Sunday, March 06, 2011

#6 Sakura

Awal Maret dan sekarang sudah memasuki musim semi. Udara mulai menghangat; aku mulai pergi ke sekolah tanpa syal rajutan melilit di leher, namun pohon-pohon sakura masih belum berbunga. Ada satu barisan pohon-pohon sakura yang selalu kulewati di setiap perjalanan menuju dan kembali dari sekolah, dan aku selalu mendongak, menunggu kapan kuncup-kuncup yang mulai tumbuh itu mekar, dan lepas berhamburan seperti badai salju ketika tertiup angin. Aku tidak pernah melihat langsung sakura mekar sebelum ini. Pertama kali aku datang ke negara ini beberapa bulan lalu, musim panas sedang terik-teriknya dan aku melewatkan musim semi beserta sakuranya. Kali ini aku tidak akan melewatkannya, karena aku benar-benar menyukai sakura.

Sekolahku terletak di kota sebelah, sehingga untuk sampai aku harus naik kereta melewati dua stasiun, dan berjalan kira-kira satu kilometer dari stasiun tempatku turun. Sebuah sekolah swasta juga terletak tidak jauh dari sekolahku, yang murid-muridnya berangkat ke sekolah dengan mobil mewah dan mengenakan seragam blazer hitam mereka yang elegan.
Aku selalu iri pada mereka, bukan karena sekolah mereka yang mewah atau kehidupan kelas atas yang mereka jalani, tetapi kudengar mereka memiliki satu pohon sakura yang mekar sepanjang musim, termasuk musim dingin, di taman dalam sekolah.

Pagi ini cerah, satu jam sebelum bel masuk sekolah berbunyi aku sudah sampai di stasiun tujuan. Aku melangkah pelan keluar stasiun, mengira-ngira apakah hari ini pohon-pohon sakura itu mulai mekar dengan indah... lalu aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya, tiba-tiba aku sudah tersungkur ke trotoar dengan lutut menghantam keras paving block, dan tas jinjingku terlempar jauh ke depan.


"Aaaah!" teriakku refleks. Bukan saat jatuh, tapi saat melipat lututku yang ternyata lecet dan berdarah. Kepalaku pusing; aku selalu lemah saat melihat darah.

"Maaf, maaf... kamu tidak apa-apa?"

Kalau saja tas jinjing itu berada di dekatku, aku mungkin aku akan menghantam kepala orang yang menabrakku sekuat-kuatnya. Karena tidak, aku hanya menjawab ketus, "Aku berdarah."

Ia mengangsurkan sapu tangannya, lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan seplester band-aid. "Sekali lagi, maaf."

Sambil bersungut-sungut aku berdiri, cukup susah karena kakiku masih nyeri, dan meraih tasku beberapa meter di depan. Saat itu aku sadar, orang yang menabrakku ternyata murid SMA swasta tetangga. Aku memperhatikannya dari atas ke bawah: seragamnya yang terlihat mahal, sepedanya yang juga tampak mewah, dan sapu tangannya yang kupegang juga jelas-jelas bermerek terkenal.

"Ya, tidak apa-apa." Aku luluh. Bukannya apa-apa, selama ini kupikir murid-murid SMA swasta itu adalah tipe-tipe remaja sombong yang seumur hidup tidak akan pergi keluar tanpa mobil-mobil berkaca gelap milik mereka. Pikiranku mungkin sempit, tapi memang itulah satu-satunya kesan yang dapat kutangkap.

"Kamu murid SMA Senzoku? Ayo kuantar ke sana."

"Tapi arah sekolahmu berlawanan."

"Tidak apa-apa, aku memang sengaja bersepeda untuk menikmati sakura di sana."

Aku terkejut. Menatap matanya yang terlapisi kacamata, yang lagi-lagi, bermerek mahal. Apa anak laki-laki ini serius?

"Kamu suka sakura?" Aku memancing. "Bukannya di sekolahmu terdapat sakura abadi?"

Ia tersenyum, hampir-hampir tertawa. "Tidak, tidak ada sakura abadi. Cuma pohon sakura imitasi yang di pajang di gerbang taman. Lagipula kalaupun sakura seperti itu ada di sekolah, aku tetap akan melihat sakura yang satu ini. Sesuatu akan terasa lebih menyenangkan saat kita menanti-nantikan kedatangannya, bukan?"

Angin yang lembut meniup rambut sebahuku, membuatnya melambai mengikuti arah angin. Sesuatu mendarat di wajahku. Lembut.

"Kelopak sakura," desisku.

Kami berpandangan. Hari ini, sakura-sakura itu mulai bermekaran. Kami melintasi jalanan berpagar pohon-pohon sakura itu sambil memandang berkeliling pada kelopak-kelopak bunga yang mekar dengan indah. Aku menghirup napas dalam-dalam, menyesap aroma sakura masuk jauh ke dalam paru-paruku.

"Kamu suka sakura, ya?" tanyanya.

Aku tersadar bahwa masih ada anak laki-laki ini di sampingku. Aneh rasanya, tapi sekarang entah kenapa dia terlihat berkilau, seperti sakura. "Ya, aku benar-benar suka sakura. Ini pengalaman pertamaku bertemu dengannya."

Wajahnya memerah entah karena apa, lalu dia menanyakan namaku.

"Oh, iya, perkenalkan, namaku Amanda." Seperti biasa, orang-orang tampak heran saat mendengar namaku. "Siapa namamu?"

"Sakuragi Tsuyoshi."

Aku tersenyum, melupakan lututku yang berdarah, rokku yang kotor, kulit tanganku yang terkelupas... aku benar-benar menyukai Sakura.

4 comments:

  1. wooow *cuit cuit

    ReplyDelete
  2. Maret = kelulusan sekolah = sakura... Aduh pengen ke Jepang. Dirimu jadi beli tiket murah ke Jepang itukah? Ahu ahu..

    ReplyDelete
  3. maret kelulusan ya? salah dong ini haha
    ga jadi beli, nisacchi, ga dibolehin ortu wawawawa T^T
    sayang loh nis dirimu ga jadi beli ahuhu

    ReplyDelete

What do you think?