Friday, January 11, 2013

Stockholm Syndrome #1

“Kenapa Stockholm?” Adalah pertanyaan pertama Axel padaku setelah ia menyambutku dan kami berkenalan singkat di depan gerbang kedatangan bandara.

“Aku tidak tahu,” jawabku, mengerjap saat menyaksikan uap keluar dari mulutku saat berbicara. “Kurasa aku hanya... tiba.”

Axel menatapku, kurasa, dengan campuran perasaan antara kesal dan prihatin. Axel Lamont berada di pertengahan umur dua puluhnya, tinggi tegap, pirang, dan harus kuakui, terbilang cukup tampan diantara pria Skandinavia lainnya. Entah karena nasibnya yang sedang buruk atau memang takdirnya sebagai bawahan yang harus selalu patuh, ia ditugaskan oleh atasannya, salah seorang bos di perusahaan asuransi yang secara kebetulan adalah teman mayaku, untuk menjadi pemandu wisata selama aku berada di Stockholm.

“Rasanya Stockholm tidak terlalu populer untuk orang dari negara beriklim tropis sepertimu. Kami jarang melihat orang Asia berkeliaran sendirian menjadi turis. Jangan salahkan kami bila menatapmu beberapa detik terlalu lama karena itu,” ucapnya, sambil mengangkat bahu.

Kutatap diriku sendiri; terbungkus berlapis-lapis pakaian dari tipis ke paling tebal demi menjaga suhu tubuhku agar tetap hangat. Aku yang mendadak terlihat cebol di antara lautan tubuh tinggi besar khas Skandinavia di sekitar.

“Aku terlihat mencolok sekali, ya?”

Aku tidak tahu kalau itu pertanyaan retoris. Selain tinggi badanku dan tubuh yang terlihat menggembung tak wajar, tidak ada hal lain yang aneh. Aku bahkan tidak mengalungi kamera profesionalku karena khawatir akan rusak karena beku.

Axel hanya mengangkat alis sebagai jawaban. Ia menghela napas—dan aku masih takjub dengan uap yang terbentuk sebagai akibatnya—dan bertanya, “Selanjutnya kau mau ke mana?”

“Terserah. Kau pemandu wisatanya, harusnya kau yang lebih tahu.”

“Baiklah. Ayo,” ucapnya, memberikan gestur bagiku untuk mengikutinya. Ia berjalan cepat ditunjang oleh tungkai kakinya yang panjang, membuatku terseok kesulitan di belakang sambil menyeret koperku, setengah berlari. Aku merutuk dalam hati selama dua detik, lalu tersadar bahwa aku tidak berhak untuk mengeluh. Aku sudah merepotkannya untuk sesuatu yang seharusnya bukan merupakan urusannya, maka meskipun pemandu wisata yang kudapatkan tidak seramah yang kubayangkan, harusnya aku bersyukur untuk segalanya yang semata merupakan kebaikan hati. Kutatap langit musim dingin Swedia yang muram, lalu punggung lebar milik Axel Lamont di depanku, dan sambil tersenyum lebar mengikutinya meninggalkan lokasi bandar udara internasional Arlanda.

No comments:

Post a Comment

What do you think?