Tuesday, February 21, 2012

Happy Three Friends... yang Tiada

Sudah berapa tahun sejak foto ini diambil? Saya lupa.
Sudah berapa tahun sejak kita kumpul bertiga? Saya lupa juga.
Terlalu lama, saya takut pada akhirnya saya tidak ingat bahwa 'kita' pernah ada.

di parkiran, dengan bantuan fitur self-timer dan tas pinjeman dari mama
Salahkan jarak, dan mungkin, waktu. Tambahkan juga kebodohan saya yang tak sengaja menghapus nomor-nomor kontak di hengpong sehingga kehilangan satu-satunya jalan untuk merengkuh kalian.

Saya masih ingat percakapan ini. Dulu, dulu sekali.
"Duh, rasanya ga pengen cepat-cepat lulus, rasanya pengen balik ke masa-masa kita masih kelas satu."
"Ah, ga mau ah. Waktu kelas satu aku belum kenal kalian."
"Ya itu... Aku pengen kita ngulang lagi dari kelas satu, tapi dengan kondisi aku udah ketemu kalian berdua. Jadi, kita mulai bersahabat dari awal sekali."
Rasanya masih banyak janji-janji yang belum ditepati, aksi-aksi yang belum dieksekusi, dan orang-orang di sekitar yang belum diberi komentar.

Teruntuk vitamin-vitamin tawa saya yang paling cantik dan menyenangkan: saya rindu kalian.

Saturday, February 18, 2012

Personality

I was bored, so this is what I found when I aimlessly surfed the net.

Your Stress Sources:
"Feels unappreciated and in an unpleasant position. Needs personal recognition and the respect of others, since she has not been about to find partners who value the same things she does. She holds back her emotions and is unable to give fully of himself, but lasting isolation makes her want to change those ways and surrender to her deep urges. Giving in to her natural instincts and urges is a sign of weakness, so feeling this way makes her weak and irritable. Fighting these urges makes her feel stronger, as if she can take on anything that comes her way. Longs to be valued as an important associate and admired for her personal qualities."

Your Restrained Characteristics:
Current events leave her feeling forced into compromise in order to avoid being cut off from affection or future cooperation.
Struggles to make her demands clear, but feels ignored. Feels resentful, but acts as if she doesn't care, doing what is necessary to keep peace.
Feels trapped in a helpless situation and is desperately seeking relief.
Current situation is leaving her doubtful and cautions about becoming intimately involved with others.

Your Desired Objectives:
Relies on love and friendship to bring her happiness. She is in constant need for approval and this makes her willing to help others in exchange for love and understanding. She is open to new ideas as long as they are productive and interesting.

Your Actual Problems:
"Agitated, unpredictable, and irritation as well as lack of energy and inability to cope with any more pressure placed on her have left her feeling stress and tormented by her situation. Feels powerless to come up with a solution on her own; desperately wishes a solution will present itself and allow her a chance to escape."
"Feeling unimportant in this current situation, and is looking for different conditions where she will be able to better prove her worth and importance."

-------

That was the result after a less-than-5-minutes color test. Based on above result, honestly, I'm pretty desperate, aren't I?
Truth is, it's mostly true.
Damn, I'm pathetic. Hahaha.

Wednesday, February 15, 2012

Rumput Tetangga

.... kelihatan lebih hijau dan segar. Mungkin memang lebih hijau dan segar. Mungkin itu merupakan rumput keturunan yang bagus, disilangkan dari rumput jenis ini dan itu, sehingga menciptakan rumput jenis baru yang kelihatan jauh lebih istimewa dari rumput-rumput lainnya.

Termasuk rumput di halaman rumah saya.

Kusam saja, hampir tidak berwarna. Kadang-kadang kering, dan terasa gatal ketika di pijak. Bahkan bunga-bunga tidak mau tumbuh diantara rerumputan tidak berharga ini--mungkin hanya gulma.

Sebab itu saya lebih senang dengan rumput tetangga. Mengagumi kesegaran dan hijaunya, ikut membantu membersihkan gulma ketika musimnya tiba, serta ikut mengingatkan sang tetangga kapan rumputnya harus dipotong dan dibersihkan. Ikut memuji-mujinya saat ia kelihatan cantik dari balik pagar ke jalan raya.

Sejujurnya saya iri pada tetangga. Kenapa rumputnya istimewa? Kenapa rumput itu bukan milik saya saja? Rumput saya jelek dan tidak membuat bangga. Lebih sering saya menjadikannya lelucon diantara teman-teman saat saya kehabisan bahan untuk bercanda.

Lalu hari ini saya iseng menatap hamparan rumput di halaman rumah saya yang lama tidak diperhatikan. Ia kelihatan semakin jelek, apalagi semenjak beberapa hari ini saya hanya peduli pada rerumputan di sebelahnya. Tidak bisa dibandingkan. Untuk apa lagi saya sirami dan saya pelihara, toh ia akan tetap jelek, seperti aslinya.
Tetapi.

Rumput tetangga selalu disiram setiap hari. Dibersihkan, diberi pupuk. Pemiliknya juga selalu cinta dan memuji-mujinya setiap hari. Apakah itu rahasianya kelihatan begitu indah dan cantik?

