Tuesday, September 02, 2008

Azab Bahasa Indonesia

Lama nggak nulis dan tau-taunya sekarang udah bulan puasa. Dan yang paling menakjubkan: LIBUR..!
Okeh, mungkin memang cuma tiga hari bodoh yang aku isi dengan santai sampe mual. Udah nyoba minjem novel di Anime (dan bodohnya lagi, aku nitipin SIM, bukannya Kartu Pelajar laknat yang ketinggalan di suatu tempat di kamar, sebagai jaminan), tapi nggak nyampe sepuluh jam sejak dua novel metropop yang gendut-gendut itu aku bawa pulang, aku sudah menyelesaikan membaca.
And here I go again... kembali garing.

Sebenarnya sih bukannya nggak ada kerjaan buat dilakukan. Buanyak banget malahan kalo mau dipikir-pikir. Tugas powerpoint TIK, baca Biologi, pinjem catatan Matematika sama Kimia orang buat disalin di bukuku sendiri, dan masih banyak lagi tugas-tugas yang kalau mau disebutkan bakal habis pas beduk maghrib. Tapi, ya ampun, kalo memang dari dulu sifat aku mau ngerjain semua hal—minimal yang sudah kusebut tadi—itu, aku berani taruhan sekarang aku ada di Jepang, hanami (well, entah Jepang sedang musim apa sekarang) atau duduk di kelas Sejarah Jepang atau apa, menikmati masa mudaku di SMA Jepang yang seragamnya lucu abis; dapat beasiswa.
Sayangnya tidak.

Kesimpulannya, satu-satunya solusi masalah kegaringan ini adalah duduk di depan komputer, dan mulai menulis untuk blog yang sudah cukup lama aku abaikan ini.


Sesuai judulnya yang garing abis, posting ini aku manfaatkan untuk berbagi pengalaman soal aku dan Bahasa Indonesia. Okeh, aku tau kalimat barusan nggak membantu, tapi yah, baiklah, aku akan mulai bercerita.

Aku pernah cerita soal guru bahasa indonesia kelas XI ku yang namanya Bu Nunung, kan? (nggak berharap ada yang inget, tentu saja. Tapi kalau ada yang mau mengingatkan diri atau tertarik membaca, silakan klik disindang.)
Kami pikir (yeah, aku udah bilang kalo kelas XII ini anak-anaknya sama dengan kelas XI tahun lalu) udah terbebas dari kekangan guru bahasa indonesia yang model begitu, tapi ternyata kelas XII ini, gurunya setali tiga uang dengan Bu Nunung.

Namanya Bu Wisnu. Tinggi, langsing (kata sopan untuk ‘kurus’) dan bersuara berat nan menggema.

Langsung buat daftar yah.

1. Di setiap pelajarannya, entah nulis di papan tulis, ngerjain tugas apalagi ulangan, musti pake huruf rangkai alias tegak bersambung. Ha.
Maksudku, halloo, kita ini kelas tiga es-e-ma, bukan tiga es-de yang belajar nulis indah!
Dan jangan harap huruf rangkai yang dipake model biasa. ‘S’-nya kurus banget dan ‘M’-nya pake ungkel-ungkel. Nggak usah dibayangin, nggak bakal ngerti. Aku juga enggak.

2. Dilarang coret, tip-ex, hapus, tambal pake kertas, atau pake pensil.
Dikiranya kita dewa, nggak bisa bikin salah? Bahkan waktu disuruh nulis surat lamaran pekerjaan waktu itu (oh, yeah, pake tangan!) tak terhitung banyaknya kita-kita pada ganti kertas.
Tak heran bumi makin panas dan kutub mulai mencair.

3.Soal ulangannya di ambil dari buku. Dari buku, buku cetak yang mesti kita beli dan jadikan alas kepala saat tidur.
Sumpah, nggak kreatif banget.
Dan inilah, ulangan inilah, yang sekiranya bakal menjadi topik utama kali ini.

Waktu ulangan itu dibagikan, aku nggak sebel dapet nilai 70. Mending malahan, karena kupikir bakalan dapet empat puluh lima. Toh yang lain juga banyak yang lebih jelek (nggak masuk konteks menghina ya).
Setelah hepi-hepi bentar karena merasa nggak perlu ikutan remidi, tiba-tiba duniaku langsung roboh. Bukan, bukan karena bangunan sekolah udah jelek, tapi karena aku dengar dari I’a kalau KKM-nya tujuh puluh dua. Dan nilaiku tujuh puluh.
Oh, tidak.

Segera aku nyari-nyari kesalahan pemeriksaan di kertas ulanganku, kali aja nilaiku tiba-tiba naik dan nggak perlu ikut remidi laknat itu.

Usaha pertama.

