Saturday, January 22, 2011

#3 Kolam Ikan

“Kamu percaya?”

Suatu pagi di akhir pekan. Aku dan Mini, berdua di pinggiran kolam ikan di halaman rumah nenek, menatap kecipak koi-koi yang memperebutkan makanan mereka yang kami lempar sembarang ke tengah kolam.

“Percaya apa?”

“Kalau malam, mungkin sekitar jam dua belas tengah malam, ada wanita berambut panjang yang menghampiri kolam ini dan memberi makan ikan-ikan.”

“Oh ya? Aku baru pertama kali dengar cerita itu. Itu sungguhan?”

“Aku tidak tahu. Kurasa... ya.”

Mini berhenti melemparkan makanan ikan, berbalik, dan duduk di batu pinggiran kolam.

“Wanita itu... bukan manusia? Maksudku, bukan Tante Ima yang rambutnya memang agak panjang?”

“Bukan. Kalau manusia... ia nggak akan keluar tengah malam hanya untuk memberi makan ikan.”

Aku tidak mengerti arah pembicaraan ini. Ya, Mini kadang senang bicara yang aneh-aneh, tapi baru pertama kali kudengar cerita yang menyerempet tentang makhluk gaib seperti ini.

“Lalu, kamu takut? Kamu takut sama wanita yang memberi makan ikan itu?”

Mini terdiam. “Aku nggak takut sama dia.. Aku cuma takut dia mengambil rambutku.”

“Rambutmu? Untuk apa?”

“Untuk makanan ikan.”

Untuk sesaat aku terdiam, lalu tertawa hingga bungkusan makanan ikan yang kupegang berhamburan masuk ke dalam kolam. “Tapi Mini,” aku mencoba bicara disela tawa, “ikan kan nggak makan rambut!”

Mini berbalik menatapku, berkacak pinggang. Wajahnya tidak senang. “Tapi wanita itu mengambil rambutku! Aku tahu!”

“Oh, ya? Kalau begitu kenapa dia nggak mengambil rambutku juga?”

“Karena rambutmu pendek dan nggak bagus seperti milikku.” Ia berbalik lagi, lalu kembali melemparkan makanan-makanan ikan ke kolam.

Pembicaraan kami selesai sampai di sana. Tante Eri, ibunda Mimi, memanggil kami untuk makan siang. Aku dan Mini berlomba lari siapa yang paling cepat sampai ke ruang makan.

***

Setahun sejak aku lulus SMP dan keluargaku memutuskan pindah dari perumahan keluarga kami, lalu menetap di sebuah perumahan mewah di pinggiran kota. Tiga tahun sejak aku terakhir bertemu dengan sepupuku Mini.

Sampai suatu hari berita itu datang. Mini meninggal karena leukimia.

Kami sekeluarga berangkat ke rumah duka di tempat Nenek. Di saat semua orang berpakaian hitam-hitam berkumpul di ruang tengah di dekat jenazah Mini, aku pergi ke belakang, ke kolam ikan tempat dulunya aku dan Mini sering mengobrol sambil memberi makan ikan-ikan.

Jadi, itu maksud Mini sebenarnya. Saat dia bilang tentang wanita pemberi makan ikan dengan rambut, mungkin ia sedang membicarakan rambutnya yang rontok karena penyakit yang ia derita.

Mini salah, wanita pemberi makan ikan dengan rambut itu juga suka dengan rambut pendek dan tidak bagus, kok.

Aku mengelus rambutku, yang pendek dan tidak sehalus rambut Mini, dan menatap berkas berbintik merah di sekujur kulitku.

Tampaknya seperti Mini, aku akan bilang kepada kedua orangtuaku aku benci kemoterapi.

Friday, January 21, 2011

#2 Cinta Pertama


“Jangan melulu tentang cinta,” debatnya.

Aku merengut. Padahal satu patah katapun belum sempat kuucapkan, namun kalimatnya telah membuatku menelan kembali berjuta-juta kalimat yang ingin kulimpahkan. Aku menggantinya dengan sebuah pertanyaan, yang lebih seperti sebuah rengekan. “Eh, kenapa memangnya?”

“Karena... aku bosan.”

Jahat sekali! Aku membalikkan badan, memikirkan kata-kata yang tepat. Tega sekali dia! Padahal dia satu-satunya orang yang kupercaya untuk menumpahkan segala keluh-kesahku—ya, tentu saja termasuk tentang cinta—dan selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang itu. Tapi sekarang! Ia menolak mendengarkan ceritaku, padahal kumulai saja belum.

“Apa aku semembosankan itu?” Aku merengut, bibirku mengerucut, dan aku melipat tanganku dengan sikap defensif.

Mendesak. Kutatap matanya, namun ia tidak mau menangkap mataku dan malah membuang muka.

“Ti..dak.”

