Hei, Je.
Maaf aku terpaksa menyita waktu luangmu untuk
membaca surat ini dengan menyelipkannya di novel yang belum selesai kamu baca
itu. Aku tidak tahu harus dengan cara apalagi meraihmu, karena belakangan ini
kamu, dan mungkin juga aku, terlalu sibuk dengan diri masing-masing hingga
hampir tak lagi saling menyapa. Tenang, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Bukankah
ini yang kita inginkan? Kesibukan? Pekerjaan yang tak kunjung selesai? Pesta
demi pesta yang dilewatkan tergesa sambil tersenyum terpaksa pada tamu-tamu
yang bahkan tak pernah kita suka?
Oke, aku tidak bermaksud untuk sinis. Tapi
entahlah, Je, belakangan aku mulai menyadarinya. Ada yang salah dengan hidupku.
Mungkin hidupmu juga. Rasa-rasanya, semua berlalu begitu cepat. Dunia berputar
terlalu kencang dan aku terlalu takut untuk tertinggal dalam putaran. Sekarang
aku sudah hampir tidak mengenali diriku sendiri, Je, masihkah kamu?
Mungkin kamu kebingungan dengan isi surat ini.
Begitu pula aku, andai kamu tahu. Apa yang sebenarnya ingin kusampaikan? Mungkin
tidak ada. Mungkin aku hanya rindu bercerita padamu tentang semua hal, menggila
dengan saling ejek dan tertawa tak kunjung berhenti sepanjang malam—semua kita
lakukan tanpa sedikitpun pengaruh alkohol seperti yang orang-orang tuduhkan.
Hei, aku merindukan semua itu. Kamu, makan malam terbaik di seluruh dunia
(sebagaimana kita selalu menyebutnya), dan perhatian-perhatian kecil kepada
hal-hal aneh disekeliling kita untuk kemudian ditertawakan bersama.
Ceritaku kali ini singkat saja. Dan kemungkinan
tanpa bumbu tawa. Ya, Je, aku akan pergi. Aku bosan dengan rutinitas yang
membantaiku habis-habisan demi nominal berdigit yang tak bisa kunikmati. Aku
ingin... bebas. Seperti kita dulu, dulu sekali. Sebelum ada embel-embel di
depan dan belakang nama kita. Sebelum mobil Jepang kita berganti dengan mobil
baru buatan Eropa. Sebelum kita tak sempat merasakan nikmat matahari karena
harus berangkat sebelum pagi dan pulang hampir pagi lagi.
Jangan menyusulku, kamu tidak perlu. Cinta kita
tidak butuh dibuktikan dengan apapun selain perasaan di hati masing-masing yang
aku tahu benar memang ada. Kamu pun tidak harus tahu di mana aku saat kamu
sedang membaca surat ini, tetapi percayalah aku sedang berbahagia. Oleh karena
itu kamu juga harus berbahagia, Je.
Aku sudah terbangun dari mimpi panjang yang buruk.
Sekarang giliranmu. Kuharap kamu segera membuka mata dan melihat dunia
sebenarnya—bukan sesempit pemandangan kemacetan ibukota yang terpampang di
jendela saat kamu sesekali mengintipnya dari balik kubikelmu.
No comments:
Post a Comment
What do you think?