Sunday, March 13, 2011

#8 Coba Saja Percaya

Matanya berkilau di bawah sinar lampu senter yang kusorotkan padanya. Segera ia menutupi wajahnya dengan tangan, memperdengarkan dengungan protes.

"Kau ini kenapa, sih?"

Aku melipat tangan di dada, senter kumatikan dan kuselipkan di bawah ketiak. Dia masih belum juga menangkap ekspresi di wajahku, kukira.

"Hei, jawab aku."

"Kau yang harusnya jawab aku!" teriakku akhirnya. "Kita terjebak di tengah hutan, kehilangan tiga orang anggota tim, dan kau malah sibuk mencari kunang-kunang. Apa kau sudah gila? Kau pikir malam ini kita akan tidur di mana?"

"Gampang," ucapnya. Tiba-tiba ia merengkuh bahuku, mendekapku di dadanya, dan mengistirahatkan wajahnya di sisi leherku. "Kita akan tidur berpelukan di sini supaya tetap hangat."

Plak!

Aku menamparnya, sekuat tenaga yang hanya kusisakan untuk berteriak seperti orang gila. "Kau pikir sekarang waktu yang tepat untuk bercanda? Demi Tuhan, kita sedang di tengah hutan, Ryan! Bisa saja seekor ular, atau harimau, atau binatang buas lain yang bahkan tidak pernah kau bayangkan datang menyergap saat kau sedang tidur!"

"Lalu, kau ingin aku untuk apa?"Ia memegangi sisi wajahnya yang mungkin memerah terkena tamparanku. "Berteriak-teriak seperti orang gila seperti yang kau lakukan sekarang?"

"Oh, jadi sekarang kau mengejekku? Setidaknya aku berusaha menyadarkanmu untuk melakukan sesuatu! Dan apa yang kau lakukan? Mencari kunang-kunang? Kita bukan sedang dalam jurit malam perkemahan!"

"Aku mencoba untuk tetap tenang," ucapnya. "Percayalah padaku, ketenangan adalah hal yang paling kita butuhkan saat ini."

Mungkin ia benar. Mungkin kami memang harus tetap tenang dan memikirkan baik-baik langkah selanjutnya. Aku menarik napas panjang. "Maafkan aku. Aku... kau tahu, aku benar-benar panik."

Dan takut. Aku memeluk lenganku erat, angin malam yang berhembus membuatku menggigil di balik jaket tipis ini.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan di malam gelap seperti ini. Tidak ada penerangan, tidak ada api, tidak ada penunjuk jalan. Lebih baik kita beristirahat di sini dan menunggu pagi datang."

"Tapi--"

"Ssst, Diana, dengarkan aku. Kali ini saja, tolong dengar dan percaya padaku." Ia menatapku dalam gelap, matanya yang tajam seolah menghujam tepat ke dalam diriku. "Kita akan baik-baik saja."

Ia menarik lenganku, menyeretku lembut, dan mendudukkanku bersamanya, bersandar di sebuah pohon besar.

"Coba percaya padaku."

Entah karena angin malam, atau matanya yang menatapnya tajam, atau genggaman hangatnya di lenganku, aku hanya diam dan menurut. Tak bersuara.

"Pertama, tidak ada binatang buas di hutan ini. Termasuk binatang buas yang mungkin tidak pernah kubayangkan sebelumnya." Oh, dia menyindirku. "Mungkin ada beberapa serangga aneh, dan beberapa ular, tentu saja, tapi aku akan berusaha sebisa mungkin menjaga agar mereka tidak mendekati kita."

Aku mengangguk, tanpa sadar berusaha mendekatkan wajahku ke bahunya.

"Kedua, tenanglah dan beristirahat. Siapkan tenaga untuk petualangan kita di esok hari. Pastikan tubuhmu cukup kuat karena kurasa besok akan menjadi hari yang sangat, sangat... panjang."

"Mm-hmm." Aku mulai merasa sangat lelah dan mengantuk.

"Ketiga, kita akan tidur bersisian agar tetap hangat. Tentu saja kau boleh memelukku kalau kau mau." Ia menambahkan dengan cengiran.

Aku mendengus, tapi entah kenapa malah merapatkan sisi tubuhku padanya, dan menyandarkan wajahku di bahunya. "Baiklah. Sudah semua?"

Ia tertawa. "Anehnya, kali ini kau diam saja tanpa membantah omonganku."

"Aku kan sedang panik. Lagipula kau sendiri yang menyuruhku untuk diam dan percaya."

Gantian ia yang terdiam.

"Baiklah, selamat tidur," kataku akhirnya. Menguap. Rasanya ingin melingkarkan tanganku ke tubuhnya, tapi aku terlalu gengsi. Hubunganku dengan Ryan selama ini tidak begitu bagus, penuh pertengkaran dan segala macamnya. Kalau aku memeluknya sama saja dengan mengakui kekalahanku terhadapnya. Uh, tidak usah, ya.

"Diana."

"Hmm?" Mataku sudah terpejam.

"Aku serius tidak apa-apa kalau kau mau memelukku."

Wajahku pasti memerah sekarang, untunglah sekarang sedang gelap. Seolah-olah ia bisa membaca pikiranku saja. "Mm..."

"Aku suka padamu dari dulu, lho."

Kali ini mau tidak mau mataku terbuka lebar. Apa?

"Diam dan percaya saja, Diana."

Pada akhirnya, ia yang merengkuh tubuhku, meletakkan wajahnya yang dingin di kepalaku. Dapat kurasakan hembusan napasnya meniup pelan rambutku.

"Aku percaya."

12 comments:

  1. teringat youth survival, n buku itu masih ada di rumah. untung nda tersapu banjir. haihaihai

    ReplyDelete
  2. wah kereen cerita nya...

    ReplyDelete
  3. @ angah
    awalnye ndak niat, tapi ditengah2 emang terinspirasi dari komik itu wakakaka

    @ arum
    makasih :)

    ReplyDelete
  4. waa, flashfictions nya boleh dijadikan buku nih,des. semuwa-muwanya. *hehe*

    ReplyDelete
  5. suka..
    suka sekali..
    romantis nya dapat.
    based your story kah?
    hihihi...

    ReplyDelete
  6. hihi tenkyu pebiiii <3
    nda mungkin lah kisah nyata, kapan aku nyesat di hutan haha

    ReplyDelete
  7. mikochin10:21 PM

    @mudrica
    buku? awawawa *w*
    @icha
    wah maluuuuu *w*

    ReplyDelete
  8. saran, bagus ikut writing contest aja.. sapa tau menang :)

    ReplyDelete
  9. tulisan saya belum cukup bagus kayaknya, mo banyakin latihan dulu aja hehe makasi sarannya :)

    ReplyDelete
  10. suka.suka.suka. jadi senyumsenyum sendiri nih, auranya berasa lagi baca komik cantik jepang hhehehe *mendadak jadi fans*

    ReplyDelete

What do you think?