Saturday, February 26, 2011

Kisah Malam Minggu

Sejak saya selalu *uhuk*jomblo*uhuk* maka malam minggu saya jelas tidak pernah dilewati dengan tradisi apel mengapel atau kencan-kencan ga jelas bersama sang pacar. Saya selalu menikmatinya dengan berbagai cara lain, yang hampir selalu berakhir, mmm, tragis.

Kisah Satu

UAShampirberakhir, dan take home exam merengek minta dikerjakan tadi pagi (thanks to procrastination for once again ruining my life), menyebabkan saya nggak bisa datang rapat penting tadi pagi. Merasa ga enak, saya pun mengajukan usul pada sang teman untuk mengerjakan proposal di sabtu malam.
Awalnya, semua terasa biasa-biasa saja, tidak ada firasat buruk, atau primbon khusus seperti kedutan di bawah mata atau alis atau apapun.

Saya santai-santai setelah selesai mengumpulkan ujian saya ke email sang ketua kelas. Online, cekakak cekikik membaca blog saya sendiri (ya, saya menertawakan kekonyolan sendiri, seperti orang bodoh) dan menunda-nunda mandi. Tau-tau hari sudah berganti malam, dan saya teringat akan janji kepada teman untuk mengerjakan proposal. Itupun setelah dia meminta izin makanseolah-olah saya boskarena capek menunggu saya yang datangnya kelamaan. Akhirnya satu jam setelah sms izin makan itu, saya berangkat menuju kosan sang teman.

Sampai di kontrakan teman, yang merangkap basecamp klub yang saya ikuti di kampus, dan biasanya selalu ramai oleh anak-anak klub. Kali ini cukup sepi, cukup wajar, mengingat anak-anak akuntansi yang sudah selesai oleh ujian merekaya, saya tau, dunia tidak pernah adil kepada anak pajak.

Firasat saya masih belum muncul saat seorang senior memberi tahu bahwa teman yang saya cari sedang pergi keluar. Karena saya udah terlanjur dateng, saya jadi malas balik lagi, hingga saya memutuskan menunggu. Beberapa menit setelah saya duduk di atas sofa, senior yang tadi bicara dengan saya pergi, membawa seluruh penghuni yang semula ada di EC House (dan belakangan saya ketahui mereka pergi ke PIM, blah). Baca: saya ditinggal sendirian.

Saya baik-baik saja, menunggu dengan santai di atas sofa, sambil chatting dengan junior saya lewat henpon. Anehnya, dia terlalu mengkhawatirkan saya.


K=Kei, S=Saya

K: Kak, punya temen yang kosannya deket situ gak?
S: Ada sih, Kei, emang kenapa?
K: Mending minta temenin, daripada ntar kakak ditemenin sama...
S: Jangan nakut-nakutin deh Kei, tadi saya berani-berani aja, kok, bener deh.
K: Iya, tapi anak ECHo sendiri kok yang cerita kalo....

Saya memberanikan diri, menunggu salah satu senior penghuni kosan pulang, sambil menelpon teman yang kosannya tepat di depan ECHo. Ga diangkat. Sial sekali nasib saya.

Ketika akhirnya senior itu datang, dan saya sudah berada di luar pagar untuk pulang menuju kosan, saya akhirnya berani berkata,
"Kak, tadi aku dengar kayak suara teriakan loh dari dalam rumah."

Sambil berjalan pulang, saya memikirkan kata-kata saya pada senior tadi. Sejujurnya, suara teriakan itu benar-benar ada. Campuran antara suara teriakan anak kecil dan wanita dewasagabungan keduanya yang menghasilkan suara aneh yang sejujurnya membuat saya merinding. Saat duduk di sofa, saya memang merasakan tiupan-tiupan angin dingin dikarenakan pintu yang terbuka.

Untunglah saat berada di sana saya lebih sibuk ketakutan akan serangan kecoa.

Kisah Dua

Ini mungkin malam minggu paling tragis saya entah sejak kapan. Terjadi dua minggu lalu, malam minggu terakhir sebelum uas hari pertama dimulai.

