Sejak saya selalu *uhuk*jomblo*uhuk* maka malam minggu saya jelas tidak pernah dilewati dengan tradisi apel mengapel atau kencan-kencan ga jelas bersama sang pacar. Saya selalu menikmatinya dengan berbagai cara lain, yang hampir selalu berakhir, mmm, tragis.
Kisah Satu
UAS—hampir—berakhir, dan take home exam merengek minta dikerjakan tadi pagi (thanks to procrastination for once again ruining my life), menyebabkan saya nggak bisa datang rapat penting tadi pagi. Merasa ga enak, saya pun mengajukan usul pada sang teman untuk mengerjakan proposal di sabtu malam.
Awalnya, semua terasa biasa-biasa saja, tidak ada firasat buruk, atau primbon khusus seperti kedutan di bawah mata atau alis atau apapun.
Saya santai-santai setelah selesai mengumpulkan ujian saya ke email sang ketua kelas. Online, cekakak cekikik membaca blog saya sendiri (ya, saya menertawakan kekonyolan sendiri, seperti orang bodoh) dan menunda-nunda mandi. Tau-tau hari sudah berganti malam, dan saya teringat akan janji kepada teman untuk mengerjakan proposal. Itupun setelah dia meminta izin makan—seolah-olah saya bos—karena capek menunggu saya yang datangnya kelamaan. Akhirnya satu jam setelah sms izin makan itu, saya berangkat menuju kosan sang teman.
Sampai di kontrakan teman, yang merangkap basecamp klub yang saya ikuti di kampus, dan biasanya selalu ramai oleh anak-anak klub. Kali ini cukup sepi, cukup wajar, mengingat anak-anak akuntansi yang sudah selesai oleh ujian mereka—ya, saya tau, dunia tidak pernah adil kepada anak pajak.
Firasat saya masih belum muncul saat seorang senior memberi tahu bahwa teman yang saya cari sedang pergi keluar. Karena saya udah terlanjur dateng, saya jadi malas balik lagi, hingga saya memutuskan menunggu. Beberapa menit setelah saya duduk di atas sofa, senior yang tadi bicara dengan saya pergi, membawa seluruh penghuni yang semula ada di EC House (dan belakangan saya ketahui mereka pergi ke PIM, blah). Baca: saya ditinggal sendirian.
Saya baik-baik saja, menunggu dengan santai di atas sofa, sambil chatting dengan junior saya lewat henpon. Anehnya, dia terlalu mengkhawatirkan saya.