Wednesday, November 28, 2012

Hei, Je


Hei, Je.

Maaf aku terpaksa menyita waktu luangmu untuk membaca surat ini dengan menyelipkannya di novel yang belum selesai kamu baca itu. Aku tidak tahu harus dengan cara apalagi meraihmu, karena belakangan ini kamu, dan mungkin juga aku, terlalu sibuk dengan diri masing-masing hingga hampir tak lagi saling menyapa. Tenang, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Bukankah ini yang kita inginkan? Kesibukan? Pekerjaan yang tak kunjung selesai? Pesta demi pesta yang dilewatkan tergesa sambil tersenyum terpaksa pada tamu-tamu yang bahkan tak pernah kita suka?

Oke, aku tidak bermaksud untuk sinis. Tapi entahlah, Je, belakangan aku mulai menyadarinya. Ada yang salah dengan hidupku. Mungkin hidupmu juga. Rasa-rasanya, semua berlalu begitu cepat. Dunia berputar terlalu kencang dan aku terlalu takut untuk tertinggal dalam putaran. Sekarang aku sudah hampir tidak mengenali diriku sendiri, Je, masihkah kamu?


Mungkin kamu kebingungan dengan isi surat ini. Begitu pula aku, andai kamu tahu. Apa yang sebenarnya ingin kusampaikan? Mungkin tidak ada. Mungkin aku hanya rindu bercerita padamu tentang semua hal, menggila dengan saling ejek dan tertawa tak kunjung berhenti sepanjang malam—semua kita lakukan tanpa sedikitpun pengaruh alkohol seperti yang orang-orang tuduhkan. Hei, aku merindukan semua itu. Kamu, makan malam terbaik di seluruh dunia (sebagaimana kita selalu menyebutnya), dan perhatian-perhatian kecil kepada hal-hal aneh disekeliling kita untuk kemudian ditertawakan bersama.

Ceritaku kali ini singkat saja. Dan kemungkinan tanpa bumbu tawa. Ya, Je, aku akan pergi. Aku bosan dengan rutinitas yang membantaiku habis-habisan demi nominal berdigit yang tak bisa kunikmati. Aku ingin... bebas. Seperti kita dulu, dulu sekali. Sebelum ada embel-embel di depan dan belakang nama kita. Sebelum mobil Jepang kita berganti dengan mobil baru buatan Eropa. Sebelum kita tak sempat merasakan nikmat matahari karena harus berangkat sebelum pagi dan pulang hampir pagi lagi.

Jangan menyusulku, kamu tidak perlu. Cinta kita tidak butuh dibuktikan dengan apapun selain perasaan di hati masing-masing yang aku tahu benar memang ada. Kamu pun tidak harus tahu di mana aku saat kamu sedang membaca surat ini, tetapi percayalah aku sedang berbahagia. Oleh karena itu kamu juga harus berbahagia, Je.

Aku sudah terbangun dari mimpi panjang yang buruk. Sekarang giliranmu. Kuharap kamu segera membuka mata dan melihat dunia sebenarnya—bukan sesempit pemandangan kemacetan ibukota yang terpampang di jendela saat kamu sesekali mengintipnya dari balik kubikelmu.

No comments:

Post a Comment

What do you think?