Wednesday, July 30, 2014

Snippet #2

Kasus kali ini berhasil kami selesaikan jauh lebih cepat daripada yang kukira. Kalimat-kalimat ancaman dari Rio padaku di telepon tadi pagi membuatku membayangkan akan menghadapi sebuah kasus rumit dengan klien terburuk yang pernah ada.

Nyatanya, selain fakta bahwa klien kami adalah seorang pemilik perusahaan tambang yang luar biasa kaya raya dan gampang tersulut emosinya, aku hanya perlu berbincang dengannya selama kurang lebih 30 menit sebelum Rio dapat menyimpulkan analisis dan menemukan benda yang semalaman ini ia cari. Ya, hanya sebuah insiden kehilangan barang biasa. Meski tak dapat dipungkiri barang yang hilang adalah sebuah cincin berlian yang bila diuangkan dapat membayar biaya sewa kamar di rumah Nyonya Tan selama kurang lebih 20 tahun, dan imbalan jasa yang kami terima untuk pekerjaan ini mampu membuat Rio kehilangan wajah sok tenangnya selama sepersekian detik pertama si pengusaha mengulurkan cek yang ditandatanganinya pada kami.

Aku tak mampu menghapus senyum di wajahku. Hari masih pagi, udara yang terasa sejuk karena hujan dini hari membuat kaku wajahku dalam ekspresi itu. Sekilas aku melirik Rio yang berjalan dengan langkahnya panjang-panjang di sampingku. Ia selalu terlihat rileks setiap kali sebuah kasus berhasil diselesaikan dengan mulus, dan meski aku tidak melihat senyum di bibirnya, aku yakin bisa melihat pancaran rasa senang dan optimisme dibalik kacamata ber-frame tebalnya. Rio jelas bukan orang yang berorientasi uang, tapi bukan berarti ia tidak akan senang bila menerima selembar cek yang dapat dicairkan menjadi setumpuk besar uang untuk membiayai kegiatan operasional kami.

Aku memutuskan untuk bertanya selagi Rio masih dalam mood yang bagus. "Jadi, makan-makan di restoran mahal atau pesta barbekyu?"

Rio menoleh dengan ekspresi wajah seakan baru menyadari bahwa aku ada di sampingnya, lalu melambatkan langkah. Aku bersyukur karena tak lagi harus berjalan cepat, bahkan hampir berlari, hanya untuk bisa menyamai langkahnya.

"Maksudmu?"

"Kita baru menyelesaikan kasus gampang dengan bayaran luar biasa dan hari ini pun masih panjang. Tidakkah menurutmu kita harus merayakannya?"

Ia tampak berpikir sebentar. "Jadi kau menyarankan kita perlu makan di restoran mahal, berdua?"

Mataku membelalak, dan kurasakan wajahku menghangat. Rio membuatnya seolah-olah aku mengajaknya kencan atau apa. "Tentu saja tidak. Ajak Bobby, ia jelas sudah sangat membantu dalam kasus ini. Lalu Anika, Ian, Tito, Pak Untung, Pak Tomo, bocah- pemberi-informasi-yang-aku-lupa-namanya, dan kalau perlu aku akan ajak Nyonya Tan. Ajak semua orang yang kau kenal, kalau perlu." Aku menarik napas agak panjang dan menghembuskannya perlahan sejenak setelah berbicara terlalu cepat. "Mungkin pesta barbekyu jauh lebih seru untuk itu."

Rio menatapku dengan alis terangkat. Kupikir ia akan menolak, beralasan bahwa hal itu merepotkan ataupun buang-buang waktu dan uang. Namun, ia hanya kembali menatap lurus ke depan dan menggumamkan, "Oke."

Senyum kembali menghiasi wajahku. Meski tidak bertahan lama, karena aku mulai mengkhawatirkan bagaimana cara kami pulang ke kantor. Kakiku mulai terasa pegal setelah berjalan cepat hampir 500 meter dari pintu rumah sang klien menuju gerbang ke luar halamannya--ya, area rumahnya memang seluas itu. Dan setelah mencapai pintu gerbang, kami akan keluar ke jalan kompleks dan perlu sekitar satu kilometer lagi untuk menemukan jalan utama dan bersusah payah menyetop taksi atau kendaraan umum apapun yang melewati daerah pinggir kota ini. Sebesar apapun rasa tidak sukaku pada Bobby dan kegilaannya dalam berkendara, aku lebih memilih terombang-ambing di jok belakang motornya daripada terpaksa harus menambah satu jam lagi berjalan kaki bersisian dengan Rio.

