Tidak, Sayang, kamu tentu tidak tahu, bahwa kata-kataku yang tajam selama ini jauh dari kesan yang kautangkap tentangku. Begitu pula tentang tatapan jahatku. Wajahku yang tanpa senyum. Usahaku untuk berusaha berada paling dekat sejauh lima meter darimu. Atau apapun itu, yang kau pikir kulakukan padamu, karena aku merasakan hal tertentu terhadapmu.
Kamu pasti sudah sering mendengar kalimat bijak tentang jangan menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja. Awalnya, kupikir aku sudah berhasil melakukannya padamu. Aku tidak tertipu, tidak terpukau oleh penampilan luarmu semata seperti gadis-gadis muda hilang akal yang langsung berjatuhan di sisimu saat kau lewat atau apa. Kita sudah sama-sama dewasa; sepertimu yang tidak tertarik kepada gadis-gadis muda yang malang itu, tidak pula aku tertarik padamu sebagai penyebab mengapa gadis-gadis itu bersikap seperti kebanyakan menghirup lem. Aku menilaimu sejak kita pertama bertemu, langsung menyimpulkan di detik mata kita pertama kali beradu: aku tidak akan tertarik kepadamu hanya karena wajahmu terpampang di sampul majalah wanita favoritku bulan lalu dan tinggi badanmu membuatmu tidak cukup melewati pintu masuk ruang kantorku.
Sayang, ternyata semesta jauh lebih luas dari yang pernah kubayangkan di masa kecil dahulu. Begitu banyak kemungkinan yang terhampar luas tepat di bawah hidungku—terlalu dekat untuk diabaikan, namun cukup jauh untukku menyadari kenyataan-kenyataan apa saja yang ia coba paparkan. Sebagai satu contoh kecil, sebutlah... kamu. Aku tidak tahu kita akan sering bertemu. Aku tidak pernah tahu kita punya minat dan kesukaan yang sama. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kita punya begitu banyak bahan cerita untuk diobrolkan berdua, baik yang harus mengerutkan kening berpikir atau melengkungkan punggung tertawa. Dan satu hal paling penting, kemungkinan yang tidak pernah kubayangkan ketika di hari itu kita pertama kali berjumpa: kesimpulanku telah salah dan ternyata akulah yang menilai sesuatu hanya dari penampakan luarnya saja.
Rasanya bodoh sekali saat menyadari bahwa aku begitu naif. Aku berusaha untuk tidak tertipu oleh seindah apapun penampilan luar sesuatu hingga malah mengabaikan bahwa sesuatu itu juga berkemungkinan sama indahnya di dalam. Seperti kamu, Sayang, persis seperti kamu. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat gadis-gadis yang menatapmu kagum dari balik gelas jus jeruk mereka saat kita makan siang bersama. Apa sikapku akan berubah tolol seperti itu, saat kusadari bahwa aku mungkin telah, katakanlah, jatuh cinta padamu?
Pada akhirnya, aku tidak melakukannya. Entah aku harus bersyukur bahagia atau menangis menyesalinya, aku pun bingung. Percayalah, aku hanya terdiam saja saat itu; saat sahabatku mengatakan bahwa ia pun jatuh cinta padamu.
Ah, cinta, apa itu? Sejenak kurasa aku tahu, namun pengertian dangkal yang kutahu itu pun akhirnya dikaburkan oleh pernyataan sahabatku. Karena kamu tinggi dan tampan? Karena kamu mapan dan punya rumah di kawasan elit? Kalau itu semua alasannya, maka kalian sesuai. Sahabatku langsing dan cantik. Peluang karir bagus dan tinggal di apartemen mewah di salah satu pusat kota. Apa yang kurang, Sayang? Tidak ada. Maka aku pun menyingkir.
Berterimakasihlah kepadaku yang memberikan peluang yang sangat bagus ini padamu, Sayang, bukannya menyia-nyiakannya dengan berusaha mengejarku kembali. Tidak ada yang salah denganmu, atau denganku. Tidak juga orang lain, termasuk sahabatku tersayang. Seperti yang kutuliskan di awal, semua perlakuanku padamu yang mungkin agak berubah bukanlah karena aku memiliki perasaan tertentu padamu. Bukan lagi cinta dan jauh pula dari benci. Sebaliknya, aku melakukannya supaya aku tidak memiliki perasaan tertentu padamu. Tidak mengerti? Ah, begitu pun aku, pada awalnya. Namun kamu akan terbiasa, Sayang, satu hal itu aku tahu.
Lihatlah sekarang, dirimu dan dirinya. Syukurlah usahaku tidak sia-sia. Kulihat matamu, matanya. Kalau sekarang, berada di dekatmu sedekat satu meter pun tidak mengapa lagi, kurasa. Seutuhnya diriku sudah digantikan olehnya, tidak ada aku, tidak ada kita, tidak ada semesta. Hanya kamu, dia, dan sisanya lenyap entah kemana, membuatku kembali nyaman berada di antara kalian tanpa takut merusak apa-apa.
Sayang, satu hal yang juga tidak kamu tahu, ternyata memang benar cinta yang sempat kurasakan waktu itu. Cinta jugalah yang kurasakan sekarang, padamu, masih kepadamu. Tetapi tenang saja, meski tidak pernah terucapkan, namun aku telah berjanji tidak akan pernah sekalipun berusaha merusak hubungan kalian. Aku mencintaimu, namun aku juga mencintai sahabatku. Aku mencintai kalian berdua bersama dan betapa aku benar-benar tulus mengharapkan pernikahan kalian ini akan bertahan selama-lamanya serta kalian dikaruniai anak-anak menakjubkan yang mungkin salah satunya akan kalian beri nama sama denganku, siapa tahu. Aku tidak mengharapkan apa-apa, tidak pernah, namun kali ini aku ingin memohon satu hal padamu: izinkan aku untuk terus mencintaimu. Hingga kamu menikah dengan sahabatku sekarang, sampai saat kamu beranak cucu, atau bahkan jauh lebih lama lagi daripada itu, aku akan tetap mencintaimu. Hanya kamu, hanya kamu.
Tetapi biarlah saat ini, besok, bahkan selamanya, kamu tetap tidak tahu, Sayang, kamu tidak perlu.
Akan ada cinta yang lebih baik, lebih indah, dan lebih cocok untuk anda. Janganlah pernah putus asa dan selalu mendekatkan diri pada-Nya. Cinta yang sesungguhnya akan Anda temukan. :)
ReplyDeleteTerima kasih... tapi ini cuma fiksi loh, haha
ReplyDelete