Wednesday, February 08, 2012

Segitiga Tak Bersudut


Mataku melirik ragu-ragu, lalu mencoba menangkap tatapan matanya. Lirih aku mengucapkan kalimat-kalimat yang kini hampir tidak ada maknanya lagi karena terlalu sering diucapkan, seperti mantra.

Takut-takut aku memperhatikan reaksinya. Dia bertahan dalam hening. Cukup lama hingga membuat mataku kering karena takut untuk sekedar sekali berkedip.

Akhirnya ia menghela napas. "Oh, begitu." Dan beberapa kalimat-kalimat lainnya yang sudah tidak fokus kudengarkan. Aku sudah cukup lega ia tidak mengamuk ataupun mengeluarkan reaksi brutal lainnya.

Kubiarkan ia bercerita. Melontarkan alasan-alasan bijak, pun kulihat ia berusaha tampak tegar. Aku merasa bersalah, sedikit, namun bagaimanapun aku sudah terlalu kebal untuk terlarut dalam simpati.

Ketika ia akhirnya selesai, aku hanya berusaha secepatnya berlalu. "Sudah ditunggu Arina," alasanku. Tidak bohong, meski sama sekali bukan alasan yang utama. Aku tidak mau menatap wajah sendunya, dipaksa dibayang-bayangi cap penjahat tanpa perasaan yang semena-mena.

"Lagi?" tanya Arina. Retoris sebenarnya, karena aku bisa melihat salah satu sudut bibirnya terangkat; menertawakanku.

"Kamu sudah tahu peraturannya," jawabku seadanya.

Ia mengangkat bahu. "Kupikir dengan yang kali ini akan berbeda. Sayangnya tidak."

"Hanya satu orang, Rin," jawabku enggan. Malas rasanya harus mengungkit-ungkit hal ini lagi. "Jika dengan dia, semuanya pasti berbeda. Sayangnya..."

"... sayangnya tujuh tahun berlalu dan dia masih belum menyadarinya?" Arina terkikik kecil di ujung kalimatnya. "Ini hal paling bodoh yang pernah dilakukan oleh orang secerdas kamu, Bel."

"Bukan aku yang tidak menyadari apapun selama tujuh tahun," sahutku defensif.

"Tapi kamu menunggu tujuh tahun tanpa berbuat apa-apa! Ini bisa saja berlanjut menjadi sepuluh tahun penantian, dan kamu sudah terlanjur jadi perawan tua."

"Aku nggak akan jadi perawan tua. Kalau dia pada akhirnya menikah dengan orang lain," aku mengucapkannya dengan pahit, "aku akan menikah dengan siapapun yang mau denganku. Berondong muda ganteng juga boleh, toh aku punya uang."

"Dan selama itu... kamu nggak akan pernah bilang duluan?"

Aku menarik napas panjang. "Nggak."

"Prinsip bodohmu itu, ya? Ini zaman modern, Bella, nggak ada gunanya juga kamu pertahankan prinsip itu, toh nggak bakal ada yang mengapresiasi. Tidak juga dia."

"Terserahmu, wanita itu harus punya prinsip."

Akhirnya Arina menutup perdebatan tidak penting kami dengan mengangkat bahu, tepat sebelum aku memasuki bangku pengemudi mobil, ketika ponselku berbunyi nyaring.

"Dari Ergi," bisikku panik. "Kamu yang bawa mobilnya deh," kataku sambil melemparkan kunci mobil ke tangan Arina, dan kamipun berpindah posisi.

"Halo?"

"Bella, aku dengar Ryan melamar kamu? Jadi, kalian resmi tunangan akhirnya?"

Arina, yang mungkin mendengar isi percakapan telepon ini, cuma memutar bola mata sambil menjalankan kemudi.

"Mm... enggak, Gi."

"Lagi?" Ia terdengar kaget. "Kenapa?"

Seandainya ia bisa kuberitahu, tetapi sayangnya mulut ini terkunci serapat-rapatnya. Dan kode kombinasinya ternyata cuma sebuah prinsip bodoh, yang kata Arina mungkin akan membuatku menyesal selama-lamanya.

6 comments:

  1. kenapa ya kyknya nama Ryan itu populer...? Kdg2 angah juga pake tuh... hahaha.
    Wah jalurnya udah mirip2 metropop y.
    Hmm knp y akhir2 ni nda ad ide. bnyk nguruskan hal lain.
    kbr gembira. akhirnya sherlocck holmes kebaca juga :p

    ReplyDelete
    Replies
    1. penulisnye kurang ide nama orang hahaha

      nda ad ide? kurang baca. makenye buku2 yang dipinjam dari chi tuh dibace bukan diletakkan di kamar jak hahaha

      Delete
  2. Rangkaian kata-katanya bagus ya, enak dibaca
    keep posting!!
    penasaran sama kelanjutannya ;)

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah makasih ya udah dibaca :)
      tapi ini ga ada lanjutannya, cuma orat-oret segini aja haha

      Delete
  3. Anonymous12:46 AM

    dasar lo bel.....

    ReplyDelete

What do you think?