Kamu
tahu mengapa saya suka pelangi? Bila belum, mari saya bagi ceritanya padamu.
Pada
suatu hari, sehabis bermain lompat tali dengan teman-teman sebelah rumah di
pekarangan sekolah seberang jalan, saya mencoba menjadi sedikit nakal. Ibu
bilang saya sudah harus pulang sebelum jam tiga, tetapi saya masih belum puas
karena anak-anak tetangga mau lanjut bermain petak umpet di lorong-lorong kelas
yang terkunci. Sekali itu saja, pikir saya. Saya bosan jadi anak yang paling
bodoh dalam permainan karena terlalu banyak diam di rumah dan duduk membaca.
Seorang
yang mendapat giliran jaga mulai menghitung sampai seratus dengan kecepatan
mobil formula. Saya dan yang lainnya buru-buru berlari mencari tempat
persembunyian. Beberapa memilih bersembunyi di balik pintu. Atau di kantin yang
gelap. Saya tak suka tempat biasa. Saya melompat dari lantai panggung bangunan
sekolah dan bersembunyi di bawah lantai. Mereka bilang di bawah ada biawak dan
ular sawah, tetapi saya tidak takut. Setahu saya biawak tidak makan manusia,
jadi menurut saya makhluk itu hanya sekedar cicak berukuran besar dan panjang.
Ular sawah? Saya tidak percaya. Tanah di bawah gedung sekolah lebih cocok
disebut rawa dibandingkan sawah yang ada padinya.
Saya
menunggu lama. Sesekali terdengar kehebohan dan grudak-gruduk langkah di lantai
papan sekolah saat beberapa anak mulai ketahuan dalam persembunyian. Sekuat
tenaga saya menahan tawa. Kalau saya tidak ketahuan sampai permainan usai, saya
akan jadi pembela, dan tidak akan beresiko dapat giliran jaga di putaran berikutnya.
Langit
tampak gelap lalu hujan turun, deras pula. Menulikan pendengaran saya akan
percakapan yang sebelumnya bisa saya dengar dari sela-sela papan. Saya mulai
meragukan apakah mereka masih berusaha mencari saya, atau mengira saya sudah
pulang mengingat mereka juga tahu bahwa saya sudah diharuskan pulang pukul
tiga.
Dingin.
Saya mulai ketakutan. Bagaimana kalau saya ditinggalkan? Saya ingin berlari
menerobos hujan sampai ke rumah, tetapi gemuruh petir menggelegar. Katanya,
petir akan menyambar orang yang berbaju merah, dan saya sedang memakai kaos
merah kesayangan saya! Saya akhirnya meringkuk di bawah lantai papan yang
dipenuhi sarang laba-laba. Dalam hati saya berdoa supaya air hujan tidak
menyebabkan banjir karena kaki saya sudah menghitam terkena air hujan yang
bercampur tanah yang melunak.
Ketika
saya hampir menangis dan nekat berlari menerobos hujan dengan kemungkinan
gosong disambar petir, langit tiba-tiba kembali cerah, dan hujan pun mereda.
Saya memberanikan diri keluar dari kolong dan memandang sekeliling bangunan
sekolah yang kecil. Teman-teman saya tampaknya sudah pulang semua.
Dalam
perjalanan kembali ke rumah disertai rintik-rintik gerimis yang tersisa, saya
cemas membayangkan akan dimarahi Ibu karena terlambat pulang, kaki kotor, dan basah
berhujan. Tetapi ketika saya mendongak untuk membasahi wajah saya yang mungkin
penuh debu, di sana lah ia. Pelangi. Lengkungan indah berwarna-warni, seperti
es krim favorit saya yang wajib dibeli sehabis pulang dari supermarket
berbelanja.
Mendadak,
kecemasan saya hilang, ditelan indahnya pelangi dan sejuknya rintik hujan.
... Hei,
cerita saya belum usai. Kurasa sekarang kamu berpikir, untuk apa-apa saya
repot-repot mengulang satu fragmen masa lalu untuk diceritakan padamu?
Jawabannya,
karena saya tahu kalau kamu pasti akan mendengarkan saya, semembosankan apapun
ceritanya. Dan saya berterima kasih karenanya. Bila berbicara denganmu, saya
tak perlu lagi mencemaskan hal-hal yang sepagian ini merisaukan saya. Tahu-tahu
hilang, lenyap ditelan anggukan pelan dan senyummu yang khidmat mendengarkan
dengan seksama.
Ya,
mungkin terdengar picisan, tetapi entah sejak kapan, kamu seperti pelangi buat
saya. Silakan tertawa karena saya pun akan ikut juga. Lagipula
saya hanya ingin kamu tahu, dan, tentu saja, melihat senyum itu.
i like this writing.
ReplyDeletewhy, thank you! :D
Deletetulisan yg lembut
ReplyDelete