Friday, March 07, 2014

Pelangi


Kamu tahu mengapa saya suka pelangi? Bila belum, mari saya bagi ceritanya padamu.

Pada suatu hari, sehabis bermain lompat tali dengan teman-teman sebelah rumah di pekarangan sekolah seberang jalan, saya mencoba menjadi sedikit nakal. Ibu bilang saya sudah harus pulang sebelum jam tiga, tetapi saya masih belum puas karena anak-anak tetangga mau lanjut bermain petak umpet di lorong-lorong kelas yang terkunci. Sekali itu saja, pikir saya. Saya bosan jadi anak yang paling bodoh dalam permainan karena terlalu banyak diam di rumah dan duduk membaca.

Seorang yang mendapat giliran jaga mulai menghitung sampai seratus dengan kecepatan mobil formula. Saya dan yang lainnya buru-buru berlari mencari tempat persembunyian. Beberapa memilih bersembunyi di balik pintu. Atau di kantin yang gelap. Saya tak suka tempat biasa. Saya melompat dari lantai panggung bangunan sekolah dan bersembunyi di bawah lantai. Mereka bilang di bawah ada biawak dan ular sawah, tetapi saya tidak takut. Setahu saya biawak tidak makan manusia, jadi menurut saya makhluk itu hanya sekedar cicak berukuran besar dan panjang. Ular sawah? Saya tidak percaya. Tanah di bawah gedung sekolah lebih cocok disebut rawa dibandingkan sawah yang ada padinya.

Saya menunggu lama. Sesekali terdengar kehebohan dan grudak-gruduk langkah di lantai papan sekolah saat beberapa anak mulai ketahuan dalam persembunyian. Sekuat tenaga saya menahan tawa. Kalau saya tidak ketahuan sampai permainan usai, saya akan jadi pembela, dan tidak akan beresiko dapat giliran jaga di putaran berikutnya.

Langit tampak gelap lalu hujan turun, deras pula. Menulikan pendengaran saya akan percakapan yang sebelumnya bisa saya dengar dari sela-sela papan. Saya mulai meragukan apakah mereka masih berusaha mencari saya, atau mengira saya sudah pulang mengingat mereka juga tahu bahwa saya sudah diharuskan pulang pukul tiga.

Dingin. Saya mulai ketakutan. Bagaimana kalau saya ditinggalkan? Saya ingin berlari menerobos hujan sampai ke rumah, tetapi gemuruh petir menggelegar. Katanya, petir akan menyambar orang yang berbaju merah, dan saya sedang memakai kaos merah kesayangan saya! Saya akhirnya meringkuk di bawah lantai papan yang dipenuhi sarang laba-laba. Dalam hati saya berdoa supaya air hujan tidak menyebabkan banjir karena kaki saya sudah menghitam terkena air hujan yang bercampur tanah yang melunak.

Ketika saya hampir menangis dan nekat berlari menerobos hujan dengan kemungkinan gosong disambar petir, langit tiba-tiba kembali cerah, dan hujan pun mereda. Saya memberanikan diri keluar dari kolong dan memandang sekeliling bangunan sekolah yang kecil. Teman-teman saya tampaknya sudah pulang semua.

Dalam perjalanan kembali ke rumah disertai rintik-rintik gerimis yang tersisa, saya cemas membayangkan akan dimarahi Ibu karena terlambat pulang, kaki kotor, dan basah berhujan. Tetapi ketika saya mendongak untuk membasahi wajah saya yang mungkin penuh debu, di sana lah ia. Pelangi. Lengkungan indah berwarna-warni, seperti es krim favorit saya yang wajib dibeli sehabis pulang dari supermarket berbelanja.

Mendadak, kecemasan saya hilang, ditelan indahnya pelangi dan sejuknya rintik hujan.

... Hei, cerita saya belum usai. Kurasa sekarang kamu berpikir, untuk apa-apa saya repot-repot mengulang satu fragmen masa lalu untuk diceritakan padamu?

Jawabannya, karena saya tahu kalau kamu pasti akan mendengarkan saya, semembosankan apapun ceritanya. Dan saya berterima kasih karenanya. Bila berbicara denganmu, saya tak perlu lagi mencemaskan hal-hal yang sepagian ini merisaukan saya. Tahu-tahu hilang, lenyap ditelan anggukan pelan dan senyummu yang khidmat mendengarkan dengan seksama.

Ya, mungkin terdengar picisan, tetapi entah sejak kapan, kamu seperti pelangi buat saya. Silakan tertawa karena saya pun akan ikut juga. Lagipula saya hanya ingin kamu tahu, dan, tentu saja, melihat senyum itu.

3 comments:

What do you think?