Ha! Aku menangkap sikapnya yang ragu-ragu. Ia mencoba membohongiku, tapi tidak bisa. Aku sudah terlalu hapal dengan gerak-geriknya ketika ia sedang gelisah dan tidak jujur, termasuk seperti sekarang. Kami sudah berteman terlalu lama untuk membuatku tidak akan tertipu begitu saja.

“Maaf, Mel, aku... sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Tentang cinta, juga. Kurasa aku sudah muak.”

Aku membelalak. Tentang cinta? Al sedang jatuh cinta, tapi aku bahkan tidak pernah tahu?

“Kamu jatuh cinta, Al?”

Ia memutar matanya, ragu-ragu. Perlahan ia menjawab, “Ya. Ya... kurasa aku jatuh cinta.”

Seakan-akan bumi menyedotku dengan cepat ke dasarnya, aku limbung dan pikiranku mengawang entah kemana.

Al jatuh cinta.

Akhirnya.

Semester pertama di kelas 2 SMP, aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada Al. Bukan, bukan rasa suka biasa, aku yakin itu cinta. Cintaku yang pertama. Tapi aku dan Al sudah berteman sejak kami kecil. Sejak kami masih sama-sama mengenakan popok dan tidur siang bersama di rumah pohon buatan orang tua kami. Dan aku sadar, Al jelas hanya menganggapku sebagai seorang saudara perempuan biasa. Gadis kecil dengan kuncir dua, yang selalu menemaninya setiap saat di mana-mana, termasuk memanjat genteng tetangga saat layangan kami tersangkut karena angin yang berhembus terlalu kencang.

Lalu aku melupakan semuanya. Persahabatan kami terlalu berharga untuk dikorbankan demi perasaan cintaku yang aneh dan berat sebelah. Aku berkali-kali pacaran dengan beberapa anak dari kelas sebelah, bahkan beberapa senior di SMP, dan Al bahkan membantuku di setiap kencanku. Ia tetap Al yang biasa, bersemangat, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta—apalagi padaku.

Dan sekarang, semester kedua kelas 1 SMA, ia jatuh cinta. Hatiku patah.

“Siapa, Al?”

Ia menatapku bingung.

“Siapa gadis itu, yang kamu jatuhi cinta?” Aku tercekat saat mengucapkan pertanyaan itu. Sedikit tidak rela. Berkali-kali menjalani hubungan ecek-ecek, pacaran dengan para laki-laki itu, tidak pernah membuatku puas. Kurasa aku tidak pernah benar-benar mencintai salah satu dari mereka seperti aku mencintai Al.

Detik demi detik, Al masih tidak menjawab.

Dalam beberapa sela waktu yang terasa panjang itu, dalam hati aku berharap, ia akan mengatakan bahwa itu aku...

“Dia... Wilda.”

Wilda? Pikiranku melayang. Siapa Wilda?

Lalu aku teringat pada sosok itu. Tinggi, tegap, salah satu anggota tim inti klub basket sekolah.

“Kamu yakin, Al?”

Ia mengusap belakang kepalanya. “Sudah kuduga, kamu nggak akan senang mendengarnya, Mel.”

Rasanya duniaku runtuh. Al, cowok cinta pertamaku, satu-satunya cowok yang pernah kucinta...

..... jatuh cinta pada cowok lainnya.

Saturday, January 15, 2011

#1 Dingin


Flash fiction pertama saya (ya, ini flash fiction pertama yang berhasil saya tulis) telah di publish di notes facebook saya beberapa waktu sebelumnya, dengan tujuan mendapatkan respon.
Respon yang didapat? Rata-rata, saya dijuluki psycho. Gaaah.
Yang saya ingat tentang proses penulisannya adalah suatu malam, saya dipenuhi oleh emosi, lalu tangan saya mengetik dengan cepat lalu jadilah benda ini.
Itu dapat didefinisikan sebagai psycho?
Saya rasa tidak

***

Tak kupercaya aku menghancurkan benda-benda itu. Mataku sudah buta karena amarah. Semua barang yang ada di hadapanku kulempar hingga berhamburan dan pecah berkeping-keping. Beberapa serpihan mengenai kulitku, meninggalkan goresan-goresan yang kadang dalam dan panjang; mengucurkan darah.

Sakit? Tidak, tidak ada rasanya. Bahkan geli pun tidak. Aku cuma capek, muak, kesal, dan... penuh kebencian.

Seandainya bisa kulemparkan pigura itu ke wajahnya, meretakkan tulang tengkoraknya, menyayat dalam kulit pipinya, atau sekedar mematahkan hidungnya...

Sayang sekali dia tidak ada di sini, sayang sekali dia tidak bisa kuhancurkan.

Maka ku banting pigura itu ke lantai porselen yang berkilap, membuat kaca pelindung fotonya berderai menjadi beling-beling menyilaukan, dan ukiran-ukiran kayu yang sebelumnya tampak mahal kini cuma seperti potongan ranting kayu bakar.

Aku menginjak pecahan-pecahan itu dengan kakiku yang telanjang, merasakan serpihan-serpihan kaca mengoyak kulit kakiku, menembus dagingku, dan lantai mulai terasa licin karena darah yang mengalir.

