"Bilang kamu benci."
Aku mengerutkan alis. Heran dengan sikapnya yang tiba-tiba aneh; menarik pergelangan tanganku dengan kasar, lalu melontarkan kata-kata yang juga tidak masuk akal.
"Apa, sih?"
Ia akhirnya melepaskan tanganku, perlahan, seakan-akan hendak meletakkan sebuah benda sangat berharga yang akan pecah karena sedikit saja hentakan.
Namun mendadak aku merasa paham apa masalahnya. Aku teringat. Menghela napas, aku membalik badan, menatap matanya dalam-dalam, lalu menggumam perlahan.
"Aku nggak benci."
Ia tidak tampak puas. Memang tidak pernah. Matanya entah kenapa berkilat-kilat di bawah lampu taman yang temaram. Sekarang aku mulai ketakutan.
"Vin, aku sayang sama kamu. Sayang banget. Aku nggak akan bilang kalau aku benci sama kamu, ngerti, kan?" Rasanya seperti bicara kepada anak kecil yang masih TK dan berak di celana. Harus pelan-pelan, dengan gerak bibir yang maksimal.
Butuh waktu yang lama hingga ia akhirnya berhenti mengerutkan alisnya dan mengangkat kedua ujung bibirnya. Senyum itu. Senyum yang membuatku tergila-gila, jatuh cinta kepadanya lagi dan lagi setiap kali aku terlupa.
"Aku juga sayang sama kamu."
Semua orang bilang aku aneh. 'Kenapa dia?' saat memar di bagian atas lenganku mengintip dari ujung lengan baju. Belum lagi ketika aku belum sempat merapikan alis ketika guntingnya tidak sengaja terlempar dan memotong alisku beserta kulit daging disekitarnya.
Tapi bagaimana? Aku suka senyumnya. Aku suka memeluk punggungnya dari jok belakang motor balapnya. Aku suka menatapnya. Suka sekali.
Bukankah hal itu yang terpenting? Aku pun, rasanya, sudah cukup bahagia.
No comments:
Post a Comment
What do you think?