Saya stres. Teman-teman saya yang pintar dan rajin entah kenapa sudah mulai belajar padahal uas hari pertama baru dimulai hari rabu. Saya memutuskan untuk pelesir sebentar, mengasingkan diri sendirian... lalu teringat kalau saat itu malam minggu. Malam minggu? Cewek jalan sendirian? Bukannya melepas stres, yang ada mungkin saya malah jadi depresi gara-gara terlalu banyak dikasihani.
Akhirnya ditemani dengan seorang junior saya, Dwi, saya memutuskan menjelajahi ibukota di suatu malam minggu yang cerah.

Perjalanan pertama dimulai dengan.... saya ke kosan Dwi.
Rencananya kami akan menyusul teman yang lain yang udah duluan ke BP (Bintaro Plaza, red) tapi ternyata mereka udah mau pulang dan akan ke Harmonyong, eh, Harmony. Patut diketahui Harmony adalah nama sebuah swalayan kebanggaan milik mahasiswa kampus kami dikarenakan letaknya yang dekat dengan kos-kosan dan harganya yang lumayan miring.
Kita udah capek-capek dandan dan ujung-ujungnya ke Harmony? Oh, please. Pun pergi ke BP. Mall yang paling dekat dengan kampus kami, yang rasanya udah nggak ada harganya lagi sampe-sampe saya sering pergi ke sana dengan sendal jepit seharga 15ribu dua.

Kami toh mahasiswi dengan (sok) selera tinggi, hingga akhirnya memutuskan pergi ke Gandaria City, naik bis Trans Bintaro terakhir.

Sampai di shelter bus trans, bus terakhir jam setengah tujuh dan saat itu jam delapan. Saya rasanya pengen lompat ke jalanan.

Terombang-ambing antara makan di D'Cost, yang letaknya cuma beberapa meter dari shelter bus, atau kekeuh ke Gancit. Ego yang menang, maka seperti orang tolol, saya dan Dwi menganginkan diri alias menunggu taksi di pinggir jalan bintaro jaya yang cukup ramai.

Pengalaman saya, mencari taksi kosong di malam minggu rasanya sama dengan kemungkinan saya mau makan udang goreng tepung. Kecil sekali. Angkot berkali-kali lewat tapi saya dan Dwi berkali-kali menggeleng angkuh. Kami mau taksi. Kami mau taksiiiiiiiii! *brb ngitung uang di dompet*

Sampai akhirnya, disaat kejenuhan menunggu taksi memuncak, kami menyerah dan memutuskan untuk naik angkot saja ke sektor 9, lalu makan di McD.
Tapi seperti karma, angkot tidak ada yang lewat. Cuma mobil-mobil, dan kemudian, kami menahan napas, segerombolan cowok-cowok alay dengan pakaian hitam-hitam dan aksesoris rantai, dan rambut lepek tapi dipaksa berdirikan dengan lem uhu.

Ketakutan, kami bergerak menjauh, dengan bodoh, searah dengan rombongan itu.

"Cewek, ceweeek.."
"Suit, suiitttt!"
"Wah, tasnya bagus!"

Rasanya saya pengen mengeluarkan kemampuan lari sprint seratus meter saya untuk kabur dari tempat itu, tapi tidak mungkin meninggalkan dwi sendirian dan dilahap binatang buas.
Kami bersabar, ketakutan, sampai rombongan itu lewat dengan gaya alaynya; saya doakan mereka tersandung batu trotoar, biji buah mangga, atau apa.

Saya lega, benar-benar lega, dan begitu satu angkot pada akhirnya mendekat, kami dengan brutal langsung merangsek masuk. Di dalam angkot, cuma ada seorang ibu-ibu bertampang sendu.
Saya tidak merasakan pertanda, cuma sibuk bertukar cerita dengan dwi betapa takutnya kami di beberapa menit tadi itu, sampai... angkotnya berbelok.

Saya membelalak, Dwi memukul lengan saya. Seharusnya angkot menuju sektor 9 cuma perlu lurus saja mengikuti jalan utama. Kenapa ini belok? Kenapa? Kenapaaaa?

