Saturday, January 15, 2011

#1 Dingin


Flash fiction pertama saya (ya, ini flash fiction pertama yang berhasil saya tulis) telah di publish di notes facebook saya beberapa waktu sebelumnya, dengan tujuan mendapatkan respon.
Respon yang didapat? Rata-rata, saya dijuluki psycho. Gaaah.
Yang saya ingat tentang proses penulisannya adalah suatu malam, saya dipenuhi oleh emosi, lalu tangan saya mengetik dengan cepat lalu jadilah benda ini.
Itu dapat didefinisikan sebagai psycho?
Saya rasa tidak

***

Tak kupercaya aku menghancurkan benda-benda itu. Mataku sudah buta karena amarah. Semua barang yang ada di hadapanku kulempar hingga berhamburan dan pecah berkeping-keping. Beberapa serpihan mengenai kulitku, meninggalkan goresan-goresan yang kadang dalam dan panjang; mengucurkan darah.

Sakit? Tidak, tidak ada rasanya. Bahkan geli pun tidak. Aku cuma capek, muak, kesal, dan... penuh kebencian.

Seandainya bisa kulemparkan pigura itu ke wajahnya, meretakkan tulang tengkoraknya, menyayat dalam kulit pipinya, atau sekedar mematahkan hidungnya...

Sayang sekali dia tidak ada di sini, sayang sekali dia tidak bisa kuhancurkan.

Maka ku banting pigura itu ke lantai porselen yang berkilap, membuat kaca pelindung fotonya berderai menjadi beling-beling menyilaukan, dan ukiran-ukiran kayu yang sebelumnya tampak mahal kini cuma seperti potongan ranting kayu bakar.

Aku menginjak pecahan-pecahan itu dengan kakiku yang telanjang, merasakan serpihan-serpihan kaca mengoyak kulit kakiku, menembus dagingku, dan lantai mulai terasa licin karena darah yang mengalir.

Aku melirik lantai yang merah, foto yang masih utuh itu ikut memerah, tapi aku masih bisa melihat ke dalam wajah-wajah yang tersenyum dalam foto, munafik...

"Vio?"

Aku mengalihkan pandanganku pada pintu yang diketuk.

Dia datang.

"Ya?" Aku menjawab datar.

"Kamu nggak apa-apa? Aku tadi dengar suara-suara..."

"Nggak, aku nggak apa-apa. Cuma... nyenggol pigura."

"Oh... kamu yakin? Aku boleh masuk?"

Selamat, kupu-kupu dengan sukarela masuk ke sarang laba-laba.

"Ya... masuk aja."

Pintu berderit membuka, perlahan, aku meraih satu pigura lagi yang berisikan foto aku dengan dia...

... dan menghantamkan kacanya tepat di puncak kepalanya.

Ia tidak sempat berteriak; aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata.

Pintu berderit saat kututup, menyamarkan suara tubuhnya yang jatuh menimpa pecahan-pecahan barang yang berhamburan.

Semua karena kamu. Ya, kamu.

Pesanmu yang kuterima di ponselku beberapa puluh menit yang lalu sudah meluluh lantakkan hidupku.

Kesalahanmu adalah, kamu memutuskan hubunganmu dariku, padahal aku masih mencintaimu, sangat mencintaimu.

Oh, dan alasan bodohmu bahwa aku terlalu dingin, kaku, bahkan menyeramkan.

(Apa aku begitu? Kurasa kamu lah orangnya yang selalu mengatakan aku tampak cantik meski aku hanya menatap kosong pada apapun?)

Namun kesalahan terbesarmu adalah, saat kamu memilih dia menjadi penggantiku.

Dia, orang yang--dulunya--sahabatku.

Lalu dia mencuri perhatianmu dan sekarang duniamu berpusat kepadanya. Dia segalanya bagimu.

Dia; si gadis hangat, lembut dan manis idamanmu.

Apakah kamu yakin?

Yang kulihat sekarang, dia cuma terbujur dingin, kaku, bahkan menyeramkan saat aku mulai mengoyak-ngoyak kulitnya dengan potongan-potongan kaca.

No comments:

Post a Comment

What do you think?