Friday, August 17, 2012

Secangkir Kopi


Datang lima belas menit lebih awal dari waktu perjanjian sama sekali bukan kebiasaanku. Tetapi entah kali ini. Aku terduduk rapi di depan secangkir cappuccino yang telah diseruput setengah; menunggu dengan sabar, bahkan tanpa memegang handphone atau buku bacaan. Sesekali pandanganku berkeliling ke seantero ruangan di kafe ini, terlebih mengkhususkan perhatian pada pintu masuk yang membuka dan menutup sering sekali karena banyaknya jumlah pengunjung yang bergiliran keluar dan masuk. Siapa tahu, dia salah satunya.

Ya, mungkin memang serindu itu aku padanya.

Empat tahun bukan waktu yang singkat buatku, apalagi buatnya, untuk dihabiskan menunggu. Menunggu aku, yang pada akhirnya kembali, tetapi bukan untuknya lagi.

"Nggak apa-apa," ucapnya waktu itu, sedikit pun tidak terbata.

Rasanya jadi aku yang terluka. Seharusnya aku yang jadi pemeran jahatnya; mengabaikannya, membuatnya berlama-lama menunggu yang tidak ada, dan meninggalkannya begitu saja tanpa kompensasi apa-apa. Tidak pula rasa yang tersisa. Tetapi dia malah baik-baik saja. Awalnya aku tidak ingin membuatnya menangis, tapi kali itu aku malah ingin melihat setidaknya setitik air mata. 

"Kau baik-baik saja?" tanyaku, memastikan. Mungkin dia sebenarnya sedang menahan tangis. Perempuan kan, memang selalu begitu. Pura-pura kuat, pura-pura baik-baik saja.

"He'eh."

Ada jeda yang lama. Aku berani bertaruh ia terisak di balik bantalnya.

"Aku memang sudah tahu dari dulu," lanjutnya dengan nada biasa, bahkan cenderung ceria.

Aku sempat kehilangan kata-kata waktu itu. Menebak-nebak, terbuat dari apa gadis ini sebenarnya. Ia seperti tahan peluru. Aku tidak bisa lagi melukainya, atau mungkin, memang sudah lama tidak.

Kutelan pertanyaan terakhirku, lalu kuakhiri percakapan telepon malam itu. Percakapan terakhir. Sengaja tidak kuhubungi ia lagi seterusnya.

Sampai seminggu yang lalu.

E-mail itu datang ke inbox-ku. Singkat dan padat. Tidak mengandung emosi. Cuma dapat diartikan satu saja: aku, dia, Sabtu pagi di kafe langganan kami—dulu.

Maka di sinilah aku, gantian menunggu. Kulirik jam tanganku. Setahuku ia selalu datang tepat waktu, sehingga aku heran lewat lima menit dan belum tampak kemunculannya di pintu. Mungkin jam tanganku kusetel terlalu cepat. Mungkin juga ia hanya tidak ingin buru-buru bertemu denganku.

"Hei."

Aku hampir terlonjak dari tempat duduk. Tahu-tahu, ia sudah duduk di depanku. Apa aku yang sudah tidak mengenalinya lagi?

"Hei..."

Dia jadi lebih cantik. Atau aku yang lupa bahwa dia selalu secantik ini?

"Sudah menunggu lama?" tanyanya ceria. Sedikitpun tanpa rasa bersalah. Ya, dia memang selalu seperti ini.

"Kau telat lima menit," ucapku kaku. "Tidak biasanya."

"Maaf." Ia tersenyum memamerkan giginya. "Tadi ada telepon penting."

"Tidak apa-apa," kataku, akhirnya tersenyum. "Mau kupesankan kopi?"

"Mm, aku nggak minum kopi, jus jeruk aja."

Ada yang aneh. Dulu, dia selalu minum kopi. Bahkan hingga lima cangkir sehari, sampai-sampai aku harus memperingatkannya karena khawatir dia keracunan kafein.

Ada lagi yang aneh. Perasaan apa ini? Kuakui, aku memang rindu, tetapi sebelumnya rindu tidak pernah membuat perutku bergejolak hebat seperti ini. Seperti saat bertemu cinta pertama. Tetapi dia bukan, jelas bukan.

"Kenapa?" tanyanya.

Kenapa dia santai saja? Kenapa hanya aku?

Kuseruput cappuccino ku hingga tandas, lalu kupesan jus jeruk bersamanya. Jus jeruk bisa dihabiskan sekali tenggak. Akan kubuat pertemuan ini jadi sesingkat mungkin.

"Jadi sebenarnya, apa yang ingin kau bicarakan?"

Dia tersenyum lagi, memamerkan gigi-giginya yang berderet putih dan rapi itu. Perutku kembali tidak nyaman. Firasatku mengatakan, apapun yang ingin disampaikannya nanti akan membuatku merasa lebih tidak nyaman lagi.

No comments:

Post a Comment

What do you think?