Saya paling nggak suka kalau dibilang gendut. Titik. Nggak peduli bahwa orang lain meyakinkan saya kalau saya sama sekali nggak gendut, tapi selama masih ada satu orang yang bilang saya gendut, saya akan sangat sensitif dengan yang namanya berat badan dan bakalan mogok makan semingguan.
Apa saya pernah bilang di blog ini kalau saya vegetarian? Kalau belum, berarti saya bilang sekarang: ya, saya seorang vegetarian. Sebenarnya sih masih semi-vegetarian karena susah buat meyakinkan orang-orang tentang pilihan hidup menjadi seorang vegetarian: kalo saya beli makan di warteg terus cuma pake lauk sayur-sayuran, pasti saya dikira anak kosan kere gara-gara nggak makan pake ayam. Selain karena pengen lebih langsing, saya juga pengen lebih sehat berhubung saya selalu ketakutan mendengar penyakit-penyakit serem kayak stroke atau diabetes atau apa yang penyebab utamanya adalah pola makan yang nggak sehat.
Oke, sejujurnya menurut saya orang yang ngatain saya gendut itu gila karena BMI saya 16,8 dan itu masih dalam kategori underweight. Tapi normal weight itu 18,5 dan saya nggak mau jadi orang normal, sebelum ini BMI saya selalu di bawah angka 17 L Kalo saya kurus-tinggi-langsing, siapa tahu waktu saya ke Korea, saya ditawarin buat jadi anggota girlband baru atau gantiin personel SNSD atau apa. Yang penting kan punya badan langsing dulu, kalau soal tampang mah gampang, tinggal oplas dan jengjengjeng kalian semua akan memutar video saya dan anggota girlband saya berulang-ulang sebelum tidur.
Satu hal yang saya takutkan dari perasaan nggak-suka-jadi-gendut-ini (selain omelan teman-teman saya karena ketidaktahudirian saya yang sok gendut) adalah jangan-jangan saya mengidap anoreksia nervosa? Saya beberapa kali cuma makan sekali sehari gara-gara insiden dibilang gendut itu dan sama sekali nggak berselera dengan cemilan-cemilan macam cokelat putih dan Oreo yang semula sangat saya sukai. Saya juga sering membiarkan diri saya menikmati rasa lapar dan mengatasinya cuma dengan minum air putih—karena katanya bisa bikin kulit tambah putih. Kalau dipikir-pikir, ya, saya waktu itu kayak orang gila.
Saya takut jadi gendut, ya. Saya, yang jarang makan ayam dan tidak pernah makan daging, bahkan cuma makan bagian putihnya di telor ceplok karena saya tahu kuning telor banyak lemak jenuhnya. Saya minum teh hijau daripada teh melati.
Tapi saya suka es krim. Saya suka Oreo, saya suka Toblerone dan Silverqueen White. Saya suka mie instan dan saya suka gorengan pinggir jalan yang banyak minyak-minyaknya itu. Dan saya paling suka kerupuk, suka sekali.
Jadi saya berpikir, saya jadi kurus buat apa, buat siapa? Artis Korea bukan, cowok tidak punya. Mama saya malah terus-terusan bilang kalau saya terlalu kurus, mungkin baru berhenti waktu berat saya menembus angka 85 dan saya butuh kain seprei untuk dijahitkan menjadi baju baru.
Lagipula teman-teman saya yang baik itu, yang mungkin karena saking kesalnya karena saya selalu bersikap seolah-olah jadi wanita paling gendut sedunia, pada akhirnya akan bilang: “Badan kamu udah bagus kok, Des, mau jadi lebih kurus apalagi coba.” Lalu cuping hidung saya akan mengembang dan bibir tersungging bahagia.
Jelas, saya bukan pengidap anoreksia. Mana ada seorang anoreksik yang sadar dirinya anoreksia dan mengumumkannya secara terbuka? Lagipula setelah efek dibilang-gendut usai saya pasti langsung habis-habisan balas dendam makan semua makanan yang saya suka tanpa pikir panjang. Sehat atau tidak sehat, menu vegetarian ataupun bukan.
Pada akhirnya, saya tahu bahwa saya cukup mencintai diri saya sendiri apa adanya. Bukan mengeluh panjang lebar tentang kenapa saya tidak cukup kurus, padahal saya tahu bahwa seperti halnya terlalu gendut, terlalu kurus juga bisa sangat berbahaya untuk kesehatan. Begitu pula saya tidak akan menyalahkan diri saya yang kurus—atau saya lebih senang kalau kita sebut langsing saja—karena saya yakin begitu banyak wanita di luar sana yang rela membayar mahal untuk bisa mendapatkan tubuh seperti yang saya punya. Saya mungkin kesulitan dalam mencari pakaian kuliah yang ukurannya pas dengan saya (karena seragam saya yang ukuran S saja masih gedombrongan kemana-mana) dan dengan lapang dada menerima bahwa jaket almamater tidak bisa kelihatan pas kalau saya pakai. Tapi saya juga senang masih bisa memakai kaos-kaos oblong yang saya punya sejak kelas 3 SMP, juga terhindar dari memakai pakaian-pakaian ketat yang memamerkan aurat.
Yah, intinya, seperti kata-kata bijak yang sudah sering kita dengar bersama: kalau saya sendiri tidak bisa menerima dan mencintai diri saya apa adanya, bagaimana orang lain bisa melakukannya?
Hakakakaka.... apa semua cewek gini ya? Benar banget itu. Cintai diri sendiri apa adanya dan syukuri apa yang udah kita miliki. Kalo saya malah dibilang kurus jadi pengen gemuk. :p
ReplyDeletegyahahahaha...
ReplyDeleteG.E.N.D.U.T
:P
des,,masih vaggie,,subhanallah,,sip-sip,,
ReplyDeletekeep health yah,,gpp kurus yg pentih sehat lahir batin,,hoho
aaih, BMI saya yang cuman 16 aja ngga protes-protes amat.. malah biasanya orang sekitar yang pada kasihan sama saya.. hihihi
ReplyDeletekuncinya sih pada bagaimana meng-enjoy-kan diri sendiri.. karena pede tuh dari dalem kaan..
Waduh waduh, gemuk darimana ci? hmmm
ReplyDelete@ Renaldy
ReplyDeleteIya sama, saya juga kalo dibilang gemuk jadi pengen kurus :p
@ Rifqi
Heh ga sensitif banget sih T.T.T.T.
@ Ayu
Hihi, iya yu, jd inget dulu kelas sempat heboh pas mesen nasi kotak gara-gara ada satu orang yg vegetarian :p
@ Gaphe
Iya, saya pede kok, buktinya pengen lebih kurus lagi, haha XD
@ Angah
Ade yg bilang gemuk, banyaaak, si jibi juga tuh pernah T.T
HAHAHAHAHA,
ReplyDeletetulisan bagus, anak gendut!
:p
haha, jadi diri sendiri aja yang penting, eh salah, jadi yang terbaik untuk diri sendiri :)
ReplyDeleteIni juga fiksi..?
ReplyDeleteKeren2 lho ceritany. :)
@ betebe
ReplyDeleteHEH saya udah langsing lagi sekarang yaaaaaa
@ adi
he'eh, itu yang paling penting :)
@ wisesa
kalo ini mah cuap2 biasa, yg fiksi cuma yg ada label 10 Hari Menulis Flash Fiction doang..
wah makasih :)