Wednesday, April 30, 2008

Story About Stories

Tragedi si cewek menyebalkan (yang dalam konteks ini kita singkat dengan sebutan Si Cemen) terjadi. Rahasia kelas tentang betapa kami membencinya akhirnya terkuak melalui mulut seorang gadis manis anggota BipBip bernama Arlia.
Dia menangis... menangis! Aku agak miris melihatnya, karena, yah, aku emang nggak tega kalau seorang cewek sampe nangis, Si Cemen sekalipun (sok gentle, padahal cewek). Tapi aku juga nggak akan nepuk-nepuk bahunya menenangkan, tetapi cuma memandang dari jauh saja. Karena, yah, bagaimanapun dia itu Si Cemen. Aku pernah bilang bahwa aku membencinya, dan itu berlangsung sampai detik ini.
Tetapi hari ini dia kembali seperti biasa, seakan kemarin tak terjadi apapun, tidak ada seorangpun yang sesenggukan sambil menelungkupkan wajah di meja, atau muntah-muntah. Hanya saja aku tahu dia agak menjaga jarak kali ini... atau tidak? Entahlah. Bersyukur karena gara-gara rolling bangku, minggu ini aku ditempatkan jauh dari bangkunya.

Oke, kita beranjak dari topik tentang Si Cemen.
Aku ingin menulis tentang sebuah potongan kisah dari masa lampau (okeh, sebenarnya cuma setahun yang lalu, waktu kelas sepuluh). Ini cuma kejadian singkat yang super nggak penting, yang kualami bersama Endah.
Haah, kalau aku menulis ini, aku jadi kangen sama Endah dan saat-saat kami menghabiskan waktu bersama, juga hal-hal bodoh yang kami lakukan. Suatu hal yang hampir tidak mungkin terjadi akhir-akhir ini, karena aku dan Endah sekarang nggak seakrab dulu. Belum lagi les-les super pencapek yang nggak bisa ditinggal untuk sekedar jalan-jalan. (Well, ini boong banget mengingat sekarang aku lagi bolos les fisika, dan besok libur)

Saat itu lagi musim-musimnya es teler pinggir jalan, jadi aku dan Endah, yang sama-sama berotak konsumtif, menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan nongkrong di warung es teler dekat komplek Mujahidin. Namanya Es Teler Ciuman.
Mm, mungkin terdengar agak vulgar yah, sebab itu nama emang bukan tukang jualnya yang ngasih, tetapi aku yang seenak perut menyebutnya begitu. Ada sejarah sendiri bagaimana warung es teler pinggiran tersebut bisa disebut begitu, tetapi aku nggak akan menceritakannya di sini, karena cuma bakal bikin garing aja.
Lalu sambil meminum es teler pesanan, kami bercerita kesana kemari, mulai dari gosip sampe hal-hal bodoh yang pernah kami lakukan. Tertawa sekeras-kerasnya, sampai ngebikin orang-orang menoleh sebel. Akhirnya tanpa terasa es teler di mangkuk kami habis, dan sudah saatnya untuk pulang.
Aku pun mengantar Endah dengan selamat ke rumahnya (dengan manuver-manuver oke bersama si mobek), dan aku juga kembali ke my home sweet home.
Sesampainya di rumah, aku teringat sesuatu yang bodoh. Sangat bodoh.
Aku langsung menyambar hape dan memencet nomor Endah di telepon rumah (pelit pulsa).
Tut... tut... Sedang tersambung.
Klek, telepon diangkat.
Percakapan berikut ditulis dengan bahasa Indonesia, bukannya Melayu seperti kejadian sebenarnya.
"Halo, Endah?" ucapku cepat.
"Ya, ada apaan, Des?" tanyanya.
"Kamu lagi ada urusan nggak sekarang? Bisa minta tolong, nggak?"
"Nggak, sih. Emang ada apa, nih?"
"Anuu, kamu bisa balik ke Es Teler Ciuman lagi nggak, sekarang?" tanyaku agak tergeragap.
"Ha? Apaan, sih?"
Susah sekali menahan tawa untuk nggak pecah berderai. "Mmm, tadi... mmm, es teler..."
Endah diam menunggu lanjutan kata-kataku.
Dengan susah payah dan terbata, aku pun melanjutkan, "Anuu, selesai minum es teler, kita... kita belum bayar."

1 comment:

What do you think?