Pembicaraan ini sudah lama, sudah
basi. Harusnya. Tetapi mau tidak mau muncul lagi ke permukaan gara-gara buku angkatan.
Saat itu kami sedang kumpul-kumpul di kamar kost-kostan salah satu personil—tanpa
formasi lengkap karena personil yang satu lagi sedang sibuk menjemput nyonya
besarnya—dan mengomentari beberapa foto di buku angkatan tersebut. Lalu saya
terpaksa harus menunjukkan sesuatu, dan komentar itu pun muncullah.
“Hah, serius? Kok bisa?” dan
sejenisnya langsung mengalir dari mulut bocah-bocah yang walaupun kurang ajar
tetapi sudah saya anggap seperti abang sendiri.
Saya malas menjawab, cuma
mesem-mesem sendiri. Entah senang atau sedih, hahaha.
Dan tentu saja, tidak cukup satu
komentar. Level penghinaan semakin naik dan naik sampai akhirnya keluarlah
kalimat pamungkas itu: “Ibaratnya kayak gembel dikasih duit seratus juta, terus
dibuang gitu aja.”
Tawa pun meledak, termasuk dari saya
yang ikut-ikutan sumbang suara. Selama lima belas menit kemudian tema
pembicaraan masih seputar itu, sebelum bola panas itu saya lempar ke mereka
yang saya tuduh belum move-on, maho,
dan sebagainya.
Diam-diam, pikiran saya sudah
penuh saja.
Gembel? Mungkin. Seratus juta? Mungkin
juga. Tetapi mungkin si gembel bukannya bodoh karena membuang duit seratus
juta, tapi sebenarnya jauh lebih cerdas, karena tahu duit seratus juta tadi
memang ditujukan bukan untuknya. Bagaimana nanti bila ternyata itu cuma duit
pinjaman, lalu saat sedang senang-senangnya dinikmati, tahu-tahu sudah terjerat
lilitan utang?
Sudahlah. Si gembel lebih baik
berberes hidupnya dulu, supaya tidak gembel lagi. Naik level, gitu. Jadi suatu
saat, jika diizinkan untuk mendapatkan uang seratus juta atau lebih besar lagi,
tidak akan ada lagi yang terkaget-kaget, heran, atau berpikir macam-macam.
Karena memang sudah pantas dan sewajarnya diterima, jadi tidak akan dibuang.
Tidak lagi. J
No comments:
Post a Comment
What do you think?