Monday, April 09, 2012

The Untranslated Code

Bian merutuki kakinya yang mulai terasa perih. Ya, tentu saja perih. Perjalanan sejauh lebih dari 20 mil harus ia tempuh dengan berjalan kaki, yang hanya terbungkus sepatu kanvas lusuh tanpa kaus kaki melapisi. Namun perjalanan masih terlalu panjang dan lama tanpa perlu ditambah-tambahi sesi untuk mengeluh. Bian cuma bisa meringis, menggerigiti bibir, yang kering terkena angin debu yang berhembus setiap 15 menit sekali, dan mencoba mempercepat langkahnya.

Ia harus tepat waktu. Jika tidak, maka semua akan berakhir.

Segalanya.

***
Awan kelabu berada tepat di atas kepalanya. Rei berhenti dan mendongak, membaca langit yang menggelap.

"Tak bisakah...?" gumamnya pada sekumpulan awan yang bergerak cepat.

Kilat membelah langit, dan diikuti suara guntur yang menggelegar. Rei mendesah. Ternyata jawabannya memang tidak.

Ia memandang berkeliling. Tidak terlihat tanda-tanda adanya sesuatu yang bisa dijadikan tempatnya berlindung dari badai. Oh, ya, ini memang akan berubah menjadi badai, cepat atau lambat. Rei membacanya dengan cukup jelas.

Hujan mulai turun. Rintik-rintik pada awalnya, namun tidak butuh waktu yang lama untuk berubah menjadi sangat deras. Rei mengkhawatirkan tas punggungnya--isi tas punggungnya--dan ia tahu ia harus segera mencari tempat berteduh.

Tapi dimana? Sejauh mata memandang, ia hanya bisa menyaksikan semak-semak rendah, dan gundukan pasir. Sisanya? Hanya padang yang luas--terlalu luas, hingga terlihat seakan-akan tak bertepi.

Ah, tunggu. 

Ia memicingkan mata. Hujan telah merubuhkan gundukan-gundukan pasir itu--membuatnya luruh dan membentuk cekungan seperti kolam di permukaan tanah--namun hanya ada satu yang tetap berdiri tegak. Karena itu mungkin... memang bukan gundukan pasir.

Rei segera berjalan mendekat. Ia melepas kacamata pelindungnya yang penuh debu supaya bisa melihat lebih jelas. Rumah batu. Dengan kotak kaca kecil di depan pintunya; password keypad.

"Sial," umpatnya kesal. Tubuhnya sudah semakin basah oleh hujan dan penuh oleh butiran pasir. Ia harus segera berlindung atau ia akan jatuh sakit, dan itu akan menunda misinya lebih lama. Belum lagi benda-benda penting di dalam tas punggungnya, yang ia yakin tidak terlalu bertoleransi pada air hujan. Sama sekali tidak bagus. Namun harus bagaimana? Ia tidak punya ide apapun tentang apa seharusnya password yang bisa membuka rumah batu aneh ini. 

Apa? Apa?

Ia memaksa otaknya lebih keras untuk berpikir. Apa yang kira-kira dipikirkan orang yang membangun rumah ini disini? Daerah ini bukan daerah yang layak untuk ditinggali. Lalu untuk apa ia membangunnya? Tunggu, apakah--

Rei memberanikan diri mencoba. Satu kata yang tiba-tiba terlintas di benaknya, dan ia mengetikkannya perlahan-lahan di atas keypad dengan jemarinya yang dingin.

Ia menunggu reaksi.

Lalu terdengar bunyi 'piip' pelan dan pintu batu itu mulai menggeser terbuka.

***

Hujan. Atau bahkan mungkin akan berubah menjadi badai. Bian tidak suka ini.

Ia mengerjap. Sesosok yang dari tadi ia perhatikan--manusia, dengan tinggi sekitar 180 cm dan dapat dipastikan berjenis kelamin laki-laki--tiba-tiba menghilang. Bagaimana caranya? Laki-laki itu hanya berdiri di depan sana, dan Bian hanya mendongak ke atas sebentar--memperkirakan kapan kemungkinan hujan atau badai akan berhenti--namun tiba-tiba ia lenyap tak berbekas. Apa yang telah ia lewatkan?

Ia berjalan mendekati tempat dimana laki-laki tadi berada, dan terkesiap. Ia tidak tahu karena tadi terhalang oleh tubuh laki-laki itu dan juga jarak yang memang cukup jauh, namun sekarang ia baru menyadarinya. Itu adalah sebuah rumah batu, lengkap dengan password keypad di sebelah sisinya.

Satu lagi masalah. Apa kira-kira password yang harus ia masukkan? Tidak ada ide. Bian mencoba mengetuk pintu batu itu, mungkin saja laki-laki yang didalam bisa mendengar dan membukakan pintu untuknya, namun tidak ada gunanya. Batu. Material itu digunakan bukan tanpa alasan yang jelas. Ia beralih ke password keypad yang terlindung dalam kotak kaca... lalu tersenyum. Di beberapa angka di atas keypad, terdapat butiran-butiran pasir; mungkin berasal dari jemari laki-laki tadi. Segalanya lebih mudah kalau begini, gumamnya, ia hanya tinggal menebak kombinasi dari angka-angka yang telah ditekan oleh si jemari berpasir tadi.

Bian berpikir. Sepuluh detik. Lebih.

"Oh."

Ia tahu, tiba-tiba semua terasa lebih jelas. Ia menekan tombol di atas keypad dengan percaya diri, menunggu suara verifikasi kode, dan tersenyum lebar saat pintu batu itu terbuka lebar untuknya.

Bian masuk, dan merasa hangat. Ia memandang berkeliling--

"Ergh."

Laki-laki itu tersadar, dan dari communicator yang ia pegang, ia mengalihkan pandangannya pada Bian.

"Oh."

Bian mengalihkan pandangan, dan mengambil tempat sejauh mungkin dari laki-laki itu. Laki-laki yang bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek sebatas paha.

"Ah, maafkan aku. Bajuku basah sekali tadi dan--"

"Ya, ya, itu urusanmu," potong Bian cepat. Ia masih tidak mau menoleh--ia lebih memilih mendapati lehernya kaku karena menghadap ke arah yang sama terus menerus daripada memandang ke sekeliling dan harus menangkap pemandangan seperti itu dengan matanya.

"Bagaimana kau bisa masuk?" tanya laki-laki itu.

Tidak digubris.

"Jangan-jangan kau... juga."

Kalimat yang tidak jelas, namun kali ini, Bian memberanikan diri menoleh dan tersenyum sinis. "Apa maksudmu dengan 'juga'?" 
__________________________________________________________

P.S. Imported from my Facebook account's Notes, written on Friday, November 6, 2009 at 7:36am

(Dulu berbekal handphone dan imajinasi sehabis bangun tidur saja bisa nulis sebanyak ini. Sekarang sudah berjam-jam di depan laptop, adanya cuma buntu. Kayaknya otak saya emang mengalami degradasi gara-gara kebanyakan makan Indomie.)

1 comment:

What do you think?