yang lainnya buru-buru berlari mencari tempat persembunyian. Beberapa memilih bersembunyi di balik pintu. Atau di kantin yang gelap. Saya tak suka tempat biasa. Saya melompat dari lantai panggung bangunan sekolah dan bersembunyi di bawah lantai. Mereka bilang di bawah ada biawak dan ular sawah, tetapi saya tidak takut. Setahu saya biawak tidak makan manusia, jadi menurut saya makhluk itu hanya sekedar cicak berukuran besar dan panjang. Ular sawah? Saya tidak percaya. Tanah di bawah gedung sekolah lebih cocok disebut rawa dibandingkan sawah yang ada padinya.

Thursday, December 19, 2013

Kasual

Entah patut dibanggakan atau tidak: aku mampu mengenalinya dari kejauhan, bahkan di tengah kerumunan orang. Di mataku ia tampak bercahaya, sehingga dengan mudah aku mengikuti sosoknya yang ramping menyelinap di celah-celah keramaian. Bibirku mulai menyunggingkan senyum yang tidak bisa ditahan.

Pertemuan.

Aku bertemu dengannya beberapa kali dalam sehari. Kebanyakan hanya papasan singkat di jalan, disertai anggukan singkat dan senyuman tipis seadanya. Ia tahu namaku dan aku tahu namanya. Hubungan yang sangat kasual dan sederhana.

Belakangan, rasanya ada yang kurang. Raut wajahnya tampak tak fokus saat kami berpapasan, sehingga jangankan balas menyunggingkan senyum, ia mungkin tak sadar bahwa aku sedang menatapnya dengan senyum terbaik yang ku punya. Ia hanya berlalu, lewat begitu saja, dan yang kudapat hanya samar-samar bau parfumnya. 

Aku tidak pernah meminta banyak. Hanya sedikit senyum dan sapaan singkat sudah jauh lebih cukup. Tetapi ketiadaan keduanya membuatku merasa kehilangan yang besar. Satu bagian rutinitas mendadak menghilang. Satu bagian hati rindu memuja. Dan satu hal yang kutahu; aku harus melakukan sesuatu.

Wednesday, July 31, 2013

After Two Years

She had to be punctual, even though it was more for her satisfaction as a perfectionist than for practical reasons. She hated to deal with the consquences, though. As for now, she sat alone on a big round table in a family restaurant, waited for her ex-classmates from two years ago to appear before her eyes. She knew for sure they would be late; they always did. But she couldn't bring herself to arrive even one minute later than the promised time because she was sure if she let herself do it once, it would slowly become a habit. And she frightened just by the thought of it.

She watched the front door swinging as customers came in and out. No faces she recognized. She checked her cellphone for time and it was already twenty five minutes since she had sat like a fool. The waitresses kept glancing at her; a mixture of annoyed look and sending a pity.

"Ata?"

She turned around and found a tall, well-built man walking toward her direction. He smiled, and his bright eyes disappeared into thin half circles of uncolored rainbow. She couldn't help herself. She recognized that face, she still would even if she saw him from afar, with or without her glasses. It had been two years--and she admitted she had changed so much since then--but some feelings were meant to remain unchanged.

"Hi." She instantly stood up. "Bari, long time no see."

"Yeah. Two years, if I'm not mistaken?"

"You're not." She smiled. "Please, sit. I have been sitting alone waiting for you guys, but twenty five minutes went by and you're the only one showing up."

"Oh, so you're not happy to see me here? That hurts. Maybe I should head back home..."

Suddenly, her pupils dilated. Did she just blow things up? "No, I'm sorry, please just--"

"Haha, it's okay, Ata, I'm just kidding. I'm staying with you."

And she could not stand grinning like an idiot. Well, this was happening. Back in two years ago, who would have thought she could hold a conversation with him longer than two words variation of yes and no.

"Ah, it's raining," she said. Both of their heads turned to view the window. Outside, the rain started to pour  heavily, blurring the thick glasses of window and blocking their vision to whatever happened in the other side of the wall. She let out a sigh. "They're gonna be so much late."

"What a bummer."

She glanced beside. Somehow, there was no subtle indication of him being irritated at all.

--------

Friday, June 21, 2013

Pilihan

Semalaman aku habiskan untuk mengendapkan pikiran. Tidak di rumah. Sengaja aku pergi berbekal sebuah tas ransel sekolah yang berisi laptop dan pakaian ganti ke sebuah hotel bintang empat di pusat kota. Kondisi kamarku cenderung memberi efek distraksi, sehingga aku lebih memilih mengeluarkan sedikit biaya ekstra demi mendapatkan ketenangan dan kenyamanan, serta kupon sarapan buffet di restoran hotel mahal.

Sesaat sebelum bersiap untuk check-out dari hotel, aku meraih ponselku. Berulang kali aku meyakinkan diri untuk tidak lagi meragu: aku mengambil pilihan yang benar, aku tidak akan menyesal. Nada sambung yang akhirnya terdengar membuat jantungku berdebar jauh lebih cepat.

