Ritual yang kulakukan setiap mengawali hari adalah lewat di depan rumahmu dengan kedok pura-pura lari pagi. Tidak luput; setiap pukul enam kurang seperempat aku akan melewati blok rumahmu, setelah mengelap semua keringat di tikungan sebelumnya, berlari dengan setengah kecepatan normal ketika mendekati rumah berpagar hitam abu-abu.
Aku tidak melihatmu di sana, tentu saja. Kamu mungkin masih tergolek malas berselimut di kamarmu yang bertirai tebal dan pendingin ruangan disetel ke suhu paling minimal. Kamu tidak akan tahu bahwa hari sudah pagi menjelang siang, dan akan ada seorang gadis berambut kuncir kuda yang berkali-kali berlari melintas, diam-diam melirik jendela di lantai dua dari balik bahu. Itu aku, tetapi kamu tidak tahu. Sebaliknya, aku selalu tahu tentang aktivitasmu, tentang pesta-pesta sepanjang malam yang rutin kamu adakan tiap malam minggu. Termasuk minuman yang kamu sediakan, gadis-gadis yang kamu bawa masuk kamar, dan belakangan, kudengar pula transaksi tablet-tablet terlarang.
Betapa kejamnya waktu. Lima belas tahun berlalu. Ia mengubah seseorang yang dulu kukenal baik seakan pernah berbagi rahim ibu menjadi makhluk asing yang bahkan tak berbagi dunia yang sama lagi. Padahal aku masih yang dulu, aku masih menunggumu berdiri di depan rumahku mengetuk pintu.
***
“Hari ini nggak lari?”
Ibu bertanya semata mendapatiku berpakaian lengkap seakan hendak berangkat ke kantor. Sedikit heran tentunya, karena jam di dinding masih menunjukkan pukul enam kurang sedikit. Biasanya aku berangkat pukul tujuh kurang dua puluh menit, menyesuaikan dengan jadwal kereta.
Aku hanya menggeleng. Tak enak rasanya kalau kukatakan aku sudah kehilangan alasan untuk lari pagi. Terlalu dangkal, rasanya hampir memalukan.
"Kamu sakit?”
Aku menggeleng lagi. “Cuma lagi males aja, Bu.”
Ibu mengerutkan alis, mungkin bingung, tetapi memutuskan untuk tidak mencecarku lebih lanjut. Kami diam untuk beberapa saat, sampai kemudian Ibu bertanya sesuatu yang membuatku sukses menelan teh lemon hangat lewat tenggorokan: “Nanti sore kamu mau ikut Ibu sama tetangga yang lain jenguk Erlangga?”
Aku terbatuk-batuk sampai keluar air mata. Ibu langsung mengerti kenapa.
Nama itu sudah tidak pernah disebutkan di rumah ini entah berapa tahun lamanya. Tidak pula ketika dua hari lalu Erlangga yang tak sadarkan diri di rumahnya dilarikan ke rumah sakit dengan mobil ambulans riuh yang menghebohkan seluruh tetangga.
Mungkin Ibu sudah tahu dari dulu alasan aku berlari. Dan tentu saja alasan kenapa aku berhenti.
“Hari ini aku lembur, kayaknya,” ucapku setelah mengatur napas. “Mungkin kalau sempat aku nyusul. Kalau enggak, aku ke sana sendirian.”
Bohong. Aku mana punya nyali menemui Erlangga sendiri.
“Ya sudah. Jangan lembur kemalaman, ya.”
Aku mengangguk. Buru-buru mengambil tas, cium tangan Ibu, lalu menuju pintu. Kalau perlu hari ini aku tidak usah pulang ke rumah. Alasannya bilang saja ada dinas luar, atau pesta ulang tahun teman.
***
“Halo. Apa kabar?”
Aku langsung menyesali kata-kataku sendiri. Aku sudah jelas tahu kabarmu, dan aku bahkan tidak ingin bilang halo. Satu-satunya yang ingin kulakukan adalah mendampratmu atas semua kebodohan yang kamu lakukan, terutama yang sampai membuatmu terbaring lemas tak berdaya di ranjang rumah sakit di ruangan VIP ini.
Tetapi kamu tidak menjawab. Matamu hanya mengedip lemah. Mungkin untuk bilang halo saja rasanya susah sekali. Jadi aku berangsur mendekatimu, dan mengambil tempat untuk duduk di kursi samping ranjang.
“Sebenarnya aku nggak ingin datang menjenguk, atau apapun,” ucapku memecah keheningan yang terdiri dari deru halus teratur mesin pendingin ruangan, yang bahkan ketika kamu sakit pun masih harus disetel minimal. “Tetapi Tante Indri bilang kamu ingin aku datang. Jadi, yah, sekarang aku di sini.”
“Aya... maaf,” ucapmu lemah.
Mataku panas. Aku ingin marah, tetapi tidak tega. Melihatmu seperti ini malah menghancurkan hatiku lebih hebat daripada saat yang kamu lakukan hanya bersenang-senang seakan aku tidak pernah ada.
“Aku tahu,” bisikku. Kuraih tanganmu yang tidak dialiri selang infus, lalu kugenggam erat-erat hingga hangat. “Aku bukannya membencimu.”
Dulu, aku dan kamu biasa menceritakan mimpi-mimpi tentang kita saat dewasa. Aku ingin jadi dokter, kamu ingin jadi seperti Pak Habibie. Dua-duanya memang tidak jadi kenyataan, tetapi siapa yang menyangka sekarang aku kabur lebih awal dari kerja kantoran yang membosankan demi menjenguk kamu yang hampir tewas karena overdosis obat-obatan terlarang.
Sekarang, mari kita kembali menceritakan mimpi-mimpi. Kamu akan cepat sembuh, dan aku akan bolos pulang kantor lagi demi bisa makan malam bersama. Dan aku akan kembali lari pagi, melewati depan rumahmu lalu melempari jendelamu dengan batu kalau kamu masih belum bersiap untuk ikut lari bersamaku.
***
Pukul enam lewat seperempat pagi aku sudah dibanjiri keringat karena mengitari kompleks dua kali. Dua kali pula melewati gerbang depan rumahmu dan menatap jendela bertirai tebal yang sekarang selalu tertutup itu.
Ayo, minta maaf lagi padaku. Sekarang aku membencimu. Karena kalau aku rindu kamu, sekalipun tidak akan pernah mungkin bisa bertemu.
suka.
ReplyDeletesuka.
suka sama ceritanyaaaaa!!
aaaarghh
*gulingguling*
nulis lagi nulis lagi ayo!!
cadas bener reaksinya hahaha, makasih loooh :')
Deletenanti kalo udah gak males baru mau nulis lagi, hehe *leyehleyeh*
hhehehe... pokoknya am waiting foo your story, or maybe your book, then i hope i can be your first reader :p
Deletehihihi terimakasih banyaaak!
Deletenanti dikasi tau kalo beneran terbit bukunya (amiiin), kamu juga ya, biar bisa tukeran :))
oh, a new short story :)
ReplyDeleteAlthough I really like the story, It feels like something is missing in the ending :(
yeah, I guess I rushed it at the end so it seems a bit off :|
Deletebut thank you! :D