“Aku sudah nggak suka lagi sama kamu.”
Akhirnya kukatakan. Sudah lama kusadari bahwa perasaanku terhadapnya kian memudar, namun sesuatu terjadi tadi pagi. Aku terbangun, membuka mata yang tiba-tiba cemerlang, dan entah bagaimana aku tahu pasti perasaanku padanya sudah sama sekali hilang. Dan bukan aku namanya kalau tidak segera ambil tindakan atau memendam-mendam sesuatu seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Ia tidak berbicara, tentu saja, hanya menatapku dengan tatapannya yang dulu membuatku tergila-gila. Dulu. Terdengar sangat jauh, seakan sudah lama sekali hal itu terjadi.
Aku mengabaikannya, lalu mulai sibuk mengemasi barang-barang kenangan dan memorabilia. Aku menyimpan banyak sekali hal-hal yang berhubungan dengannya. Beberapa tersusun rapi di meja belajarku, ditata sedemikian rupa sehingga semua orang yang melihatnya akan tahu bahwa aku menganggapnya sangat berharga. Sekarang barang-barang tersebut sudah tidak artinya, berpindah dari meja belajarku dan laci-laci lemari ke dalam kardus berukuran sedang yang bahkan tidak selera untuk aku rapikan lagi.
Aku merasakan ia menatapku dari balik punggung, menyaksikan aku dengan riuh menyerakkan barang-barang ke kardus yang kini setengah penuh. Aku tidak ingin berbalik dan menatapnya. Sebagian dari diriku mungkin takut akan berubah pikiran lalu membongkar kardus dan mengembalikannya ke tempat semula dengan presisi yang sama.
Barang-barang ini tidak akan kubuang, aku tidak sampai hati. Hanya berpindah ke suatu tempat di sudut gudang yang sesak dan berantakan sehingga kecil kemungkinan aku akan punya keinginan untuk melihatnya lagi sekali-sekali. Sedikit lagi. Beres-beres yang melelahkan fisik dan hati ini akan selesai sebentar lagi.
Kemudian aku memberanikan diri berbalik. Ia masih menatapku. Matanya sendu, bibirnya melengkungkan senyum seadanya. Aku balas tersenyum.
“Benda terakhir,” bisikku, tanganku terulur ke arahnya.
Aku menggenggam sisi-sisi poster dengan kedua tangan lalu dengan sekuat tenaga menariknya hingga seluruh badan poster terlepas dari dinding. Tanpa melirik, aku menggulungnya dengan cepat, melemparnya ke dalam kardus, lalu menyelotip bagian atas kardus dengan buru-buru.
Hidup harus terus berjalan. Perasaanku terhadapnya hilang, sepi memang. Tetapi selalu ada tempat untuk idola baru dan merchandise-nya sehabis kardus ini kuletakkan di gudang.
suka tulisan-tulisannya... :)
ReplyDeletekalau ada waktu mampir ke blogku yah, ;)
http://mahasiswifapet.blogspot.com
siap berangkat ke TKP :D
ReplyDeleteBlogmu cute sekali, bikin nyaman bacanya :)
ReplyDelete*Blogwalking Goodreads Indonesia*
hihihi dibilang cute, terimakasih ya :)
ReplyDelete