Sunday, September 18, 2016
The First
Tuesday, October 20, 2015
Momentum
Tahu-tahu, sore berubah menjadi senja. Merah jingga yang sebentar. Lalu petang datang.
"Sana sholat Maghrib dulu."
"Iya. Di sana...?"
"Masih terang benderang. Teleponnya ditutup dulu aja, nanti baterenya habis."
"Hu um. Nanti kutelpon lagi ya."
"Siap."
***
Pukul satu dini hari. Ribut burung hantu dan sesekali tiupan angin pada rerimbun semak di belakang rumah menimbulkan siul-siul panjang. Merdu, sekaligus mencekam.
"Belum tidur?"
"Acara di TV lagi bagus, tanggung ah."
"Memangnya ngerti mereka ngomong apa?"
"Sedikit. Kalau ada yang lucu aku udah bisa ikut ketawa."
"Ih kirain. Kan bisa bantu-bantu jadi tukang terjemahin drama."
"Kamu sempat nonton drama?"
"Ya iyalah. Nggak ada hiburan lain."
"...."
"Hoaam. Udah ah, ngantuk. Besok jaga pagi."
"Maaf, ya."
"Hm?"
"Memang harusnya aku nggak usah ambil beasiswanya."
"...."
"...."
"Dah."
"Eh--"
Satu kali sentuh dan sambungan terputus. Suara siul panjang kembali datang. Waktunya menarik selimut dan terlelap.
***
"Perang?"
Keringat dingin. Ritme detak jantung semakin cepat. Bernapas pelan-pelan, satu-dua-hembus.
"Rudal balistik ke pusat kota. Korbannya..."
Tidak tahu. Tidak mau tahu.
Langit mendung kelabu. Angin kencang. Sudah satu jam tapi masih belum turun hujan.
***
"Halo?"
Hening.
Jas putih terlipat rapi di atas koper. Di atas paspor. Di atas visa dan tiket pesawat dan bukti reservasi hotel.
"Aku memutuskan berhenti dulu. Lanjutnya tunggu kamu lulus dua tahun lagi saja. Sendirian nggak enak."
Malam ini tidak ada dekut burung apapun. Tidak pula siulan malam, atau sekadar gemerisik semak.
"Sudah telat, ya?"
Semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama: peluru kendali dari Korea Utara menyerang Korea Selatan. Korban tewas 184 orang. Satu orang warga negara Indonesia.
Kau tentu tahu siapa.
Monday, September 14, 2015
Dunia Alisa
Apa sih susahnya tersenyum?
Galih menatap punggung Alisa yang begitu saja melewatinya tanpa basa-basi. Jangankan tersenyum, bahkan untuk menatap matanya saja gadis itu tidak mau. Rasa-rasanya baru kemarin Galih berhasil membuat Alisa tertawa, tetapi hari ini sikapnya kembali seperti biasa. Dingin dan tak peduli. Ia berjalan sendirian melewati kerumunan di lorong dengan kepala tegak dan tatapan lurus ke depan. Seolah Galih dan seisi kampus hanya pemeran figuran tanpa raut muka di film bisu ciptaannya, dengan Alisa sendiri sebagai pemeran utama.
Sudahlah, batinnya. Kalau gadis itu saja tak peduli, mengapa Galih harus?
Ia menghela napas. Sayang sekali. Padahal setelah dua setengah jam percakapan panjang tentang segala hal bersama Alisa kemarin siang saat terjebak hujan, ia terlanjur terpesona. Gadis yang tampak tak tersentuh itu ternyata seorang teman berbicara luar biasa, bahkan tanpa secangkir kopi dan sebatang rokok atau dua untuk doping seperti standar percakapan rutin dengan teman-teman sepahamnya. Seandainya tidak mengalaminya sendiri, Galih hampir tidak percaya dari dua setengah jam itu, ia tidak sedetikpun merasa bosan. Ia berbicara dan mendengarkan sama antusiasnya. Bonus menatap wajah Alisa yang semakin dilihat semakin manis saja. Tahu-tahu, Galih ingin mengenalnya lebih jauh.
Maka saat hujan mereda dan percakapan terpaksa dijeda, Galih-lah yang paling kecewa. Satu-satunya penghiburan yang ia dapat adalah kenyataan bahwa esok hari ia masih bisa bertemu Alisa lagi.
Tetapi hari ini Galih baru sadar; percakapan di hari hujan itu hanya ketidaksengajaan yang eksepsional. Langit cerah sekarang. Dan Alisa tidak sedang berbagi dunia.
