Kamu merasa pusing. Kamu
memutuskan untuk mencuci wajahmu dan menggosok gigi terlebih dahulu sebelum
sarapan; sepotong sandwich telur keju terdengar menggiurkan. Sejenak kamu
menatap cermin. Lingkaran hitam di sekitar matamu terlihat mengganggu. Bila
masih tersisa cukup waktu sebelum berangkat kerja, kamu mempertimbangkan untuk
mengompres matamu dengan mentimun atau es batu.
Mesin pembuat kopi terletak di
salah satu sudut di dapur tetapi kamu tidak tergerak untuk menggunakannya. Kamu
lebih suka menyeduh kopi instan kemasan yang kamu beli dalam jumlah besar, lalu
kemudian menambahkan non-dairy creamer banyak-banyak hingga warna kopimu
menjadi hampir sepucat susu. Kamu menyeruputnya sambil membuka kulkas,
mengambil bahan-bahan untuk sandwich telur kejumu, namun tertegun saat
melihat ada sekaleng kornet di rak kulkasmu. Kemudian kamu membuka freezer dan
mendapati sebungkus burger daging sapi yang sudah terbuka berada di dalamnya.
Kamu hampir tidak mempercayai penglihatanmu. Sudah empat tahun terakhir sejak
kamu memutuskan untuk menjadi vegetarian, meski kamu masih tidak bisa menahan
godaan akan produk telur dan susu. Tiba-tiba kamu merasakan kepalamu pusing
kembali.
“Kamu terlihat pucat. Mungkin kurang zat besi. Kamu yakin tidak mau daging burgerku?”
Matamu membesar. Suara apa tadi? Ya Tuhan, batinmu. Kamu pasti benar-benar
kurang tidur hingga mendengar suara-suara aneh dalam kepalamu. Apa sebaiknya
kamu izin dari tempat kerjamu hari ini? Kamu bisa menggunakan jatah cutimu satu
hari. Rasa-rasanya jatah cutimu setahun ini belum sempat tersentuh sama sekali.
Ya, ya. Mungkin lebih baik kamu mengambil cuti.
Dengan cekatan kamu membuat sandwich,
lapis demi lapis, tidak lupa menuangkan banyak-banyak saos sambal di atas telur
mata sapi. Setelah selesai, kamu menjepit sandwich di mulutmu lalu
kembali ke kamar tidur untuk mengambil ponsel yang masih kamu tinggalkan di
bawah bantal.
Tetapi.... 18 missed calls? 31
messages received? Ada apa ini? Apa kamu baru melewatkan suatu hal besar
yang sedang terjadi?
Namun, belum sempat kamu menekan speed
dial nomor 1—milik sahabat baikmu—tiba-tiba layar ponselmu berkedip
menandakan ia sedang menghubungimu. Ragu-ragu, kamu menerima panggilan itu dan
menempelkan ponselmu ke telinga.
“Halo?”
“Rin? Kamu baik-baik saja?” Gadis
itu tiba-tiba berteriak di sambungan teleponnya, membuat telingamu berdenging
selama beberapa detik. Benar-benar berlebihan, seolah-olah sedang ada sesuatu
yang buruk terjadi padamu.
“Ya... aku baik-baik saja.”
Tiba-tiba kamu teringat rasa pusing di kepalamu yang hilang timbul tidak
terkendali. “Eh, tidak juga. Karena kebetulan kamu meneleponku, bisa tolong
sekalian sampaikan izin cutiku pada Pak Kepala Bagian? Aku sedang merasa tidak
enak badan hari ini...”
Gadis itu terdiam. Hei, dia tidak
mungkin berpikir kamu sedang berbohong, kan?
“Aku mengerti, Rin. Tetapi
syukurlah kamu mengangkat teleponmu akhirnya. Dua hari ini kami semua
benar-benar mencemaskanmu.”
Dua hari? Dua hari apa?
Kepalamu berdenyut dan terasa
semakin sakit.
“Tetapi Rin, cutimu kan sudah
habis untuk.... yah, kamu tahu sendiri. Bahkan dua hari ini aku sibuk
menyakinkan Pak Kepala Bagian bahwa kamu benar-benar dalam kondisi terburukmu
dan tidak mungkin memaksakan diri untuk datang ke kantor. Entahlah hari ini...”
Ada apa dengan kepalamu? Dan
kenapa kamu tidak mengerti apa yang dimaksud gadis itu? Kamu menutup telepon
dengan sepihak, lalu menyambar handuk yang tergantung dan buru-buru masuk ke kamar
mandi. Kamu butuh mendinginkan kepala.
Dan kamu baru menyadarinya. Peralatan
mandimu tiba-tiba mengganda. Sepasang sikat gigi. Dua botol shampo. Sebotol after-shave....
A-after-shave?
“Aku paling suka kalau kamu habis cukuran.”
“Tambah ganteng?”
“Mm, ya, itu juga sih... tetapi kamu jadi wangi. Rasanya betah mencium kamu lama-lama.”
Siapa?
“Kamu menyia-nyiakan makanan-makanan paling lezat di dunia. Kamu yakin nggak mau berhenti jadi vegetarian?”
“Nggak.”
“Bahkan kalau aku memohon dan berlutut di kakimu?”
“Hahaha, tetap enggak.”
Sebentar, rasanya kamu tahu...
“Bagaimana rasanya?”
“Mm.”
“Biasa saja?”
“Mmmmm.”
“Oke, terserah, silakan kembali minum kopi instanmu yang nggak sehat itu...”
“Rei.... aku serius. Ini kopi terenak yang pernah aku minum. Aku berjanji akan berhenti minum kopi instan selama kamu membuatkan kopi seenak ini setiap hari untukku.”
Rei? Tiba-tiba jantungmu
melewatkan satu degupan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipismu.
“Kenapa menyetelnya sedingin ini? Aku nggak suka dingin, Rei...”
“Supaya kamu tidak punya alasan untuk melepaskan pelukanku.”
Semuanya berkelebat cepat seperti
kereta api yang hanya melintas di stasiun tempat ia menunggu setiap pagi. Rei,
Rei, Rei...
Kecelakaan itu... mobilnya yang
terbalik... darah, banyak sekali darah... dan teriakanmu yang tak
henti-hentinya saat menyadari bahwa itu dia, Rei, Rei-mu yang paling kamu cinta...
Lalu ada pemakaman. Orang-orang
yang menangis. Bisikan-bisikan yang mereka harapkan bisa menguatkan, tetapi
bagimu hanya omong kosong yang tidak artinya. Dan air matamu yang sudah tidak
bisa jatuh. Dan lidahmu yang kelu. Dan sebagian dirimu yang ikut terkubur di
dalam tanah dibawah nisan itu.
“Rei...”
Kamu berlari keluar, menuju ruang
keluarga. Apartemen yang baru saja kamu tempati bersama Rei, yang cicilannya
masih harus kalian tanggung lima tahun lagi, tiba-tiba terasa terlalu luas dan
lengang. Potret kalian berdua tergantung di sana. Diambil seminggu yang lalu,
saat kalian sibuk berbulan madu.
Ya Tuhan, kalian baru saja
bersama satu minggu. Tetapi Rei sudah pergi.
Kini hanya tinggal kamu sendiri.
ini ... bagus! :)
ReplyDeleteawwww, makasih bar :')
DeleteJadi,,,, sebenernya Orin milih Reinaldi??? Surpriseee...
ReplyDeleteterus rei mati dan orin balik ke pelukan hiro wkakakaka
Deleteduh pengen nangis bacanya :'(
ReplyDelete:')
Deleteterima kasih sudah nyempetin baca :)