Monday, March 07, 2011

#7 Tanpa Kata

Kata selamat tinggal sama sekali bukan kata-kata yang kuharapkan keluar dari mulut seorang Willy padaku. Namun, itulah yang dia katakan.

Air mataku tertahan. Mataku kering. Aku bahkan tidak bisa bersuara untuk membuatnya mengubah pikirannya.

Kenapa? Aku meringis, tapi kata itu tercekat, tersangkut di tenggorokan. Willy menangis, menatapku, ia sepertinya juga tidak menginginkan perpisahan ini, tetapi kenapa ia tetap melakukannya?

“Aku mencintaimu, Lin. Sangat. Hatiku hancur jika harus meninggalkan kamu begitu saja. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, Lin, tidak ada.”

Aku tidak bisa menatapnya. Isakannya membuatku merasa tersayat-sayat. Sakit, sangat sakit.

“Tapi ini tidak adil buatmu, Lin, tidak adil bila aku memaksamu untuk terus bertahan bila kamu sendiri sudah tidak kuat. Kamu sudah terlalu lama menderita, Lin, aku tidak bisa terus bersamamu hanya untuk melihatmu terus tersakiti.”

Menderita? Tersakiti? Apa maksudnya semua itu? Aku mencintaimu, Willy! Kuteriakkan kalimat-kalimat itu dalam benakku, berhenti mencoba mengutarakannya lewat mulut. Aku berusaha meraih tangan Willy, mencoba menggenggam kepalan tangannya, membuatnya merasakan keyakinanku bahwa aku begitu mencintainya—tapi ia menghindar, menarik tangannya jauh dariku.

“Kalau aku ingin pergi, silahkan pergi, Lin. Aku... kurasa aku akan bisa melepasmu. Mungkin akan sedikit—bukan, sangat—sakit pada awalnya... tapi aku pasti akan baik-baik saja.”

Aku tidak ingin pergi, Wil, aku ingin di sini, aku ingin bersama kamu. Tidak bisakah kita bersama selamanya seperti janjimu dahulu?

Willy melangkah keluar, pergi. Rasanya separuh diriku sudah pergi bersamanya.

Separuhnya lagi, tertinggal.

Lalu kusadari, sekelilingku putih. Kamar rumah sakit. Selang-selang di sekujur tubuh. Bunyi mesin penanda detak jantung.

Apa aku bisa hidup hanya dengan separuh bagian diriku? Sementara Willy membawanya pergi tanpa pernah akan mengembalikannya?

Aku tidak pernah tahu kekuatan itu datang dari mana. Aku bahkan tidak pernah membayangkan aku akan melakukannya. Namun, begitu saja, saat aku akhirnya mampu membuka mataku dengan jelas dan tanganku mampu untuk digerakkan—meski sangat lemah—satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah mencabut paksa masker oksigen yang terpasang di wajahku.

Lepas.

Sesak, dan mendadak semuanya menggelap.

Satu-satunya yang kusesalkan adalah aku tidak sempat menyaksikan ekspresi Willy saat ia mendapati bahwa aku benar-benar pergi.

4 comments:

  1. Ci, agak tak ngerti dengan cerita ini mksdnya apa? dia mati k?

    ReplyDelete
  2. haa.. tetap gak bisa nangkap maksud cerita di atas .. he

    ReplyDelete
  3. @ angah
    ha'a ceritenye die tuh saket trus akhirny bunuh diri dengan ngelepas masker oksigen hahaha konyol
    @ madhan
    udah dijelasin di atas tuh. ngerti bahasanya kan? haha

    ReplyDelete
  4. nice blog.. follow back ya.. :)
    salam blogger

    ReplyDelete

What do you think?