"Bagaimana kita akan kembali kantor?"  tanyaku. "Apa kau akan meminta bantuan orang-orangmu lagi? Bobby?"

Rio mengerutkan alis. "Mereka bukan tukang ojek."

"Memang. Lalu bagaimana? Apa perlu kupesan taksi sekarang? Kalau beruntung, kurasa kita akan dijemput paling cepat satu jam dari sekarang, tapi hal itu masih mendingan daripada berjalan kaki satu jam lalu melambai-lambai menunggu taksi yang tak pernah lewat. Aku heran klien kita tidak menawarkan transportasi pulang mengingat betapa terpencilnya tempat ini, tapi mungkin ia merasa nominal yang ia berikan sudah mencakup transportasi dan segalanya..."

"Sebenarnya beliau menawarkanku untuk diantar pulang oleh supirnya, tapi tentu saja aku menolak."

Tentu saja? Aku ingin menyodok tulang rusuknya dengan siku, tetapi menahan diri demi keberlangsungan pesta barbekyu nanti malam. Kalau ia merundung gara-gara tindakanku, bisa-bisa aku gagal mendapatkan kucuran dana untuk pesta. Bagaimanapun, ia adalah atasanku, atau semacam itu.

Aku mencoba mengaburkan nada kesal dalam suaraku. "Dan kau menolaknya karena...?"

Rio mengedikkan dagunya ke depan. Kami sudah sampai di depan pintu gerbang dan pos satpam. Awalnya kupikir ia menunjuk kepada satpam yang tersenyum ramah kepada kami, tetapi aku menyadari dibelakang satpam tersebut terparkir sebuah motor besar dengan sepasang helm diletakkan di atas joknya.

Ha. Ini tidak mungkin. 

Selama kurang lebih satu tahun bekerja dengan Rio, hanya satu kali aku pernah melihatnya mengendarai sesuatu. Dan sesuatu itu adalah sebuah sepeda pink dengan keranjang dan roda tambahan milik seorang gadis kecil yang diculik, dan Rio mencobanya untuk membuktikan hipotesisnya tentang perkiraan tempat dan waktu kejadian penculikan berdasarkan rute bersepeda sang gadis. Aku menyimpulkan Rio sama sekali tidak memiliki kemampuan berkendara, sehingga ia selalu meminta bantuan orang-orangnya tiap kali kami membutuhkan tumpangan cepat ke lokasi tertentu. 

Namun, sepeda motor.

"Kau yakin?"

"Kau ingin berjalan kaki satu jam lagi untuk melambai-lambai ke taksi yang tidak pernah lewat?" 

"Aku bisa menelepon taksi dan menunggu dijemput di sini."

"Oke."

Rio memasang helmnya dan mulai menyalakan mesin motor. Raungan bertenaga dari knalpot motor memenuhi kompleks raksasa yang sunyi ini. Mendadak aku menyadari betapa menyedihkannya bila aku harus menunggu selama satu jam--kemungkinan lebih--di tempat terasing, sendirian. Mungkin tidak terlalu sendirian; si satpam yang tersenyum ramah masih mempertahankan senyumnya kepadaku.... membuatku semakin mengurungkan niat untuk tinggal.

"Um, hei." Aku memanggil Rio. Sedikit malu-malu karena terpaksa menjilat ludah sendiri. "Hei."

Tetapi deru mesin motor dan helm yang telah terpasang membuatnya tidak mendengarkanku. Atau ia memang pura-pura tak mendengar, karena aku yakin melihat salah satu ujung bibirnya tertarik ke atas sambil sok menatap kenop gas yang tidak ada artinya.

Aku memutuskan langsung mengambil aksi daripada basa-basi. Kuraih helm yang masih terletak manis di jok belakang, memasangnya di kepalaku dan merusakkan kuncir kuda yang baru saja kurapikan di toilet rumah klien sebelum pulang, lalu memanjat ke atas jok di belakang Rio. Kuharap ia benar-benar bisa mengendarai benda ini, karena aku tidak ingin mati konyol hanya gara-gara seseorang ingin sok keren mengendarai motor besar.

"Siap?" tanya Rio. 

Ia tak menyuruhku berpegangan, tidak seperti Bobby. Jadi kurasa memang tak perlu, toh sebagai pemula kurasa ia akan berhati-hati dan tak memacu motornya terlalu laju. Kusisihkan jarak sekitar lima sentimeter antara bagian depan tubuhku dan punggungnya.

Aku merasakan tatapan si satpam menembus punggungku, membuatku sedikit bergidik. 

"Ayo jalan."

No comments:

Post a Comment

What do you think?