Saturday, May 21, 2011

Pengakuan Seorang Anorexia—Cuma Bercanda

Saya paling nggak suka kalau dibilang gendut. Titik. Nggak peduli bahwa orang lain meyakinkan saya kalau saya sama sekali nggak gendut, tapi selama masih ada satu orang yang bilang saya gendut, saya akan sangat sensitif dengan yang namanya berat badan dan bakalan mogok makan semingguan.

Apa saya pernah bilang di blog ini kalau saya vegetarian? Kalau belum, berarti saya bilang sekarang: ya, saya seorang vegetarian. Sebenarnya sih masih semi-vegetarian karena susah buat meyakinkan orang-orang tentang pilihan hidup menjadi seorang vegetarian: kalo saya beli makan di warteg terus cuma pake lauk sayur-sayuran, pasti saya dikira anak kosan kere gara-gara nggak makan pake ayam. Selain karena pengen lebih langsing, saya juga pengen lebih sehat berhubung saya selalu ketakutan mendengar penyakit-penyakit serem kayak stroke atau diabetes atau apa yang penyebab utamanya adalah pola makan yang nggak sehat.

Oke, sejujurnya menurut saya orang yang ngatain saya gendut itu gila karena BMI saya 16,8 dan itu masih dalam kategori underweight. Tapi normal weight  itu 18,5 dan saya nggak mau jadi orang normal, sebelum ini BMI saya selalu di bawah angka 17 L Kalo saya kurus-tinggi-langsing, siapa tahu waktu saya ke Korea, saya ditawarin buat jadi anggota girlband baru atau gantiin personel SNSD atau apa. Yang penting kan punya badan langsing dulu, kalau soal tampang mah gampang, tinggal oplas dan jengjengjeng kalian semua akan memutar video saya dan anggota girlband saya berulang-ulang sebelum tidur.

Satu hal yang saya takutkan dari perasaan nggak-suka-jadi-gendut-ini (selain omelan teman-teman saya karena ketidaktahudirian saya yang sok gendut) adalah jangan-jangan saya mengidap anoreksia nervosa? Saya beberapa kali cuma makan sekali sehari gara-gara insiden dibilang gendut itu dan sama sekali nggak berselera dengan cemilan-cemilan macam cokelat putih dan Oreo yang semula sangat saya sukai. Saya juga sering membiarkan diri saya menikmati rasa lapar dan mengatasinya cuma dengan minum air putih—karena katanya bisa bikin kulit tambah putih. Kalau dipikir-pikir, ya, saya waktu itu kayak orang gila.

Saya takut jadi gendut, ya. Saya, yang jarang makan ayam dan tidak pernah makan daging, bahkan cuma makan bagian putihnya di telor ceplok karena saya tahu kuning telor banyak lemak jenuhnya. Saya minum teh hijau daripada teh melati.

Tapi saya suka es krim. Saya suka Oreo, saya suka Toblerone dan Silverqueen White. Saya suka mie instan dan saya suka gorengan pinggir jalan yang banyak minyak-minyaknya itu. Dan saya paling suka kerupuk, suka sekali.

Jadi saya berpikir, saya jadi kurus buat apa, buat siapa? Artis Korea bukan, cowok tidak punya. Mama saya malah terus-terusan bilang kalau saya terlalu kurus, mungkin baru berhenti waktu berat saya menembus angka 85 dan saya butuh kain seprei untuk dijahitkan menjadi baju baru.

Lagipula teman-teman saya yang baik itu, yang mungkin karena saking kesalnya karena saya selalu bersikap seolah-olah jadi wanita paling gendut sedunia, pada akhirnya akan bilang: “Badan kamu udah bagus kok, Des, mau jadi lebih kurus apalagi coba.” Lalu cuping hidung saya akan mengembang dan bibir tersungging bahagia.

