Saturday, February 12, 2011

Ngalor-Ngidul


Hari ini rehat dulu menulis flash fictionnya.
Alasannya? Bisa tolong lihat gambar di sebelah kiri?
Yak, dapat poinnya?

Benar sekali, sodara-sodara, minggu depan kampus kami tercinta akan menyelenggarakan event terbesar semester ini; event yang akan melibatkan banyak sekali fotokopian kertas kisi-kisi, desas-desus bocoran soal, bercangkir-cangkir kopi dan status fb atau twitter yang menyatakan kestressan.

UAS semester ganjil, dimulai pada tanggal, mmm, berapa ya, saya malas ngecek kalender? Oh, iya, tanggal 16 Februari 2011, jatuh pada hari Rabu.

Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa UAS kami terlambat sekali. Sebenarnya.... saya juga tidak tahu. Kalau masih penasaran juga, tanya pada bagian sekretariat yang mengurus tentang aturan dilarang-injak-rumput dan dilarang-nyebur-kolam-kalian-bisa-di-DO, itu adalah bidang mereka. Sepertinya.

Omong-omong, saya nggak pengen ngomongin soal uas di sini. Saya cuma mau ngomongin tentang kuliah saya, berhubung di postingan tahun 2009 dan 2010, saya sama sekali tidak sempat cerita -___-

Okeh. Jadi saya sekarang kuliah di Jakarta. Dan saya sama sekali nggak punya keluarga di Jakarta. Atau sekitarnya. Atau, mm, se-Pulau Jawa.
Dulu, waktu kuliah tingkat pertama dan waktu senggang di akhir minggu sedang banyak-banyaknya, teman-teman saya selalu pelesir ke tempat saudaranya. Entah om, tante, kakek, nenek, abang, siapapun...
Saya? Saya cuma ngiler.

S=Saya, T=Teman

S: Mau kemana?
T: Oh, mau ke tempat saudara di Cibubur. Kamu nggak pergi ke tempat saudara?
S: Pengen sih, tapi gimana ya, Om SBY lagi sibuk...
T: *tewas*

Tapi gapapa sih, seenggaknya saya jadi lebih mandiri. Mandi sendiri. Makan sendiri. Tidur sendiri. Kayak bujangan.

Oh ya, dulu waktu angkatan saya masih jadi tingkat satu, keberadaan makhluk berjenis kelamin cewek itu minim sekali. Alhasil saya sukses jadi minoritas yang bener-bener minor: cewek, berasal dari kota nun jauh di pulau seberang.
Sukses, saya sering diinterogasi oleh orang-orang. Dan kadang-kadang, beberapa sesi tanya-jawab itu benar-benar bikin jengkel.

masih sama, S=Saya, T=Teman

-yang ini geografinya parah-
T: Jadi, kamu asalnya dari mana, Des?
S: Pontianak.
T: Eh itu, di Sulawesi, kan ya?
S: *tewas*


-yang ini udah hampir bener, kasi nilai setengah lah-
T: Kamu asalnya dari mana?
S: Pontianak..
T: Oh, Pontianak itu, Kalimantan Timur, ya?
S: *kejang-kejang*

-yang ini ngeselin, tapi jenis ini yang paling-paling-paling banyak saya temui-
T: Kamu asalnya dari mana?
S: Pontianak.
T: Oh... Pontianak itu Kalimantan mana? (pinter dia, ga nebak sembarangan)
S: Kalimantan Barat.
T: Ooh. Terus, berarti kamu rumahnya di dalem hutan dong ya? Kalo dari rumah ke sekolah kira-kira berapa lama?
S: *ambil mandau* *lempar*

Ada apa dengan mahasiswa-mahasiswa jaman sekarang? Saya jelas-jelas tinggal di ibukota provinsi, salah satu dalam 10 ibukota provinsi dengan UMR tertinggi, nggak mungkin saya seenak-enaknya tinggal di rumah pohon dan mesti nyebrang sungai penuh buaya kuning cuma demi sampai ke sekolah.

Dulu, pas awal-awal masuk ditanyain satu per satu asalnya dari mana oleh dosen tercinta. Nah, ada dosen yang senang membahas satu per satu daerah mahasiswanya. Pas bagianku:
"Dari Pontianak? Hmm, saya dulu pernah ke Pontianak. Enak rasanya jalan-jalan sore di pinggir sungai menikmati pemandangan... Tapi hati-hati kalau jalan-jalan pake motor..."
"Memangnya kenapa, Pak?" tanya teman sekelas.
"Kalian bisa nggak konsen, soalnya di pinggiran sungai, penuh orang mandi...."
Otomatis satu kelas langsung noleh ke arah saya dengan tatapan penuh arti. Sial. Saya pernah bilang rumah saya di dekat sungai, soalnya.

Tetapi menjadi minoritas di antara mayoritas jelas membangkitkan jiwa kedaerahan saya. Saya malu jadi orang Kalimantan? Tidak sama sekali. Meski di kelas roaming bahasa jawa, saya cuma duduk diam mendengarkan dengan tampang anak imbisil. Nggak apa-apa, suatu saat saya pasti bisa bahasa jawa, dapat jodoh orang jawa (kalo yang ini kalo bisa nggak deh, haha), dan penempatan di daerah jawa.
Kadang-kadang ada teman yang mengerti kondisi saya. Jadi setelah perbincangan yang alot dengan bahasa jawa, dimana kata yang saya tangkap cuma ojo, ono, saiki, dan sisanya blur seperti kaset rusak, dia akan datang menerjemahkan ke dalam bahasa indonesia. Kalau perbincangan awalnya adalah humor, setelah diterjemahkan, malah nggak lucu lagi.

Mereka roaming bahasa jawa, saya kadang-kadang roaming bahasa daerah saya. Tepatnya, dipaksa roaming karena mereka penasaran bagaimana sih bahasa daerah saya.
Saya cuma bilang, karena saya di kota, saya nggak punya bahasa daerah. *duileee
Tapi yang dipunyai cuma logat atau aksen melayu aja. Saya bilang aja kayak di Upin Ipin, bedanya di tempat saya pake bahasa Indonesia, bukan Malaysia.

Mereka menghargai saya kok. Meski pada awal-awal kuliah saya merasa agak kagok, dimana teman-teman cowok yang orang jawa lebih senang bicara dengan cewek-cewek yang bisa bahasa jawa juga. Dari 5 orang cewek di kelasku waktu tingkat satu, yang bukan orang jawa cuma saya.
Padahal mamaku orang jawa. Mm, setengah jawa sih, setengahnya lagi padang.

Haah pokoknya, saya tau hal positif yang bisa disimpulkan dari pendapat mereka tentang orang Kalimantan.

"Orang Kalimantan putih-putih, ya?"

Saya langsung brb luluran.

4 comments:

  1. saya gak bisa ngomong banyak. hanya bisa sedikit tersenyum membaca tulisan di atas.. hihihi
    geografi nya dapat D minus kali yak.. hihi

    ReplyDelete
  2. iya banget hiks :'(
    gapapa yang penting mereka udh pada tau kan saya eksis haha

    ReplyDelete
  3. hihihi huakakakak *sakit perut total

    ReplyDelete
  4. wah parah lu ra ngetawain aib orang

    ReplyDelete

What do you think?