“Kenapa Stockholm?” Adalah pertanyaan
pertama Axel padaku setelah ia menyambutku dan kami berkenalan singkat di depan
gerbang kedatangan bandara.
“Aku tidak tahu,” jawabku, mengerjap saat
menyaksikan uap keluar dari mulutku saat berbicara. “Kurasa aku hanya... tiba.”
Axel menatapku, kurasa, dengan campuran
perasaan antara kesal dan prihatin. Axel Lamont berada di pertengahan umur dua
puluhnya, tinggi tegap, pirang, dan harus kuakui, terbilang cukup tampan
diantara pria Skandinavia lainnya. Entah karena nasibnya yang sedang buruk atau
memang takdirnya sebagai bawahan yang harus selalu patuh, ia ditugaskan oleh
atasannya, salah seorang bos di perusahaan asuransi yang secara kebetulan
adalah teman mayaku, untuk menjadi pemandu wisata selama aku berada di
Stockholm.
“Rasanya Stockholm tidak terlalu populer untuk orang dari negara beriklim tropis sepertimu. Kami jarang melihat orang Asia berkeliaran sendirian menjadi turis. Jangan salahkan kami bila menatapmu beberapa detik terlalu lama karena itu,” ucapnya, sambil mengangkat bahu.
Kutatap diriku sendiri; terbungkus
berlapis-lapis pakaian dari tipis ke paling tebal demi menjaga suhu tubuhku
agar tetap hangat. Aku yang mendadak terlihat cebol di antara lautan tubuh
tinggi besar khas Skandinavia di sekitar.
“Aku terlihat mencolok sekali, ya?”
Aku tidak tahu kalau itu pertanyaan
retoris. Selain tinggi badanku dan tubuh yang terlihat menggembung tak wajar,
tidak ada hal lain yang aneh. Aku bahkan tidak mengalungi kamera profesionalku
karena khawatir akan rusak karena beku.
Axel hanya mengangkat alis sebagai
jawaban. Ia menghela napas—dan aku masih takjub dengan uap yang terbentuk
sebagai akibatnya—dan bertanya, “Selanjutnya kau mau ke mana?”
“Terserah. Kau pemandu wisatanya, harusnya
kau yang lebih tahu.”
“Baiklah. Ayo,” ucapnya, memberikan gestur
bagiku untuk mengikutinya. Ia berjalan cepat ditunjang oleh tungkai kakinya
yang panjang, membuatku terseok kesulitan di belakang sambil menyeret koperku,
setengah berlari. Aku merutuk dalam hati selama dua detik, lalu tersadar bahwa
aku tidak berhak untuk mengeluh. Aku sudah merepotkannya untuk sesuatu yang
seharusnya bukan merupakan urusannya, maka meskipun pemandu wisata yang
kudapatkan tidak seramah yang kubayangkan, harusnya aku bersyukur untuk
segalanya yang semata merupakan kebaikan hati. Kutatap langit musim dingin Swedia yang muram, lalu punggung lebar milik Axel Lamont di depanku, dan
sambil tersenyum lebar mengikutinya meninggalkan lokasi bandar udara
internasional Arlanda.
No comments:
Post a Comment
What do you think?