Selama tiga tahun tinggal jauh dari
keluarga di—pinggiran—ibukota membuat saya terbiasa pergi kemana-mana dengan
kombinasi jalan kaki ditambah transportasi massal. Yah, kecuali kalau kemalaman
atau tertinggal jadwal, maka terpaksa naik taksi. Satu-satunya kesempatan untuk
menggunakan kendaraan pribadi hanya ketika nebeng teman—atau ditebengin teman,
dengan modal kendaraan pinjaman. Itu sebabnya sepatu saya cepat sekali rusak
karena terlalu sering dipakai mengejar bis, kereta, atau kelas pagi yang
dosennya on-time.
Sekarang saya sudah kembali ke kampung
halaman, dan belakangan, sepatu-sepatu saya jadi masih awet karena sudah jarang
dibawa lari-larian. Kalau soal sepatu sih bagus, tapi akibatnya otot kaki saya
jadi lemah: keliling supermarket untuk belanja bulanan saja langsung pegal-pegal.
Solusinya sih, rutin olahraga lari, tetapi saya memang manusia sebatas niat karena
akhirnya cuma berhasil dilakukan tiga-empat kali.
Gonzales lebih senang di rumah dibanding jalan kaki, naik kendaraan umum, atau kendaraan pribadi. |
Jadinya saya kangen deh jalan kaki sama naik kendaraan umum. Tetapi jangankan perjalanan jauh, ke warung depan gang saja boro-boro mau jalan kaki. Mungkin ada hubungannya dengan udara panas terik membakar yang nggak manusiawi, sehingga tanpa sadar sebisa mungkin meminimalisasi kontak langsung di bawah matahari. Sok iya banget, ya? Memang. Dan bukan cuma saya loh, satu kota ini juga mungkin berpikiran yang sama.
Makanya, jangan frustasi misalnya kalian
mampir ke kota saya. Mau ke mana-mana susah karena kendaraan umum hampir nggak
ada. Bisnis yang dulu ramai kini tinggal menunggu habis tergerus kenaikan BBM dan
kemudahan kredit motor yang uang mukanya cuma lima ratus ribu. Mau jalan kaki?
Masuk akal sih, karena toh kota ini nggak gede-gede amat. Tetapi patut menjadi
pertimbangan bahwa tingkat kriminalitasi di kota ini juga lumayan tinggi, belum
lagi pejalan kaki seolah diperlakukan sebagai kasta terendah pengguna jalan
raya. Satu fakta tentang kota ini yang perlu diketahui: penduduknya tinggi
gengsi.
Bahkan bersepeda pun bukan pilihan yang
aman. Di satu sisi tidak ingin menambah polusi udara sekaligus berolahraga,
tetapi pada akhirnya cuma jadi sasaran empuk klakson-klakson memekakkan telinga
serta korban disalip manuver berbahaya sepeda motor yang dikendarai remaja-remaja
tanggung.
Menurut kamu saya harus bagaimana?
Akhirnya sesuai tuntutan pergaulan dan alasan keselamatan, saya tetap menjadi
pengguna setia kendaraan pribadi. Hanya saja saya berusaha sebisa mungkin
menjadi pengendara yang berbudi pekerti(?). Kalau lagi mengendarai motor, ya nggak
meliuk-liuk sesuka hati seakan jalanan lintasan tamiya milik sendiri. Kalau menyetir
mobil, nggak sembarangan mengklakson seolah-olah yang paling punya kepentingan.
Pokoknya saya akan menjadi warga kota yang baik sampai berhak dapat kalpataru(?).
Kesimpulannya, kalau kamu kapan-kapan
mampir ke kota ini, jangan ragu-ragu untuk menghubungi saya. Karena
transportasi umum susah, saya bersedia kok menemani jalan-jalan—dengan catatan
saya lagi nggak sibuk ya. Soalnya, saya sendiri jarang mengeksplor kota
tercinta dan rasanya pengen juga jadi turis di kota sendiri... dan baru seru
kalau ada temen yang nggak ngerti apa-apa biar saya bisa puas-puasin sok tahu!
Haha.
No comments:
Post a Comment
What do you think?