Memberanikan diri, saya bertanya pada supir angkot, takut kami tersesat meski Dwi berkeras bahwa angkot ini mengikuti jalur ke gandaria.

"Pak, ini angkotnya ke arah mana, ya?"

"Oh, ini ke Ciputat, Neng."

Ciputat, sodara-sodara, CIPUTAT. Saya dari bintaro dan akan ke Ciputat dengan angkot suram ini. Buru-buru saya dan dwi menggedor-gedor keras atap angkot minta diberhentikan.

Di pinggir jalan menuju Ciputat. Saya dan Dwi terombang ambing menyusur jalan, dikagetkan dan digodain cowok-cowok menyeramkan, untuk akhirnya sampai kembali ke jalan utam, naik angkot lagi. Agak trauma, kami memperhatikan benar-benar nomor angkot yang tertera, baru memberanikan diri naik.

Sesampainya di Mc D, kehabisan tempat di lantai bawah, terpaksa naik ke lantai dua yang isinya orang pacaran semua. Saya dan Dwi keliatan kayak lesbian yang menderita.

Malam berlangsung panjang, kami bercerita, mengingat kekonyolan yang terjadi di malam itu, dan dengan jujur mengatakan bahwa sebenarnya dari tadi pengen nangis. Setelah dari Mc D kami menyantap banana split di Bintaro 9 Walk, baru memutuskan pulang.

Jam tangan Dwi menunjukkan pukul setengah sebelas malam.

"Gerbang kalimongso masih buka, kan?"

Pemukiman tempat kosan kami berada memiliki gerbang yang menghubungkan antara kampus dan jalan gang, dan gerbang itu ditutup tengah malam. Dwi yakin kalo gerbang ditutup jam dua belas malam sehingga kami santai saja.

Sesampainya di depan gerbang.

Pagar tertutup, penuh kawat berduri.

Saya dan Dwi bertukar tatapan ingin nangis.

"Mutar aja mbak lewat gerbang PJMI..." kata mas-mas yang juga terjebak gara-gara gerbang terkunci ini. Gerbang PJMI cukup jauh kalo harus memutar, dan kami sudah terlalu lelah.

"Ga mas, kita mau manjat aja."

Dan akhirnya, seperti superhero perempuan ataupun gadis-gadis pemeran utama di film horor, dengan macho kami memanjat pagar berduri itu.



Sepanjang malam yang tersisa, setelah sampai dengan selamat di kosan kami masing-masing, kami sibuk mengulang cerita itu di setiap jejaring sosial yang kami punya, facebook, twitter... yang mengundang rasa penasaran teman saya yang tadi pergi ke Harmony.

"Memangnya kalian ke mana? Berdua doang?"

"Iya. Ceritanya panjaaaaaaang, sekali Za."

Saya pikir, dia akan ikut tertawa, atau apa, tapi ternyata, ini yang kami dapat:

"Segalau apapun kalian, jangan pernah jalan malam mingguan tanpa teman cowok. Paling gak kalian ada yang jaga. Jangan sampe terulang lagi."

Saya benar-benar terharu.

Seenggaknya pengalaman malam minggu petaka itu berhasil membawa saya pada sebuah kesimpulan: meskipun di sini, di ibukota yang keras ini, dan saya hanya sendiri tanpa punya keluarga kandung yang dapat dijadikan tempat bernaung, toh saya punya mereka. Pseudofamily yang selalu ada di saat saya membutuhkan mereka.

Dan saya akan merasa bahwa saya tidak lagi sendirian, dan saya akan baik-baik saja.

4 comments:

  1. hahahaha gokil ah descil :D
    makanya cari cowooooo XD
    #kabur

    ReplyDelete
  2. hahaha sial, saya jomblo tapi bahagia ya XD

    ReplyDelete
  3. Haduh, kasian ya.. hahaha

    Oiya, blognya keren.. rajin2 updatenya..

    ReplyDelete
  4. haha iya emang kasian -__-

    tenkyuuuuuuu :3

    ReplyDelete

What do you think?