Friday, January 21, 2011

#2 Cinta Pertama


“Jangan melulu tentang cinta,” debatnya.

Aku merengut. Padahal satu patah katapun belum sempat kuucapkan, namun kalimatnya telah membuatku menelan kembali berjuta-juta kalimat yang ingin kulimpahkan. Aku menggantinya dengan sebuah pertanyaan, yang lebih seperti sebuah rengekan. “Eh, kenapa memangnya?”

“Karena... aku bosan.”

Jahat sekali! Aku membalikkan badan, memikirkan kata-kata yang tepat. Tega sekali dia! Padahal dia satu-satunya orang yang kupercaya untuk menumpahkan segala keluh-kesahku—ya, tentu saja termasuk tentang cinta—dan selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang itu. Tapi sekarang! Ia menolak mendengarkan ceritaku, padahal kumulai saja belum.

“Apa aku semembosankan itu?” Aku merengut, bibirku mengerucut, dan aku melipat tanganku dengan sikap defensif.

Mendesak. Kutatap matanya, namun ia tidak mau menangkap mataku dan malah membuang muka.

“Ti..dak.”

Ha! Aku menangkap sikapnya yang ragu-ragu. Ia mencoba membohongiku, tapi tidak bisa. Aku sudah terlalu hapal dengan gerak-geriknya ketika ia sedang gelisah dan tidak jujur, termasuk seperti sekarang. Kami sudah berteman terlalu lama untuk membuatku tidak akan tertipu begitu saja.

“Maaf, Mel, aku... sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Tentang cinta, juga. Kurasa aku sudah muak.”

Aku membelalak. Tentang cinta? Al sedang jatuh cinta, tapi aku bahkan tidak pernah tahu?

“Kamu jatuh cinta, Al?”

Ia memutar matanya, ragu-ragu. Perlahan ia menjawab, “Ya. Ya... kurasa aku jatuh cinta.”

Seakan-akan bumi menyedotku dengan cepat ke dasarnya, aku limbung dan pikiranku mengawang entah kemana.

Al jatuh cinta.

Akhirnya.

Semester pertama di kelas 2 SMP, aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada Al. Bukan, bukan rasa suka biasa, aku yakin itu cinta. Cintaku yang pertama. Tapi aku dan Al sudah berteman sejak kami kecil. Sejak kami masih sama-sama mengenakan popok dan tidur siang bersama di rumah pohon buatan orang tua kami. Dan aku sadar, Al jelas hanya menganggapku sebagai seorang saudara perempuan biasa. Gadis kecil dengan kuncir dua, yang selalu menemaninya setiap saat di mana-mana, termasuk memanjat genteng tetangga saat layangan kami tersangkut karena angin yang berhembus terlalu kencang.

Lalu aku melupakan semuanya. Persahabatan kami terlalu berharga untuk dikorbankan demi perasaan cintaku yang aneh dan berat sebelah. Aku berkali-kali pacaran dengan beberapa anak dari kelas sebelah, bahkan beberapa senior di SMP, dan Al bahkan membantuku di setiap kencanku. Ia tetap Al yang biasa, bersemangat, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta—apalagi padaku.

Dan sekarang, semester kedua kelas 1 SMA, ia jatuh cinta. Hatiku patah.

“Siapa, Al?”

Ia menatapku bingung.

“Siapa gadis itu, yang kamu jatuhi cinta?” Aku tercekat saat mengucapkan pertanyaan itu. Sedikit tidak rela. Berkali-kali menjalani hubungan ecek-ecek, pacaran dengan para laki-laki itu, tidak pernah membuatku puas. Kurasa aku tidak pernah benar-benar mencintai salah satu dari mereka seperti aku mencintai Al.

Detik demi detik, Al masih tidak menjawab.

Dalam beberapa sela waktu yang terasa panjang itu, dalam hati aku berharap, ia akan mengatakan bahwa itu aku...

“Dia... Wilda.”

Wilda? Pikiranku melayang. Siapa Wilda?

Lalu aku teringat pada sosok itu. Tinggi, tegap, salah satu anggota tim inti klub basket sekolah.

“Kamu yakin, Al?”

Ia mengusap belakang kepalanya. “Sudah kuduga, kamu nggak akan senang mendengarnya, Mel.”

Rasanya duniaku runtuh. Al, cowok cinta pertamaku, satu-satunya cowok yang pernah kucinta...

..... jatuh cinta pada cowok lainnya.

No comments:

Post a Comment

What do you think?