Entah patut dibanggakan atau tidak: aku mampu mengenalinya dari kejauhan, bahkan di tengah kerumunan orang. Di mataku ia tampak bercahaya, sehingga dengan mudah aku mengikuti sosoknya yang ramping menyelinap di celah-celah keramaian. Bibirku mulai menyunggingkan senyum yang tidak bisa ditahan.
Pertemuan.
Aku bertemu dengannya beberapa kali dalam sehari. Kebanyakan hanya papasan singkat di jalan, disertai anggukan singkat dan senyuman tipis seadanya. Ia tahu namaku dan aku tahu namanya. Hubungan yang sangat kasual dan sederhana.
Belakangan, rasanya ada yang kurang. Raut wajahnya tampak tak fokus saat kami berpapasan, sehingga jangankan balas menyunggingkan senyum, ia mungkin tak sadar bahwa aku sedang menatapnya dengan senyum terbaik yang ku punya. Ia hanya berlalu, lewat begitu saja, dan yang kudapat hanya samar-samar bau parfumnya.
Aku tidak pernah meminta banyak. Hanya sedikit senyum dan sapaan singkat sudah jauh lebih cukup. Tetapi ketiadaan keduanya membuatku merasa kehilangan yang besar. Satu bagian rutinitas mendadak menghilang. Satu bagian hati rindu memuja. Dan satu hal yang kutahu; aku harus melakukan sesuatu.
Maka sampailah aku pada hari ini. Kepada pertemuan yang hampir terjadi, beberapa saat lagi. Jantungku berdebar terlalu keras karena antisipasi. Ia semakin dekat. Pertemuan sesungguhnya, lebih dari tatapan satu detik dan sahutan basa-basi. Ia kemari untukku.
Atau tepatnya, karena aku.
“Selamat siang, Pak.”
“Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?”
Ia tampak mengatur napas. Wajahnya terlihat lelah. Masalah yang dihadapinya sudah menggerogotinya dari dalam. Aku bahkan tak melihat ia susah payah memalsukan senyum agar terlihat sopan.
“Bapak lihat suami saya, tidak? Tadi pagi dia datang bersama saya sampai ke ruangan. Saya pikir setelah itu dia langsung pulang, tetapi ternyata mobilnya masih ada di parkiran. Selama Bapak menjaga pintu ini dari pagi sampai sekarang, apa Bapak melihatnya keluar?”
“Wah, saya kurang tahu, Mbak. Hari ini pengunjung mal sedang ramai sekali.”
“Oh. Baiklah kalau begitu. Tolong kabari saya kalau-kalau Bapak ingat sesuatu, ya, Pak. Saya kembali ke ruangan dulu.”
“Siap, Mbak. Akan saya bereskan.”
Ia menatapku bingung sedetik dua detik karena kalimat terakhirku. Ia tidak akan mengerti. Aku meraih pentungan di meja dan mengelusnya perlahan. Harus dibersihkan dengan alkohol. Kalau tidak, bau darah akan tercium meski samar-samar.
Aku masih harus membereskan sesosok yang mulai kaku dari kamar mandi satpam. Namun aku telah berhasil membereskan masalah yang membuat keningnya berkerut berminggu-minggu dan meninggalkan bekas luka serta memar biru yang tak mampu disembunyikan dandannya.
Ya, terima kasih kembali.
No comments:
Post a Comment
What do you think?