Aku mencocokkan jawaban dengan ulangan Doska yang dapet sembilan puluh entah berapa dan aku menemukan kejanggalan di soal essay nomor dua.
Aku jawab lima, tapi cuma dikasih nilai tiga dan doska yang jawab empat dapet nilai empat setengah.
Akhirnya Amalia yang baik hati setuju mau nemenin aku buat memprotes jawaban ke Bu Wisnu.
Guru itu melihat jawabanku sekilas, dan menjawab dingin, “Coba kamu lihat jawaban di buku, sama tidak dengan yang kamu jawab?”
Aku diam. Alamat nasib buruk, nih.
“Sudah lihat? Ibu memberi nilai segitu karena sudah mempertimbangkannya, jadi...”
Bla-bla-bla.
Usaha satu gagal. Aku melangkah gontai kembali ke bangku.

Usaha kedua.

“Dapet berapa, Des?” tanya Arlia.
Aku menjawab kesal, bercerita kalo tinggal dikit lagi aku bakalan tuntas dan bisa jalan-jalan ke Dufan (boong banget).
Arlia melihat kertas ulanganku, dan menemukan kejanggalan.
“Ni, poin yang ini,” Arlia menunjuk jawabanku nomor satu essay, “kan betul. Protes sama ibu, deh.”
Hohoho, satu gerbang lagi terbuka. Dengan ditemenin Arlia, aku menuju meja guru dengan semangat.
“Bu, yang ini... bla-bla-bla...”
Ibu itu melihat jawabanku.
“Iya, poin yang ini betul,” beliau memberi centang, “tapi yang ini harusnya salah, yang ini dan yang ini juga.”
Arlia menahan tawa.
“Mm, jadi, Bu? Nilai saya...?”
“Kan sudah Saya bilang, Saya sudah mempertimbangkan semua hal sebelum memberi nilai, jadi...”
Arlia tertawa ngakak di sebelahku. Aku nemplok di whiteboard yang licin.

Usaha ketiga.

Arlia masih tertawa, tapi aku berusaha.
“Plis Bu... tolong deh... tinggal dikit lagi, dikiiit laghii, saya nggak musti ikut remidial nih, aduh Bu...”
“Tidak bisa begitu, nanti teman yang lain bisa iri.”
Aku melangkah gontai kembali ke bangku, cemberut gila.


“Jadi? Remidi nggak, Chi?” tanya Echa, melihat kertas ulanganku yang bonyok-bonyok.
“Remidi.”
Echa lalu mengeluarkan tawa binalnya yang biasa, menepuk-nepuk lenganku. “Sama-sama dong kite, yee...”
“Kapan remidinya?” tanyaku malas.
“Katanya sih, besok.”
“Aku nggak akan belajar buat remidi besok, denger ya Cha, nggak akan!! Kesal bener deh gua sama tuh ibu, sumpah mampus. Aku nggak akan belajar! Nggak akan! Nggak uakaaaa...n....!”
“Ntar kau remidi lagi, loh..”
“Peduli sampah! Sekali kesal yah kesal!!”
Bel pulang berbunyi.
Aku pulang dengan hati panas.


Aku dengan mobek-ku tercinta dan Febi dengan Vario-nya, berjalan beriringan menuju rumah. Ngobrol dengan motor sejajar, nggak peduli di klakson sama mobil-mobil di belakang yang nggak sabaran.
Tapi karena Febi bawa motor pelan banget, dan mobil-mobil makin banyak ajah di belakang, aku melaju ke depan, meninggalkan Febi di belakang.
Untungnya, tidak terlalu jauh.

Sampai U-turn di depan Mujahidin, mobek tiba-tiba berhenti. Aku mulai panik. Kustarter berkali-kali, nggak mau nyala. Akhirnya aku menyadari sebuah kenyataan yang mengejutkan: bensinku habis.
Aku panik gila.

Aku menoleh ke belakang, dan untungnya Febi sudah berada tepat di belakangku.
“Feb, gimana nih? Nggak mo idup mesinnyah?”
Febi ikutan panik. “Starter, cepatlah! Pake kaki kek, apa kek!”
“Nggak, bukan itu masalahnya! Bensinnya abis!”
Akhirnya Febi mendahuluiku memutar, dan menepi.
Aku menyeret mobek dengan susah payah, banyak kendaraan lain di belakangku, menanti memutar.
Setelah diteriaki sopir truk entah apa (ada dua truk di samping dan belakangku saat itu, kalau mau tahu), akhirnya aku berhasil memutar dengan susah payah. Tapi masalah lain datang. Gimana caranya menepi??
Bisa abis gua kalo ndorong motor menyebrangi jalan A. Yani yang lebar dan lagi ramai banget ini. Bisa mati di klakson, atau kalau mau yang lebih tragis, rata dilindas truk yang suka nggak sabaran.

Tapi akhirnya pertolongan Allah datang.
Bukan, bukan cowok ganteng berkacamata yang tiba-tiba datang dan bantu dorong si mobek ke tepi, tapi si mobek bisa hidup setelah kustarter beberapa kali. Akhirnya, meski dengan ndut-ndutan, si mobek dan aku nyampe di tepi dengan selamat.

Febi menghampiri. “Di situ ada kios bensin, tuh!” dan gadis itu melaju meninggalkanku sendirian, lima puluh meter di belakangnya, menggerutu sambil mendorong mobek dengan susah payah.
Ini motor berat banget, mungkin kebanyakan dosa gara-gara sering nggak sengaja aku pake buat nyerempet atau minimal hampir nabrak orang.