Jelas, saya bukan pengidap anoreksia. Mana ada seorang anoreksik yang sadar dirinya anoreksia dan mengumumkannya secara terbuka? Lagipula setelah efek dibilang-gendut usai saya pasti langsung habis-habisan balas dendam makan semua makanan yang saya suka tanpa pikir panjang. Sehat atau tidak sehat, menu vegetarian ataupun bukan.

Pada akhirnya, saya tahu bahwa saya cukup mencintai diri saya sendiri apa adanya. Bukan mengeluh panjang lebar tentang kenapa saya tidak cukup kurus, padahal saya tahu bahwa seperti halnya terlalu gendut, terlalu kurus juga bisa sangat berbahaya untuk kesehatan. Begitu pula saya tidak akan menyalahkan diri saya yang kurus—atau saya lebih senang kalau kita sebut langsing saja—karena saya yakin begitu banyak wanita di luar sana yang rela membayar mahal untuk bisa mendapatkan tubuh seperti yang saya punya. Saya mungkin kesulitan dalam mencari pakaian kuliah yang ukurannya pas dengan saya (karena seragam saya yang ukuran S saja masih gedombrongan kemana-mana) dan dengan lapang dada menerima bahwa jaket almamater tidak bisa kelihatan pas kalau saya pakai. Tapi saya juga senang masih bisa memakai kaos-kaos oblong yang saya punya sejak kelas 3 SMP, juga terhindar dari memakai pakaian-pakaian ketat yang memamerkan aurat.

Yah, intinya, seperti kata-kata bijak yang sudah sering kita dengar bersama: kalau saya sendiri tidak bisa menerima dan mencintai diri saya apa adanya, bagaimana orang lain bisa melakukannya?

Sunday, May 15, 2011

#10 Sayang, Kamu Tidak Tahu

Tidak, Sayang, kamu tentu tidak tahu, bahwa kata-kataku yang tajam selama ini jauh dari kesan yang kautangkap tentangku. Begitu pula tentang tatapan jahatku. Wajahku yang tanpa senyum. Usahaku untuk berusaha berada paling dekat sejauh lima meter darimu. Atau apapun itu, yang kau pikir kulakukan padamu, karena aku merasakan hal tertentu terhadapmu.

Kamu pasti sudah sering mendengar kalimat bijak tentang jangan menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja. Awalnya, kupikir aku sudah berhasil melakukannya padamu. Aku tidak tertipu, tidak terpukau oleh penampilan luarmu semata seperti gadis-gadis muda hilang akal yang langsung berjatuhan di sisimu saat kau lewat atau apa. Kita sudah sama-sama dewasa; sepertimu yang  tidak tertarik kepada gadis-gadis muda yang malang itu, tidak pula aku tertarik padamu sebagai penyebab mengapa gadis-gadis itu bersikap seperti kebanyakan menghirup lem. Aku menilaimu sejak kita pertama bertemu, langsung menyimpulkan di detik mata kita pertama kali beradu: aku tidak akan tertarik kepadamu hanya karena wajahmu terpampang di sampul majalah wanita favoritku bulan lalu dan tinggi badanmu membuatmu tidak cukup melewati pintu masuk ruang kantorku.

Sayang, ternyata semesta jauh lebih luas dari yang pernah kubayangkan di masa kecil dahulu. Begitu banyak kemungkinan yang terhampar luas tepat di bawah hidungku—terlalu dekat untuk diabaikan, namun cukup jauh untukku menyadari kenyataan-kenyataan apa saja yang ia coba paparkan. Sebagai satu contoh kecil, sebutlah... kamu. Aku tidak tahu kita akan sering bertemu. Aku tidak pernah tahu kita punya minat dan kesukaan yang sama. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kita punya begitu banyak bahan cerita untuk diobrolkan berdua, baik yang harus mengerutkan kening berpikir atau melengkungkan punggung tertawa. Dan satu hal paling penting, kemungkinan yang tidak pernah kubayangkan ketika di hari itu kita pertama kali berjumpa: kesimpulanku telah salah dan ternyata akulah yang menilai sesuatu hanya dari penampakan luarnya saja.