“Halo?”

“Aku mau,” sambarku cepat, tanpa basa-basi. Takut kalau-kalau terlalu lama bisa membuatku berubah pikiran lagi.

Ada jeda sementara, mungkin untuk mencerna kata-kata yang kulempar begitu saja.

“Oh,” ucapnya akhirnya. “Baguslah, kalau begitu.”

“Iya, kan?” Aku setengah tertawa. Lega rasanya.

“Jadi, mau yang abu-abu atau hitam putih?”

“Apa?”

“Sebenarnya, anak kucing persia yang mau diberikan untuk diadopsi ada dua, yang abu-abu garis hitam dan putih totol hitam. Kamu mau aku bawakan yang mana?”

Aku terdiam, tidak mampu berkata apa-apa.

“Halo?”

Sepertinya aku butuh satu malam tambahan untuk mengendapkan pikiran di hotel ini, lagi.

Thursday, May 23, 2013

Monochrome

I sort of hate myself tonight.

I can't seem to like the performance of the band, which is by the way, in my normal condition I would regard as awesome since they play my favorite songs, wear suits, and have no overacting stage act.

Same goes with the food. They have a special buffet for vegetarians and the bruschetta looks incredibly delicious, but I wonder where the heck my appetite goes.

And the people. Ugh, the people. I appreciate their effort to be kind, but it doesn't mean everyone should come up to me and ask the exact same question as the person before. Can't they look at me and tell it to themselves that, yeah, I'm happy, and of course I would since they throw this party for the sole purpose of congratulating my promotion as a partner?

Except I'm not. When I said I hate myself tonight, it's not only because I'm having a hard time to enjoy this special party thrown just for me.

It's because this cursed brain of mine can't help but thinking:

Would this party be more bearable if you were here?

Tuesday, April 23, 2013

Proposal

Seashore. White sand between her toes. Clear blue sky and a little shade darker blue sea. Sea breeze blowing strands of hair which loosely fall from her ponytail. And Ren.

This is what she has been imagining in the last 7 years. This is what she has been praying all night and keeping in mind just a moment before she falls asleep. She wants this... no, she craves for this. She always thinks this is the key to give her happines for the rest of her life.

Now that the thing happens right before her eyes: is it, though?

“Kat?”

Kat snaps back to her right mind. She shifts her eyes from the cloudless sky to the person in front of her. “Um, yes?”

“So the answer is yes?” His eyes suddenly gleam with glee.

“No...” She is confused. And when she sees the eyes of the man kneeling before her suddenly lose sparks, she knows she should say something more. “I mean, I’m not saying yes or no—not now, Ren. I can’t... I can’t get my mind together right now.”

Saturday, March 16, 2013

Lari Pagi

Ritual yang kulakukan setiap mengawali hari adalah lewat di depan rumahmu dengan kedok pura-pura lari pagi. Tidak luput; setiap pukul enam kurang seperempat aku akan melewati blok rumahmu, setelah mengelap semua keringat di tikungan sebelumnya, berlari dengan setengah kecepatan normal ketika mendekati rumah berpagar hitam abu-abu.

Aku tidak melihatmu di sana, tentu saja. Kamu mungkin masih tergolek malas berselimut di kamarmu yang bertirai tebal dan pendingin ruangan disetel ke suhu paling minimal. Kamu tidak akan tahu bahwa hari sudah pagi menjelang siang, dan akan ada seorang gadis berambut kuncir kuda yang berkali-kali berlari melintas, diam-diam melirik jendela di lantai dua dari balik bahu. Itu aku, tetapi kamu tidak tahu. Sebaliknya, aku selalu tahu tentang aktivitasmu, tentang pesta-pesta sepanjang malam yang rutin kamu adakan tiap malam minggu. Termasuk minuman yang kamu sediakan, gadis-gadis yang kamu bawa masuk kamar, dan belakangan, kudengar pula transaksi tablet-tablet terlarang.

Betapa kejamnya waktu. Lima belas tahun berlalu. Ia mengubah seseorang yang dulu kukenal baik seakan pernah berbagi rahim ibu menjadi makhluk asing yang bahkan tak berbagi dunia yang sama lagi. Padahal aku masih yang dulu, aku masih menunggumu berdiri di depan rumahku mengetuk pintu. 

***

Saturday, February 23, 2013

Moving On

“Aku sudah nggak suka lagi sama kamu.” 

Akhirnya kukatakan. Sudah lama kusadari bahwa perasaanku terhadapnya kian memudar, namun sesuatu terjadi tadi pagi. Aku terbangun, membuka mata yang tiba-tiba cemerlang, dan entah bagaimana aku tahu pasti perasaanku padanya sudah sama sekali hilang. Dan bukan aku namanya kalau tidak segera ambil tindakan atau memendam-mendam sesuatu seolah tidak pernah terjadi apa-apa. 

Ia tidak berbicara, tentu saja, hanya menatapku dengan tatapannya yang dulu membuatku tergila-gila. Dulu. Terdengar sangat jauh, seakan sudah lama sekali hal itu terjadi. 