Aku melirik lantai yang merah, foto yang masih utuh itu ikut memerah, tapi aku masih bisa melihat ke dalam wajah-wajah yang tersenyum dalam foto, munafik...

"Vio?"

Aku mengalihkan pandanganku pada pintu yang diketuk.

Dia datang.

"Ya?" Aku menjawab datar.

"Kamu nggak apa-apa? Aku tadi dengar suara-suara..."

"Nggak, aku nggak apa-apa. Cuma... nyenggol pigura."

"Oh... kamu yakin? Aku boleh masuk?"

Selamat, kupu-kupu dengan sukarela masuk ke sarang laba-laba.

"Ya... masuk aja."

Pintu berderit membuka, perlahan, aku meraih satu pigura lagi yang berisikan foto aku dengan dia...

... dan menghantamkan kacanya tepat di puncak kepalanya.

Ia tidak sempat berteriak; aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata.

Pintu berderit saat kututup, menyamarkan suara tubuhnya yang jatuh menimpa pecahan-pecahan barang yang berhamburan.

Semua karena kamu. Ya, kamu.

Pesanmu yang kuterima di ponselku beberapa puluh menit yang lalu sudah meluluh lantakkan hidupku.

Kesalahanmu adalah, kamu memutuskan hubunganmu dariku, padahal aku masih mencintaimu, sangat mencintaimu.

Oh, dan alasan bodohmu bahwa aku terlalu dingin, kaku, bahkan menyeramkan.

(Apa aku begitu? Kurasa kamu lah orangnya yang selalu mengatakan aku tampak cantik meski aku hanya menatap kosong pada apapun?)

Namun kesalahan terbesarmu adalah, saat kamu memilih dia menjadi penggantiku.

Dia, orang yang--dulunya--sahabatku.

Lalu dia mencuri perhatianmu dan sekarang duniamu berpusat kepadanya. Dia segalanya bagimu.

Dia; si gadis hangat, lembut dan manis idamanmu.

Apakah kamu yakin?

Yang kulihat sekarang, dia cuma terbujur dingin, kaku, bahkan menyeramkan saat aku mulai mengoyak-ngoyak kulitnya dengan potongan-potongan kaca.

10 Hari Menulis Flash Fiction

Ikut-ikutan membuat target menulis, saya memilih 10 Hari Menulis Flash Fiction sebagai tema saya kali ini. Mm, kenapa flash fiction?

Pertama, karena saya nggak punya ide untuk menulis yang lainnya. Sebagian orang menulis puisi, prosa, atau bahkan cerpen... tapi sayangnya saya nggak bisa. Saya hobi menulis, tetapi puisi atau prosa sama sekali di luar jangkauan gadis tidak puitis tanpa bakat menulis macam saya. Dan cerpen? Um, saya senang sekali menulis cerpen, tapi seumur hidup saya hanya punya berapa cerpen yang sempat selesai karena kalau nggak kepepet (baca: tugas sekolah atau deadline lomba) saya nggak akan pernah bisa mencapai kalimat terakhirnya.
Jadi, here it comes: Flash Fiction.

Alasan kedua, flash fiction cukup pendek! Bisa tidak lebih panjang dari puisi dan jelas jauh lebih pendek daripada cerita pendek biasa. Lagipula terkadang ide-ide di kepala saya terlalu ringkas untuk dibeberkan menjadi sebuah cerita pendek yang utuh, dan saya lebih suka menuliskan klimaks ceritanya dalam sebuah rangkaian kalimat bertitel flash fiction :)

Tapi sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan flash fiction?

Sejujurnya, saya juga kurang begitu tahu. Hmm, mengutip dari Wikipedia:

Flash fiction adalah karya fiksi yang sangat singkat, bahkan lebih ringkas daripada cerita pendek. Walaupun tidak ada ukuran jelas tentang berapa ukuran maksimal sebuah flash fiction, umumnya karya ini lebih pendek dari 1000 atau 2000 kata. Rata-rata flash fiction memiliki antara 250 dan 1000 kata.
Keterbatasan jumlah kata flash fiction sendiri sering kali memaksa beberapa elemen kisah (protagonis, konflik, tantangan, dan resolusi) untuk muncul tanpa tersurat; cukup hanya disiratkan dalam cerita.
Dan sejujurnya lagi, mungkin format penulisan flash fiction yang akan saya sajikan dalam beberapa post ke depan ini salah total, selain bagian 'kurang dari 1000 kata'-nya. Terkadang tangan saya memang terlalu gatal bermain kata dan mendeskripsikan sesuatu atau elemen-elemen yang mungkin tidak terlalu penting.

Tapi, siapa yang peduli?
Toh saya memang masih bertransisi dari gaya biasa dalam menulis cerpen ke format flash fiction. Anggaplah hal ini sebagai media pembelajaran. Perjalanan ribuan langkah diawali dengan satu langkah kecil, bukan?

Well, selamat menikmati, hihihi.