Rasanya bodoh sekali saat menyadari bahwa aku begitu naif. Aku berusaha untuk tidak tertipu oleh seindah apapun penampilan luar sesuatu hingga malah mengabaikan bahwa sesuatu itu juga berkemungkinan sama indahnya di dalam. Seperti kamu, Sayang, persis seperti kamu. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat gadis-gadis yang menatapmu kagum dari balik gelas jus jeruk mereka saat kita makan siang bersama. Apa sikapku akan berubah tolol seperti itu, saat kusadari bahwa aku mungkin telah, katakanlah, jatuh cinta padamu?

Pada akhirnya, aku tidak melakukannya. Entah aku harus bersyukur bahagia atau menangis menyesalinya, aku pun bingung. Percayalah, aku hanya terdiam saja saat itu; saat sahabatku mengatakan bahwa ia pun jatuh cinta padamu.

Ah, cinta, apa itu? Sejenak kurasa aku tahu, namun pengertian dangkal yang kutahu itu pun akhirnya dikaburkan oleh pernyataan sahabatku. Karena kamu tinggi dan tampan? Karena kamu mapan dan punya rumah di kawasan elit? Kalau itu semua alasannya, maka kalian sesuai. Sahabatku langsing dan cantik. Peluang karir bagus dan tinggal di apartemen mewah di salah satu pusat kota. Apa yang kurang, Sayang? Tidak ada. Maka aku pun menyingkir.

Berterimakasihlah kepadaku yang memberikan peluang yang sangat bagus ini padamu, Sayang, bukannya menyia-nyiakannya dengan berusaha mengejarku kembali. Tidak ada yang salah denganmu, atau denganku. Tidak juga orang lain, termasuk sahabatku tersayang. Seperti yang kutuliskan di awal, semua perlakuanku padamu yang mungkin agak berubah bukanlah karena aku memiliki perasaan tertentu padamu. Bukan lagi cinta dan jauh pula dari benci. Sebaliknya, aku melakukannya supaya aku tidak memiliki perasaan tertentu padamu. Tidak mengerti? Ah, begitu pun aku, pada awalnya. Namun kamu akan terbiasa, Sayang, satu hal itu aku tahu.

Lihatlah sekarang, dirimu dan dirinya. Syukurlah usahaku tidak sia-sia. Kulihat matamu, matanya. Kalau sekarang, berada di dekatmu sedekat satu meter pun tidak mengapa lagi, kurasa. Seutuhnya diriku sudah digantikan olehnya, tidak ada aku, tidak ada kita, tidak ada semesta. Hanya kamu, dia, dan sisanya lenyap entah kemana, membuatku kembali nyaman berada di antara kalian tanpa takut merusak apa-apa.

Sayang, satu hal yang juga tidak kamu tahu, ternyata memang benar cinta yang sempat kurasakan waktu itu. Cinta jugalah yang kurasakan sekarang, padamu, masih kepadamu. Tetapi tenang saja, meski tidak pernah terucapkan, namun aku telah berjanji tidak akan pernah sekalipun berusaha merusak hubungan kalian. Aku mencintaimu, namun aku juga mencintai sahabatku. Aku mencintai kalian berdua bersama dan betapa aku benar-benar tulus mengharapkan pernikahan kalian ini akan bertahan selama-lamanya serta kalian dikaruniai anak-anak menakjubkan yang mungkin salah satunya akan kalian beri nama sama denganku, siapa tahu. Aku tidak mengharapkan apa-apa, tidak pernah, namun kali ini aku ingin memohon satu hal padamu: izinkan aku untuk terus mencintaimu. Hingga kamu menikah dengan sahabatku sekarang, sampai saat kamu beranak cucu, atau bahkan jauh lebih lama lagi daripada itu, aku akan tetap mencintaimu. Hanya kamu, hanya kamu.

Tetapi biarlah saat ini, besok, bahkan selamanya, kamu tetap tidak tahu, Sayang, kamu tidak perlu.