Sunday, March 27, 2011

#9 Benci


Dari awal, aku tahu dia membenciku. Aku tahu dari cara dia menatapku dan berharap semoga aku tidak berada di sana di sampingnya. Aku tahu dari cara dia berbicara padaku, setiap kata yang diucapkannya jelas mengusirku untuk pergi jauh-jauh darinya.

Aku tidak terlalu tahu alasannya membenciku. Entahlah, aku memang bukan orang yang mudah disukai, tapi kurasa aku juga bukan orang yang segampang itu untuk dibenci. Yang kutahu pasti adalah aku membencinya, karena ia membenciku. Aku hanya berusaha membuat supaya perasaan kami seimbang.

Padahal sejujurnya, dia bukan orang yang mudah dibenci. Apalagi olehku. Tidak dengan mata besarnya yang mendongak menatapku pagi ini saat aku membangunkannya yang tertidur dalam tendanya yang nyaman. Tidak pula dengan tawanya yang terdengar paling keras saat aku mulai menceritakan lelucon di tengah lingkaran api unggun.

Entahlah, terkadang kurasa ia tidak benar-benar membenciku. Kami bisa mengobrol panjang lebar, lama dan panjang—sebagian besar diisi dengan saling sindir, ejekan, dan bentakan—tapi aku tidak bisa bilang itu tidak menyenangkan. Malah sebenarnya, sangat melegakan. Kami hidup di lingkungan dengan tekanan tinggi, di mana semua orang berusaha menjilat dengan kata-kata manis yang membuat perut mual. Bertemu dengan seseorang yang mampu menyindirmu dan mengatakan keburukan-keburukanmu ditengah serbuan pujian dan sanjungan berlebihan kurasa bahkan bisa digolongkan sebagai suatu kebahagiaan.

Ya, baiklah aku mengaku. Sebenarnya, aku menyukainya. Aku hanya berpura-pura membencinya karena dia terlihat membenciku. Aku hanya tidak mau tampak menyedihkan karena menyukai seseorang yang menyatakan benci padaku secara terbuka.

Tetapi, bagaimanapun, aku memang tetap menyedihkan. Ia terlihat sangat cantik dengan jaket tebal dan syal yang melilit di leher, matanya tampak semakin bulat dan besar di tengah kegelapan malam. Aku ingin memeluknya saat kulihat ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar tetap hangat. Aku ingin menahannya di sampingku sepanjang perjalanan, berada dalam jangkauan tanganku, agar aku bisa selalu melindunginya apapun yang akan terjadi.

Sayangnya hubunganku dan dia hanya sebatas benci. Kami hanya bisa saling bertukar kalimat-kalimat teriakan bernada tinggi.

Seandainya ada kesempatan, aku ingin mengatakan padanya. Kurasa ia tidak akan percaya, sebagaimana ia selalu membantah dan membalik setiap kata yang kuucapkan padanya.

Namun aku akan tetap akan mengatakannya. Supaya akhirnya ia tahu bahwa apa yang ada di dalam sini, selama ini, sama sekali bukan rasa benci.

2 comments:

  1. benci yang tersikon oleh waktu untuk membenci, agar seimbang. haih

    ReplyDelete
  2. hahaha apasih
    anyway cerita yang ini bisa dibilang prekuel cerita sebelumnya, haha

    ReplyDelete

What do you think?