Sunday, March 23, 2014

Snippet

Hujan yang telah kuamati selama lima belas menit penuh dari balik jendela kaca tebal kamarku akhirnya berhenti, tetapi rasanya aku terlanjur enggan untuk beranjak. Udara masih dingin dan lembab, dan pelukan selimut di tubuhku terlalu nyaman untuk dilepaskan. Namun, lengkingan ponsel yang bergetar di tangan mencegahku untuk meringkuk lebih dalam di bawah selimut dan bergelung di sana hingga pagi menjelang. 

"Halo?"

"Hujan sudah berhenti. Cepat kemari atau akan ada kekacauan besar, yang dapat kupastikan penyebabnya adalah kau."

Rio tidak pernah mengerti adab berbicara di telepon, bahkan untuk sekedar berkata 'halo'. Aku mendesah, menendang selimut dengan kakiku hingga terlempar ke lantai, dan merasakan udara dingin menyergap tubuhku yang hanya berbalut daster tidur kesayangan. "Baiklah, dua puluh menit lagi aku sampai. Itupun kalau jalanan lancar. Kau tahu, seperti biasa hujan selalu mendatangkan kemacetan."

"Omong kosong. Kau akan sampai dalam lima belas menit. Sudah kusuruh orang menjemputmu sejak hujan berhenti tadi."

"Orang?" Aku menelan ludah. Orang-orang Rio tidak pernah membuatku merasa nyaman. "Biar kutebak, Bobby?"

"Yep," jawabnya singkat, lalu dengan satu klik cepat memutuskan sambungan.

Buru-buru aku menyambar setelan yang tergantung dibalik pintu. Celana formal gelap, blus hijau muda dengan aksen pita di depannya, dan blazer gelap yang pas di badan. Tak lupa aku mengalungkan tanda pengenal hijau bertali hitam dengan cepat di leherku setelah selesai berganti baju dan membenahi rambut yang kukuncir kuda serapi mungkin. Aku sedang memakai sepatu pantofel hitam mengilap ketika deru mesin motor bergemuruh dari jalanan. 

Bobby sudah datang. 

Setengah berlari aku menyampirkan tas dan keluar dari kamar. Pintu terkunci otomatis saat aku membantingnya menutup, dan di teras depan ada Nyonya Tan sang pemilik rumah, hingga aku tak perlu repot-repot mengunci pintu depan dan membuat Bobby menggerutu karena harus menunggu.

"Bertugas sepagi ini, Nak?" sapa Nyonya Tan ramah. 

Aku merasa tidak nyaman karena tidak sempat berbasa-basi, jadi aku berusaha untuk membuat nada suaraku seramah dan setidak-terganggu mungkin saat menjawab, "Iya, Bu, maklum, tuntutan pekerjaan. Permisi," sambil tersenyum dan melesat menuju Bobby dan motor besarnya yang menderu-deru seperti singa marah.

Bobby mengulurkan helm kepadaku saat aku mendekat. "Cepat naik, Rio ingin kita sudah tiba di sana sepuluh menit dari sekarang."

Aku mengangguk cepat, memasang helm dan menghancurkan kuncir yang sudah susah-susah kubuat rapi, lalu memanjat ke jok belakang Bobby. 

"Pegangan yang erat atau kau akan terlempar."

Tak perlu disuruh, aku mengalungkan lenganku erat-erat ke tubuh Bobby yang besar dan berlapis jaket kulit yang dingin. Sekali aku pernah nyaris terlempar saat dibonceng olehnya hanya karena aku berusaha mempertahankan tas yang hampir terbang terbawa angin.

Aku membayangkan wajah Rio yang kesal karena aku menolak datang hanya karena hujan, dan, sambil menggumamkan doa-doa keselamatan saat motor mulai digeber dan melaju meninggalkan komplek, berharap klien yang akan kuhadapi nanti mau berbaik hati menyediakan sarapan karena perutku sudah mulai meneriakkan raungan-raungan kelaparan.

No comments:

Post a Comment

What do you think?