Semburat jingga mulai muncul di ufuk barat. Mendadak jantungku berdetak dua kali lebih kencang. Ini sudah memasuki hari ketiga, tetapi percayalah, aku tidak akan pernah terbiasa. Hilang sudah seleraku menghabiskan puding karamel yang tersisa di freezer, malah sekarang perutku mulai bergolak. Mual. Ingin muntah membayangkan apa yang akan kuhadapi beberapa saat lagi. Ragu-ragu kutinggalkan ruang makan kecil yang nyaman ini, dan membisikkan selamat tinggal perlahan pada kulkas yang menghidupiku beberapa hari ini. Aku yakin tidak akan bisa menikmati makanan jadi yang masih tersisa di dalamnya besok atau besoknya lagi karena kuperkirakan pasokan cadangan listrik hanya mampu bertahan tiga hari.
... kalau besok aku masih bisa kembali.
Susah payah aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Menenangkan diri. Menangis sudah jelas tidak ada gunanya. Tangisku pun sudah kering sejak hari pertama, saat aku menyadari bahwa aku benar-benar... sendirian. Setidaknya dalam radius 10km dari sini. Aku sudah lelah berusaha mencari jejak-jejak manusia yang tersisa, namun hal paling mendekati keberadaan manusia yang dapat kutemukan cuma beberapa ceceran darah merah yang masih baru. Manusia yang sudah bertransformasi tidak akan mengeluarkan darah lagi bila terluka, sehingga aku menyimpan sedikit harapan bahwa di luar sana, mungkin sedang bersembunyi dan menyusun strategi, masih ada manusia lainnya yang masih bernapas dan bernyawa.
Aku meraih tas selempangku yang isinya berat dengan senjata. Ya, selain sebuah pistol dan pisau yang bersarung di pinggangku, aku sudah menyiapkan senjata-senjata lain untuk berjaga-jaga. Tidak banyak pemakan-otak yang masih tersisa di kota ini karena aku yakin mereka sedang bermigrasi menuju ibukota, entah untuk tujuan apa yang belum aku ketahui, dan sebenarnya, tidak pernah benar-benar ingin kuketahui.
Setelah pengalaman hari pertama di mana aku hampir diserang dua orang pemakan-otak yang tersisa—dan aku hanya terselamatkan karena kemampuanku berlari—di hari kedua, saat pagi datang, tempat pertama yang kutuju adalah toko senjata. Tidak banyak yang mampu kubawa. Satu pistol kaliber 9 mm buatan Rusia. Dua revolver—untuk berjaga-jaga apabila satu tembakan pistol tidak mempan dan butuh berondongan tembakan untuk menghabisi pemakan-otak yang keras kepala. Dua pisau—satu di pinggang dan satu lagi, yang berukuran sedikit lebih besar, kuletakkan di dalam tas. Terakhir sebuah senapan ringan yang ramping—siapa tahu aku perlu menembak dari jarak jauh.
Bisa dibilang aku buta senjata. Satu-satunya senjata yang bisa dengan bangga kukuasai penggunaannya adalah pisau dapur dan segala turunannya. Tetapi senjata api? Kuakui aku hampir terlempar kebelakang saat pertama kali mencoba menembakkan pistol. Pilihan antara bertahan hidup atau menjadi korban pemakan-otak membuatku terpaksa menghabiskan sepanjang hari itu membaca apapun yang ada kaitannya dengan penggunaan senjata.
Kenapa aku memilih hidup?
Itu pertanyaan terbesarnya. Dengan segala senjata yang kumiliki, seharusnya aku tinggal memilih salah satu dan menodongkan larasnya ke samping kepalaku, menarik pelatuk, lalu mati dengan tenang. Kemudian membiarkan jasadku yang tergeletak menjadi santapan para pemakan-otak yang menjijikkan itu? Tidak, terima kasih banyak. Entahlah, aku belum ingin mati. Aku ketakutan, tetapi selalu masih ada harapan. Aku hanya tinggal melewati setiap malam yang panjang ini sendirian—
Gelap. Matahari belum tenggelam sempurna, tetapi listrik kota sudah kehabisan cadangannya. Keringat dinginku mulai mengucur perlahan dari kening dan tengkuk.
Malam panjangnya dimulai sekarang.
ah welcome back my favorite writer :*
ReplyDeleteawww thankyouu ichaa :*
ReplyDelete