Friday, December 26, 2014

Dua Puluh Tiga dan Selanjutnya

Jika memang harus dikelompokkan, mungkin saya akan masuk dalam kategori seorang pesimis. Lebih sering daripada tidak, saya membayangkan hal-hal yang akan terjadi masa mendatang dalam kondisi terburuknya. Sebagian karena memang saya tidak memiliki kemampuan dalam membuat rencana; kebanyakan 'rencana' yang saya buat punya terlalu banyak lubang sehingga tanpa perlu menjadi seorang pesimis pun saya akan tahu hal tersebut tak mungkin berjalan mulus. Sebagian lagi karena dalam dua puluh tahun lebih hidup saya di dunia, rasanya tidak pernah sekalipun hal baik yang saya bayangkan terjadi tepat seperti kenyataan. Dan dengan bijaknya saya menyimpulkan bahwa lebih baik mempersiapkan diri untuk seburuk-buruknya keadaan daripada harus ditampar kenyataan ketika hal-hal baik di angan hanya berujung kekecewaan.

Sisi baiknya, saya adalah orang yang positif. Sungguh! Beri saya waktu lima belas sampai tiga puluh menit, dan saya akan baik-baik saja dari suasana hati buruk yang mungkin menyusahkan orang-orang di sekitar. Waktu tersebut saya gunakan untuk menenangkan hati yang berpikir tahu segalanya padahal tidak, dan memaksa logika bekerja untuk menemukan sisi baik atau sekadar meyakinkan diri bahwa apapun yang saya risaukan sesungguhnya tidak berarti apa-apa. Tiga puluh menit, atau bahkan sepuluh detik. Tak heran saya sering dituduh berkepribadian ganda.

Ketika menyadari ulang tahun ke dua puluh tiga saya jatuh dalam jadwal pelatihan neraka--atau begitulah saya ingin menyebutnya--saya cukup terganggu. Memang, ulang tahun tidak lagi seperti saat saya berumur lima; bersiap-siap dengan gaun terbaik dan menatap kue ulang tahun besar dengan hiasan bunga mawar yang bisa dimakan sambil harap-harap cemas siapa akan memberikan kado apa. Ulang tahun sekarang tidak lebih dari sekadar ucapan selamat plus barisan doa virtual ataupun telepon tengah malam dan kalau beruntung kado berpita dengan surat bertulis tangan di dalamnya. Namun bukan itu yang saya keluhkan. Yang saya takutkan atas satu hari di bulan Desember itu adalah saya tidak sempat berkaca atas satu tahun ke belakang dan merencanakan target-target hingga Desember berikutnya--karena saya terlalu sibuk berharap pelatihan selesai dan segera pulang. Dan memang, itulah yang terjadi.

Di malam sebelumnya saya sempat teringat, dengan susah payah karena ketiadaan ponsel ataupun jam tangan membuat saya hampir-hampir kehilangan rasa waktu, bahwa besok adalah hari besarnya: dua puluh tiga. Esok paginya, saya sama sekali lupa. Saya baru teringat kembali ketika seorang teman sekelas memberi ucapan selamat sesaat setelah makan pagi, dan saya pura-pura bersikap biasa saat mengucap terima kasih. Beberapa teman menakut-nakuti untuk memberikan info trivia tidak penting ini kepada pelatih, mungkin dengan harapan agar saya disiksa dan dipermalukan di depan umum karena diam-diam mereka adalah para sadis yang bersembunyi di balik tawa dan kerlingan mata, tapi saya bilang tidak, terima kasih, saya lebih senang melanjutkan untuk menjadi manusia tidak kasat mata sebagaimana yang berhasil saya lakukan dalam lima hari pertama. (Omong-omong, menjadi tidak kasat mata mungkin satu-satunya bakat alami yang saya miliki, dan mungkin akan saya ceritakan dalam satu posting tersendiri bila keadaan memungkinkan.)

Dua puluh tiga mungkin salah satu ulang tahun yang akan saya ingat sampai lama. Ketiadaan ponsel membuat tiada pula pesan-pesan virtual yang datang entah karena memang peduli atau pura-pura peduli. Hari itu, teman-teman yang peduli mendatangi saya di sela waktu senggang sesaat sebelum 'penyiksaan', mengucapkan selamat dan doa-doa, berjabat tangan. Oh, dan 'penyiksaan' itu sendiri. Semacam kado terindah di umur dua puluh tiga, berbonus siku dan lutut lecet serta sekujur badan penuh lumpur dan mungkin bekas muntahan. Tidak apa. Karena belum-belum, saya sudah ketemu sisi baiknya.

Ini mungkin semacam metafora. Bahwa selanjutnya tidak akan mudah, dan ulang tahun sudah lama tidak lagi berupa meniup lilin sambil dijepret kamera lalu bersemangat merobek bungkus kado. Bertambah umur berarti berkurangnya usia, bertambah tuntutan dan berkurang ketergantungan, serta menjadi dewasa sudah bukan opsional. 

Sisi pesimis saya meneriakkan hal-hal buruk, bahwa saya dua puluh tiga tanpa menjadi apa-apa, dan janji-janji yang saya buat sejak umur belasan bahkan masih belum terlaksana sampai sekarang. Sisi positif saya berkata bahwa saya masih dua puluh tiga dan mungkin masih punya beberapa tahun selanjutnya dan biarkan rasa malu akan kegagalan selama dua puluh dua tahun meresap hingga membuat saya terpacu untuk melakukan hal yang benar di tahun berikutnya. 

Tidak ada yang menang, karena ini bukan pertandingan. Karena pada akhirnya, mungkin saya cuma seorang realis yang hidup untuk hari ini. Bahwa besok dan selanjutnya masih soal nanti.

No comments:

Post a Comment

What do you think?