***
Dari jarak jauh, diantara kerumunan mahasiswa, bahkan hanya dengan bagian punggung yang menghadap kearahnya, Alisa masih bisa mengenali Galih. Mungkin karena tinggi badannya yang tidak normal. Atau rambutnya yang terkadang berantakan. Atau tas punggungnya yang lusuh, tapi masih tampak mahal. Tetapi mungkin lebih karena Galih punya semacam aura yang Alisa sudah hapal sejak hari pertama berkenalan.
Galih adalah lelaki tipikal. Tinggi dan percaya diri, punya lingkup pertemanan luas, dan beraroma asap tembakau. Awalnya, Alisa berpikir begitu.
Tetapi siapa sangka ia dan Galih bisa mendiskusikan banyak hal. Berawal dari aroma hujan yang menghambur hingga entah bagaimana sampai pada politik kampus berujung ke sejarah Republik Indonesia. Terdengar gila, tetapi untuk seseorang yang awalnya takut terjangkiti Tubercolosis oleh Galih, mengapa Alisa seolah membukakan pintu masuk ke dunianya?
Mungkin, ia hanya terkejut ketika Galih dengan sopan menyapanya saat berteduh dari hujan hari itu. Galih yang berusaha memulai percakapan, namun bersiap-siap berhenti apabila ia terlihat tak nyaman. Galih yang dengan tenang mendengarkan pendapatnya, meskipun dari matanya Alisa bisa melihat bahwa isinya kepalanya sudah dipenuhi bantahan-bantahan. Galih yang jago melucu tapi tidak kasar. Galih yang.... ah! Alisa bingung, karena mendadak, jantungnya berdebar lebih kencang. Lalu seperti orang bodoh, matanya tergesa mencari di tengah kerumunan. Sosok tinggi berambut berantakan itu masih ada.
Baiklah, batinnya. Mungkin Alisa hanya perlu menyapanya sekali, dan percakapan seperti kemarin akan terulang kembali.
Semoga ia tidak terlalu grogi hingga kehilangan kepercayaan diri.
***
Sunday, October 19, 2014
Spectrum
The thing that gave him away was his smile. Oh, those smiles. I used to do even the silliest things to get those smiles out of him. Now he gave it easily to just anyone, including me, some random girl he accidentally looked in the eyes at a long bathroom line. He didn't recognize me. Yet.
So I decided to break the ice first.
Wednesday, July 30, 2014
Snippet #2
Tuesday, April 01, 2014
Stockholm Syndrome #2
Ia mengernyit, entah kenapa tampak tak begitu senang. "Kau ingin menemuinya sekarang?"
"Mm, tidak tahu. Maksudku, aku hanya bertanya."
"Oh."
Axel tidak menjawab pertanyaanku.
Sunday, March 23, 2014
Snippet
Friday, March 07, 2014
Pelangi
Thursday, December 19, 2013
Kasual
Wednesday, July 31, 2013
After Two Years
Friday, June 21, 2013
Pilihan
Sepertinya aku butuh satu malam tambahan untuk mengendapkan pikiran di hotel ini, lagi.
Thursday, May 23, 2013
Monochrome
I can't seem to like the performance of the band, which is by the way, in my normal condition I would regard as awesome since they play my favorite songs, wear suits, and have no overacting stage act.
Same goes with the food. They have a special buffet for vegetarians and the bruschetta looks incredibly delicious, but I wonder where the heck my appetite goes.
And the people. Ugh, the people. I appreciate their effort to be kind, but it doesn't mean everyone should come up to me and ask the exact same question as the person before. Can't they look at me and tell it to themselves that, yeah, I'm happy, and of course I would since they throw this party for the sole purpose of congratulating my promotion as a partner?
Except I'm not. When I said I hate myself tonight, it's not only because I'm having a hard time to enjoy this special party thrown just for me.
It's because this cursed brain of mine can't help but thinking:
Would this party be more bearable if you were here?
Tuesday, April 23, 2013
Proposal
Saturday, March 16, 2013
Lari Pagi
Saturday, February 23, 2013
Moving On
Friday, January 11, 2013
Stockholm Syndrome #1
Tuesday, December 11, 2012
Kotak Kenangan
Wednesday, November 28, 2012
Hei, Je
Tuesday, October 23, 2012
I Miss You
that kind of hurting feeling
like your heart is ripped open
and it keeps beating and bleeding
but nothing could make it any better
other than you.
But then I ask myself,
"do you ever feel even the tiniest bit feeling
of missing me too?"
I realize you probably won't do
oh, what in the world would make you do?
So that is how I,
even though really hard,