Awalnya rumput halaman saya juga cantik, mungkin. Saya sudah lupa. Saya terbutakan kekecewaan ketika rumput halaman saya tidak tumbuh sebagus yang saya inginkan. Lalu ia saya lupakan, dan perlahan-lahan tanpa sadar telah saya buang.

Wajar jika ia menjadi semakin jelek. Wajar jika ia tidak bisa dibanggakan. Saya tidak pernah berusaha berbuat apa-apa, menyirami, memberi pupuk, membersihkan, apapun. Ia cuma tumbuh seperti biasa di sana, sudah syukur tidak langsung mati kekeringan, atau apa.

Mungkin sudah seharusnya saya berhenti mengagung-agungkan rumput tetangga. Sampai kapanpun ia tidak akan bisa menjadi milik saya. Rumput halaman saya sendiri butuh disirami, dipelihara. Tidak akan jadi secantik rumput tetangga memang, tapi saya bisa berusaha. Setidaknya ia tidak lagi memalukan.

Setidaknya ia terselamatkan dari keringnya kematian.

Wednesday, February 08, 2012

Segitiga Tak Bersudut


Mataku melirik ragu-ragu, lalu mencoba menangkap tatapan matanya. Lirih aku mengucapkan kalimat-kalimat yang kini hampir tidak ada maknanya lagi karena terlalu sering diucapkan, seperti mantra.

Takut-takut aku memperhatikan reaksinya. Dia bertahan dalam hening. Cukup lama hingga membuat mataku kering karena takut untuk sekedar sekali berkedip.

Akhirnya ia menghela napas. "Oh, begitu." Dan beberapa kalimat-kalimat lainnya yang sudah tidak fokus kudengarkan. Aku sudah cukup lega ia tidak mengamuk ataupun mengeluarkan reaksi brutal lainnya.

Kubiarkan ia bercerita. Melontarkan alasan-alasan bijak, pun kulihat ia berusaha tampak tegar. Aku merasa bersalah, sedikit, namun bagaimanapun aku sudah terlalu kebal untuk terlarut dalam simpati.

Ketika ia akhirnya selesai, aku hanya berusaha secepatnya berlalu. "Sudah ditunggu Arina," alasanku. Tidak bohong, meski sama sekali bukan alasan yang utama. Aku tidak mau menatap wajah sendunya, dipaksa dibayang-bayangi cap penjahat tanpa perasaan yang semena-mena.

"Lagi?" tanya Arina. Retoris sebenarnya, karena aku bisa melihat salah satu sudut bibirnya terangkat; menertawakanku.

"Kamu sudah tahu peraturannya," jawabku seadanya.

Ia mengangkat bahu. "Kupikir dengan yang kali ini akan berbeda. Sayangnya tidak."

"Hanya satu orang, Rin," jawabku enggan. Malas rasanya harus mengungkit-ungkit hal ini lagi. "Jika dengan dia, semuanya pasti berbeda. Sayangnya..."

"... sayangnya tujuh tahun berlalu dan dia masih belum menyadarinya?" Arina terkikik kecil di ujung kalimatnya. "Ini hal paling bodoh yang pernah dilakukan oleh orang secerdas kamu, Bel."

"Bukan aku yang tidak menyadari apapun selama tujuh tahun," sahutku defensif.

"Tapi kamu menunggu tujuh tahun tanpa berbuat apa-apa! Ini bisa saja berlanjut menjadi sepuluh tahun penantian, dan kamu sudah terlanjur jadi perawan tua."

"Aku nggak akan jadi perawan tua. Kalau dia pada akhirnya menikah dengan orang lain," aku mengucapkannya dengan pahit, "aku akan menikah dengan siapapun yang mau denganku. Berondong muda ganteng juga boleh, toh aku punya uang."

"Dan selama itu... kamu nggak akan pernah bilang duluan?"

Aku menarik napas panjang. "Nggak."

"Prinsip bodohmu itu, ya? Ini zaman modern, Bella, nggak ada gunanya juga kamu pertahankan prinsip itu, toh nggak bakal ada yang mengapresiasi. Tidak juga dia."

"Terserahmu, wanita itu harus punya prinsip."

Akhirnya Arina menutup perdebatan tidak penting kami dengan mengangkat bahu, tepat sebelum aku memasuki bangku pengemudi mobil, ketika ponselku berbunyi nyaring.

"Dari Ergi," bisikku panik. "Kamu yang bawa mobilnya deh," kataku sambil melemparkan kunci mobil ke tangan Arina, dan kamipun berpindah posisi.

"Halo?"

"Bella, aku dengar Ryan melamar kamu? Jadi, kalian resmi tunangan akhirnya?"

Arina, yang mungkin mendengar isi percakapan telepon ini, cuma memutar bola mata sambil menjalankan kemudi.

"Mm... enggak, Gi."

"Lagi?" Ia terdengar kaget. "Kenapa?"

Seandainya ia bisa kuberitahu, tetapi sayangnya mulut ini terkunci serapat-rapatnya. Dan kode kombinasinya ternyata cuma sebuah prinsip bodoh, yang kata Arina mungkin akan membuatku menyesal selama-lamanya.