Febi memanggil abang kiosnya dan akhirnya abang itulah yang menyeret mobek ke kios bensin itu. Aku berlari menghampiri Febi.
“Mati, malu banget, Feb...! Untung ada kau, kalo enggak, tak bisa bayangin lah...”
“Kau, sih! Udah tau bensin nggak ada, masih berani di bawa jalan!! Tapi aku sih nggak heran!”
Aku nyengir malu. Puas-puas ketawa, nggak sadar kalau kita make baju khas biru kesayanganku dan ketahuan anak smansa.
Akhirnya mobek di kasih minum. Satu liter aja, nggak usah banyak.
Nggak ada duit, alasanku. Padahal pas bayar pake duit lima puluh ribu.

Setelah selesai tetek bengek pembayaran dan mobek akhirnya bisa jalan lagi, Febi menghampiriku.
“Des, kau mo tahu satu hal, nggak?”
“Apa?” tanyaku bingung. Jangan-jangan abang tadi ngasih kembalian kurang, atau jualan bensin oplosan.
“Abang tadi... bau.”


Sebenarnya kalau dipikir-pikir nggak ada korelasi yang benar-benar nyata antara sebel sama guru dengan kehabisan bensin di jalan.
Aku sebel sama guru, ya itu durhaka.
Aku kehabisan bensin, ya itu ceroboh.
Tapi kalau membuat dua hal kelihatan saling berhubungan, kelihatannya lebih keren, kan?

Oh, ya, kalau mau dihubung-hubungkan, aku dapat peran jadi harimau di drama nanti. Bukannya jadi harimau buruk sih, cuma ya... harimau gitu loh.
Nggak ngomong, cuma gerak-gerak sok garang dan mengaum.
Yah, kayaknya peranku di drama dari dulu benar-benar suits me banget.
Dulu hantu, ya, hantu, dan jangan berharap ada yang bilang peran itu nggak cocok sama aku.
Sekarang harimau, dan temen-temen sekelompokku, terutama I’a, bilang peran itu cocok banget sama aku.
Kapan aku dapat peran jadi Horikita Maki??

15 comments:

  1. Eh. Aku juga sebel ma Bu Wisnu.
    Mukanya itu loh, judes abis.

    Harimau?
    Dirimu masih lebih mending chi.
    Coba bayangkan, gimana tar aku nampilin peran Harimau, dengan kerudung penuh nista?

    Bakal ada sinetron ramadhan, 'Zikir-Zikir Harimau'

    /huff/

    ReplyDelete
  2. Anonymous5:22 PM

    harimau ya

    pasti pengahayatnnya totalitas bgt..
    kan exs trio macan..


    hehe..

    ReplyDelete
  3. Anonymous4:53 AM

    Hmm... bahaya juga tuh kondisinya... Untung ga kenapa-napa...

    Btw belajar dong. Masa udah remidi masi ga belajar...

    Boleh benci ma guru yang mengajar, boleh sebel ma guru yang mengajar, tapi jangan benci sama ilmunya, oke? :D

    ReplyDelete
  4. Anonymous5:15 AM

    hemmm gitu yah ?!
    semakin bulat sajah niat sayah untuk mendidik anak sayah kelak (kalo ditakdirin punya anak :p) dengan metode homeschooling

    HIDUP KOMO!! *oops* KAK SETO!!

    ReplyDelete
  5. Anonymous11:51 AM

    wah
    sama kayak aku donk
    macan
    XDDDDD

    mestinya kmu seneng!
    *narsis mode on*

    ReplyDelete
  6. Huehehehe.....
    Sama ma guru bi gua dulu. namanya Pak Yudi. Gemuk plus pelit abis ma nilai. musti pas ma di buku. alhasil sering remedi juga karena banyak yang menurut opini gua.

    ReplyDelete
  7. wakakakakak..
    iaah..
    aq mengertii.
    memang guru kita yang paling hebat cuma bu fath.
    satu² nya guru yang mengijinkan makan i kelas dan dengar mp3..
    jiakakak..

    ReplyDelete
  8. Seru banget ceritanya..
    Salam kenal ya..

    ReplyDelete
  9. disini nggak libur.. huuaaaa

    ReplyDelete
  10. des..
    aku mampir ni..
    akhirnya..

    er..




    ko ndak cape ke nulis segitu banyak.?

    ReplyDelete
  11. miko...ayo posting lagi, ini kan udah lewat lebaran loh :)

    hehehehehe....

    ReplyDelete
  12. update la tuh posting.
    Sibuk k???

    ReplyDelete
  13. Anonymous5:13 PM

    untuk saja saya sudah tidak bersekolah lagi
    *ahahaha*

    ReplyDelete
  14. woow...met bergabung DI rumah blogger yach

    ReplyDelete
  15. Anonymous10:03 PM

    chii.. numpang2 baca2 yahh... nice blog.. tukeran link yuuk... mampir jg y ke blog ak..:D

    ReplyDelete

What do you think?