Tuesday, April 01, 2014

Stockholm Syndrome #2

Aku tahu bahwa tidak sopan untuk menatap seseorang lebih lama dari tiga detik, tetapi aku tak tahan untuk tidak memperhatikan sepasang mata milik Axel yang sedang fokus menyetir dan memperhatikan jalan. Warnanya hijau. Berkilau cemerlang seperti warna gundu yang sering kumainkan saat masih kecil dulu. 

"Ada apa di wajahku?" tanya Axel, tanpa melirik.

Cepat-cepat kualihkan pandanganku ke jalanan. Langit masih kelabu dan keping salju mulai turun satu-satu. "Apa kau akan membawaku menemui Sam sekarang?"

Ia mengernyit, entah kenapa tampak tak begitu senang. "Kau ingin menemuinya sekarang?"

"Mm, tidak tahu. Maksudku, aku hanya bertanya."

"Oh."

Axel tidak menjawab pertanyaanku.


Sisa perjalanan terasa canggung. Aku beringsut tak nyaman di jok; pegal karena duduk terlalu tegak, tapi takut untuk bersandar karena tak mau kelihatan terlalu nyaman. Salju turun semakin lebat di luar, membuat pemandangan di depan semakin buram. Aku menggenggam sabuk pengaman di dadaku erat-erat.

"Apakah salju selalu setebal ini di sini?" Kuberanikan diri bertanya. Ini pengalaman pertamaku melihat salju, tetapi kurasa musim dingin yang kulihat di televisi tak sampai semenakutkan ini.

"Tidak selalu. Mungkin ini cuaca terburuk di musim dingin tahun ini." Ia tampak berpikir sebentar. "Kau datang dari negara tropis. Kenapa datang saat musim dingin?"

Aku memutar mata. Apakah ini pertanyaan retoris, atau ia benar-benar tidak tahu jawaban dari pertanyaan itu?

"Karena aku dari negara tropis, maka aku datang saat musim dingin. Aku belum pernah melihat salju sebelumnya."

Tak kusangka, Axel tertawa. Bukan tawa ramah demi sopan santun, tetapi kebalikannya: ia menertawakanku. Aku tak tahu apakah harus merasa tersinggung atau hanya bingung.

"Jadi, kau datang jauh-jauh ke Swedia hanya demi butiran salju? Benarkah? Oh, luar biasa. Aku tak perlu repot-repot membawamu ke Danau Mälaren, atau ke Woodland Cemetery, dan lain-lain. Hei, aku bahkan tak perlu mengantarmu ke hotel. Aku bisa menurunkanmu di sini dan membiarkanmu puas bermain salju seharian, atau semingguan, sesukamu. Hebat."

"Hei," aku merengut, "tidak lucu."

"Oh, percayalah, itu memang lucu."

Aku hanya mendengus. Apa yang salah dengan keinginan melihat salju? Kurasa 99% orang di Indonesia bercita-cita ingin melihat salju setidaknya satu kali seumur hidupnya; 1% yang tidak, tinggal di Pegunungan Jayawijaya.

Axel masih menyeringai saat ia menghentikan mobil dan menepi di pinggir jalan. Dan ia sungguh menikmati perubahan ekspresi wajahku yang tiba-tiba panik.

"Kau tidak akan benar-benar menurunkanku di sini, kan? Aku akan melaporkanmu pada Sam."

Alisnya berkerut sejenak saat mendengarku menyebut nama Sam, tapi tak urung memamerkan senyumnya kembali. Gigi-geligi rapi putih cemerlang itu seakan mengejekku yang mulai nyaris ketakutan.

"Selamat menikmati badai salju pertamamu," ucapnya santai, lalu menurunkan sandaran jok, melipat tangan di dada, dan mulai memejamkan mata.

No comments:

Post a Comment

What do you think?