Thursday, October 06, 2011

Klise; Tambah Usia ≠ Tambah Dewasa


Saya termasuk orang yang takut menjadi tua. Oke, nggak sebanyak takut (lebih tepatnya jijik, geli, serangan rasa mual tiba-tiba) akan makhluk bernama kecoa, tapi tetap saja. Rasa takut itu—jadi tua, bukan kecoa—adalah salah satu alasan terbesar saya cenderung suka sok imut.

Sok imut.
Tolong jangan hakimi saya dulu. Maksudnya bukan saya berusaha keliatan kayak bocah usia 6 tahun dengan pita di mana-mana dan suara cadel dibuat-buat yang bikin pendengarnya sariawan. Yah, mm, kadang-kadang, mungkin, yaaa tahulah, saat alam bawah sadar memegang kendali fungsi tubuh atau efek samping akibat saya kebanyakan menonton drama Asia yang mana tokoh wanitanya bertingkah laku minimal 7 tahun lebih muda.

Nah, definisi sok imut yang lebih sering saya lakukan ini tepatnya yaitu mengaku-ngaku minimal 1 tahun lebih muda dengan mata berkedip-kedip dan berbinar-binar kemilau. Terima kasih pada orang-orang di sekitar saya yang sudah membangun mental sok imut pada diri saya dengan mengatakan bahwa kelihatan lebih muda dari usia saya sebenarnya—ya, lihatlah bapak-bapak ibu-ibu kakak-kakak dan adik-adik, lihat akibatnya, sekarang saya menyombongkan diri di blog sepi rendah mutu tentang keimutan saya yang setelah dipikir-pikir belum jelas valid tidaknya.
Omong-omong soal validitas, beberapa waktu yang lalu saya pergi ke bank sendirian untuk mengganti buku tabungan serta meminta nomor TAN baru untuk aktivitas net banking. Demi kesan dewasa yang sesuai dengan imej perbankan, maka saya pun memilih mengenakan wedges 7 cm kesayangan dan kacamata (sebenarnya saya berhenti pake softlense karena terlalu malas untuk repot). Namun apa yang terjadi, saya malah menerima pertanyaan tak senonoh dari customer service, “Jadi, Dik Desy masih sekolah, ya?”

Ya, sejujurnya saya senang dibilang masih kecil. Saya senang dibilang tampak lebih muda. Saya senang saat adik kelas saya mengira saya satu angkatan dengan mereka atau dengan seenaknya memanggil saya tanpa embel-embel ‘Kak’ (sebenarnya karena saya yang suruh, soalnya ternyata dia lebih tua satu bulan).
Kenapa oh kenapa?
Simpel saja. Saya tidak cantik dan aset terbesar saya adalah tampak imut. HAHAHA. Bercanda.... oke, setengah bercanda. Setengahnya lagi adalah karena:
... saya takut tidak cukup dewasa.

Terlepas dari kontroversi imut atau tidak ini, saya punya banyak sifat kekanakan, bahkan tanpa menyertakan tindakan-tindakan di definisi sok imut di awal. Egois, manja, mau menang sendiri, keras kepala, bergantung pada orang lain, hobi merengek...
Saya takut meski usia saya bertambah namun sifat-sifat itu masih diam tak bergerak, seenak-enaknya bercokol pada diri saya yang keburu menjadi inang yang terlalu nyaman untuk ditinggal pergi.
Saya takut hanya akan menjadi bocah yang selamanya terperangkap dalam tubuh yang terus bertumbuh menjadi tua.
Saya takut tidak mampu menghadapi dan dihakimi oleh dunia.

Mengapa saya begitu senang bila dikatakan lebih muda?
Cukup jelas: supaya saya punya alasan, punya izin untuk tidak bersikap dewasa karena usia saya (seperti yang mereka kira) terlalu muda untuk harus menjadi bijak sesuai tuntutan usia. Atau bila melakukan hal bodoh yang tak semestinya, mereka cuma maklum dan tidak mempermasalahkan apa-apa.

Tapi pada akhirnya, saya toh memang tidak lebih muda.
Saya tidak pernah ikut kelas akselerasi—bukan hanya karena program akselerasi tidak tersedia di sekolah manapun di kota asal saya saat itu, tapi karena kemampuan akademis saya rasanya juga tidak cukup memadai—tidak juga terlalu cepat memasuki bangku sekolah.
Saya hanya gadis normal dengan usia normal, tidak terlalu muda, tidak pula terlalu tua.
Saat semua orang seusia saya menjadi dewasa, maka seharusnya saya pun juga.

Tahun ini saya akan berusia dua puluh tahun. Ya, saya anggap ini sesuatu yang besar karena dengan ini, saya akan mulai menyandang predikat ‘dewasa’ alih-alih remaja. No more teenage dreams for me.

Saya was-was karena dari sederetan panjang daftar yang saya tulis untuk ‘hal-hal yang harus dilakukan sebelum berumur 20 tahun’, bahkan seperempatnya belum berhasil terlaksana. Namun, entah kenapa hal-hal tersebut terasa tidak penting lagi saat saya menyadari bahwa saya hanya butuh satu hal untuk bisa dicapai:

Seiring dengan bertambahnya usia, saya ingin bertambah dewasa dalam menyikapi segalanya.




P.S. Omong-omong, tinggi badan saya kalau ditambah wedges kira-kira 165 cm, dan walaupun sering dibilang kurus, tubuh saya proporsional loh ya. (Teruntuk: my pseudo brothers yang sering bikin joke tentang badan saya. Bukannya saya peduli, sih. .... oke, sedikit.)

P.P.S. Rentang tahun lahir angkatan saya di kampus adalah dari 1989 – 1994. Yak, nggak heran saya frustasi pengen kelihatan muda. Saya cuma anak tengah di tahun 1991.