Monday, August 06, 2012

Janji

Aku gelisah. Bolak-balik kuperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, hanya demi mendapati kurang dari lima belas menit lagi waktu yang tersisa bagi kami untuk bertemu. Selanjutnya... entahlah. Aku tidak berani mengira-ngira. Saat ini, hanya lima belas menit ini yang aku punya.

“Aku janji akan sering pulang,” ucapnya, sambil menepuk kepalaku pelan. “Kau juga bisa sekali-kali main ke tempatku.”

Bibirku mengerucut. “Sesering apa? Tidak mungkin lebih dari sepuluh kali dalam setahun. Kau tidak sesenggang dan sekaya itu.”

Ia tertawa lalu seenaknya mengacak rambutku sampai aku harus menghentikannya dengan menggenggam telapak tangan yang besar itu dengan kedua tanganku.

“Aku serius. Uangmu tidak akan cukup untuk bolak-balik tiap dua bulan sekali, apalagi tiap minggu.”

“Aku akan pulang tiap liburan. Kutebus waktu bersama kita yang hilang saat itu.”

Tiap liburan? Berarti enam bulan sekali... itu pun belum tentu. Aku menggigit bibir.

“Hei, sudahlah. Teknologi sudah maju, kan? Aku bisa meneleponmu setiap hari, mengirim SMS tiap jam, kita juga bisa memakai fasilitas video call, apapun.”

Kutatap matanya yang tajam itu dalam-dalam. “Aku takut bila nanti di sana, kau...”

“Kau takut aku bertemu yang lain?” Ia menghela napas. “Kau tidak percaya padaku?”

“Hanya saja—“

Tiba-tiba ia memelukku. Erat. Tiba-tiba juga, air mataku mendesak untuk keluar. Deras. Seperti rinduku yang mendadak membuncah padahal kami belum juga berpisah.

“Percaya sama aku, bisa? Soal jarak dan waktu, tidak penting. Kita akan baik-baik saja, tenang saja.”

Ia tidak mengerti. Aku takut aku tidak akan ada di sana di saat ia paling membutuhkanku, begitu pula sebaliknya. Dan jika begitu, sedalam apapun rasa percaya—

“Hei, katakan, kau percaya padaku, pada kita, kan?” bisiknya di puncak kepalaku.

Mendadak aku merasa ingin terisak lebih keras. “He’eh.”

Lalu pelukan itu pun lepas. Lima belas menit yang singkat, dan kini telah usai. Ia harus pergi. Aku...

“Jaga dirimu baik-baik,” ucapnya, menepuk kepalaku sekali lagi. “Aku tidak bisa selalu ada di sampingmu mulai sekarang.”

“Kau juga,” balasku. Kupaksakan diri untuk tersenyum. “Semoga berhasil.”

Aku paham betapa rapuhnya janji yang dibuat secara lisan, sedalam apapun rasa percaya yang kau masukkan ke dalamnya. Dan aku sama sekali bukanlah pengikat janji yang baik; tidak bisa kupaksakan janji itu terus mengikat bila ikatan tersebut telah rapuh dan kau terlampau sesak untuk terus berada dalam ikatan.

Maka ketika ia berbalik dan sosoknya menghilang ditelan pintu otomatis itu, aku telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuknya.

10 comments:

  1. serasa pernah ngalamin... dan ujung-ujungnya malah cewenya yg ketemu ya lain #eh #curcol haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. oiya? sori deh, ga ada maksud menabur garam ke luka kok hehe

      Delete
    2. gapapa ko ci... bukan garam cuma air cuka #kuahpempek :D

      Delete
    3. lebih parah itu, ada pedes2nya .__.
      yaah moga dengan begitu makin cepet sembuhnya :))

      Delete
  2. ini jangan-jangan lagi ngebayangi penempatan nanti hohoho

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha kalo saya sih kayaknya enggak, gaada yg ditinggalkan atau meninggalkan kok :3

      Delete
    2. wahaha, si Mikochin ini anak STAN juga? keren2 nih cerpennya, :D

      Delete
    3. iya, saya anak STAN juga.
      terimakasih~ :)

      Delete

What do you think?