Aku mengabaikannya, lalu mulai sibuk mengemasi barang-barang kenangan dan memorabilia. Aku menyimpan banyak sekali hal-hal yang berhubungan dengannya. Beberapa tersusun rapi di meja belajarku, ditata sedemikian rupa sehingga semua orang yang melihatnya akan tahu bahwa aku menganggapnya sangat berharga. Sekarang barang-barang tersebut sudah tidak artinya, berpindah dari meja belajarku dan laci-laci lemari ke dalam kardus berukuran sedang yang bahkan tidak selera untuk aku rapikan lagi. 

Friday, January 11, 2013

Stockholm Syndrome #1

“Kenapa Stockholm?” Adalah pertanyaan pertama Axel padaku setelah ia menyambutku dan kami berkenalan singkat di depan gerbang kedatangan bandara.

“Aku tidak tahu,” jawabku, mengerjap saat menyaksikan uap keluar dari mulutku saat berbicara. “Kurasa aku hanya... tiba.”

Axel menatapku, kurasa, dengan campuran perasaan antara kesal dan prihatin. Axel Lamont berada di pertengahan umur dua puluhnya, tinggi tegap, pirang, dan harus kuakui, terbilang cukup tampan diantara pria Skandinavia lainnya. Entah karena nasibnya yang sedang buruk atau memang takdirnya sebagai bawahan yang harus selalu patuh, ia ditugaskan oleh atasannya, salah seorang bos di perusahaan asuransi yang secara kebetulan adalah teman mayaku, untuk menjadi pemandu wisata selama aku berada di Stockholm.

Tuesday, December 11, 2012

Kotak Kenangan


Awalnya aku hanya iseng, sungguh. Entah kenapa waktu itu aku sedang ingin membuka dan membaca surat-surat lama yang tersimpan di inbox e-mail. Tentu saja masih tersimpan di sana; bukti-bukti korespondensi aku dan dia selama menjalani hubungan jarak jauh kami yang pertama.

Surat terakhir dikirim olehku, menceritakan perjalanan dua hari satu malam dalam rangka malam keakraban jurusan. Kulampirkan pula beberapa foto hasil dokumentasi perjalanan, dan tentu saja fotoku yang berpose narsis sendirian. Spesial diambil oleh temanku yang berprofesi sambilan sebagai fotografer amatir karena aku ingin dia melihat aku dalam penampilan terbaikkuberharap semoga bisa mengatasi rindu yang terhambat kapabilitas untuk bertemu. Aku menunggu kurang lebih dua minggu demi balasan yang tak kunjung datang, lalu aku mengerti: ia sudah tidak lagi peduli.

Wednesday, November 28, 2012

Hei, Je


Hei, Je.

Maaf aku terpaksa menyita waktu luangmu untuk membaca surat ini dengan menyelipkannya di novel yang belum selesai kamu baca itu. Aku tidak tahu harus dengan cara apalagi meraihmu, karena belakangan ini kamu, dan mungkin juga aku, terlalu sibuk dengan diri masing-masing hingga hampir tak lagi saling menyapa. Tenang, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Bukankah ini yang kita inginkan? Kesibukan? Pekerjaan yang tak kunjung selesai? Pesta demi pesta yang dilewatkan tergesa sambil tersenyum terpaksa pada tamu-tamu yang bahkan tak pernah kita suka?

Oke, aku tidak bermaksud untuk sinis. Tapi entahlah, Je, belakangan aku mulai menyadarinya. Ada yang salah dengan hidupku. Mungkin hidupmu juga. Rasa-rasanya, semua berlalu begitu cepat. Dunia berputar terlalu kencang dan aku terlalu takut untuk tertinggal dalam putaran. Sekarang aku sudah hampir tidak mengenali diriku sendiri, Je, masihkah kamu?

Tuesday, October 23, 2012

I Miss You

Sometimes I feel like I'm missing you,
that kind of hurting feeling
like your heart is ripped open
and it keeps beating and bleeding
but nothing could make it any better
other than you.

But then I ask myself,
"do you ever feel even the tiniest bit feeling
of missing me too?"
I realize you probably won't do
oh, what in the world would make you do?
So that is how I,
even though really hard,
manage to stop missing you.

Monday, October 22, 2012

Penyangkalan

Aku menarik napas panjang, berusaha menjernihkan pikiranku yang tiba-tiba saja berkabut, lalu menyetop taksi yang kebetulan sekali sedang menurunkan penumpang tepat di hadapanku. Diiringi lambaian tangan staf hotel, aku membanting pintu taksi dan mengempaskan diri di jok belakang, napas memburu.

Supir taksi menanyakan tujuanku, tapi aku belum sanggup berbicara. Aku cuma memberi isyarat untuknya terus saja, terserahlah ke mana, toh dia juga diuntungkan dengan argometer yang terus berjalan. Selanjutnya aku mengatur napas yang tinggal satu-satu karena dadaku terasa sesak, sakit sekali.

Beginikah rasanya?