Sunday, August 03, 2008

Dua Cewek

Bukan aku dan pacar Toma (kalau ada), bukan pula Kartini dan Megawati Soekarnoputri (nggak nyambung).
Dua cewek yang kumaksud adalah dua teman sekelasku yang dengan semena-mena ku umbar aibnya untuk ditulis di sini.

Pertama tentang Echa, my deskmate. Omong-omong, nama lengkapnya sama sekali—SAMA SEKALI—nggak ada sangkut pautnya dengan kata ‘echa’. Nama aslinya Orida Siahaan. Nah. Mau mikir sampai botak pun aku yakin nggak bakalan nemu tuh unsur ‘echa’.
Orangnya baik, ketawanya binal dan doyan ngutang jajan snek-snek. Orangya cukup sabar yah, mengingat dia duduk sama aku yang matanya buta jauh dan bersedia jadi ‘mata’ kalo nyatat pelajaran eksak.
Satu yang harus di spot dan termasuk alasan khusus kenapa aku harus membahas dia: dia teman dekat si Cemen.
Well, kalo mau diingat soal resolusi tahun ajaran baru, seharusnya aku emang nggak harus ngomongin tentang si Cemen lagi. Tapi yah, kali ini ceritanya agak-agak sadis gitu, jadi aku rasa layak lah untuk dibagi ke orang lain.

Cerita di mulai suatu pagi di mana Echa terserang flu yang menyebabkan suaranya hilang, dan hanya tersisa serak-serak nenek lampir.
Hari berjalan seperti biasanya, ada guru disetiap pelajaran dan ada keladi di setiap istirahat siang. Lalu si Cemen, yang entah kenapa di tahun ajaran ini lagi-lagi berada di bangku sebelah, mengeluarkan pas foto miliknya.
Aku langsung kabur, kali-kali aja dia minta tukaran foto (yang bukan tidak mungkin, karena baru-baru ini dia mengajak foto box rame-rame).
Bel masuk berbunyi, dan semua siswa dengan patuh duduk di bangku masing-masing. (boong banget)
Echa lalu berkata dengan suara nenek lampirnya, “Liat aku dapat apa.”
Aku penasaran dan terkesiap melihat apa yang ada di telapak tangannya.
Pas foto si Cemen!
“Jangan bilang kau tukaran poto sama dia,”kataku sangsi.
“Enggak lah,”jawabnya. “Mau kugambar-gambar.”
Ternyata Echa otaknya emang udah rusak. Karena kedengarannya menarik, maka aku pun ikut menggambari pas foto si Cemen tersebut.
Apa aku udah pernah bilang kalau si Cemen itu cantik? Kalau belum, biar kuralat, Cemen itu sangat cantik dan fotogenik. Sangat susah bagiku dan Echa untuk menggambarnya biar kelihatan jelek. (kok kedengarannya kayak cewek-cewek yang iri gara-gara temennya cantik, yah? Biar kuperjelas, aku dan teman-teman yang lain—bahkan yang cowok—nggak suka padanya bukan karena dia cantik. Tapi karena hal lain yang sudah pernah kuceritakan sebelumnya.)

Bel istirahat kedua berbunyi. Aku dan Echa dan Febi pun pergi jajan.
Saat lagi asyik makan, si Cemen menghampiri Echa.

(Ket: C=si Cemen, E=Echa, A=aku)
C: Cha, kau liat pas foto aku yang 4 x 6 nggak?
E: (Melirik ke aku, lalu menggeleng)
C: Masa sih, tadi kan kau pegang-pegang gitu.
E: (masih menggeleng) Memangnya buat apa?
C: Buat daftar Justitia, yang 4 x 6 tuh cuma itu.. Aduh gimana nih, Cha. Tadi sama kau, kan? (memelas)
E: Coba periksa lagi.
C: Udah, tapi nggak ada. Sama kau kan, Cha?
A: (menahan ketawa)
E: Nggak ada, bener, kok.
C: Plis lah Cha.. Cari di tas dulu kek.. Yah.. (memohon dengan sangat)
E: Nggak ada, bener deh.
C: Sini, kita cari dulu di tas kau. (menarik tangan Echa, mengajak ke kelas)
E: (menggeleng. Suaranya hilang sama sekali)
A: (ketawa ngakak)


Kali ini tentang I’a. Nama yang aneh. Sebenarnya nama lengkapnya Vika Febriyani, cuma karena orangnya sok imut gitu jadi dia maunya dipanggil I’a.
Hubungan kami baik sebetulnya, lagipula dia adalah pembaca setia blog ini dan selalu mengharapkan aku menulis posting baru. Tapi hubungan ini berubah menjadi saling mengejek dan mencemarkan nama baik sejak insiden Tom & Jerry dan dia mulai memanggilku Bunga Citra Lestari (dalam konteks mengolok).

Kadang-kadang aku berpikir, jangan-jangan setiap bersama I’a terjadi sebuah kesialan? (sadis)
Contoh nyatanya saat pergi berenang waktu itu.

Arlia menawarkan kami: Aku, Febi, Echa, Astri, dan Arta untuk berenang di Hotel Kapuas Palace secara gratis—catet yah, GRATIS—karena abang atau siapanya gitu lagi nginep di hotel itu.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan langka itu, kami pun berjanji untuk pergi hari Sabtu. (awalnya sih hari Kamis, tapi karena Arlia musti ngajar les, jadi dia cuma bisa pas weekend.)
Lalu berceriteralah kami kepada I’a dan mengajaknya ikut serta.
Keputusannya, Sabtu sore ngumpul di sekolah, lalu pergi sama-sama pake mobil Santi.

Ada insiden ngaret-ngaretan khas orang Indonesia yang dilakukan oleh aku dan Arta yang selesai dari JS, tapi akhirnya kami pun berangkat.
Adegan masuk mobil bahkan penuh sensasi. Ada yang nggak sengaja nginjek jok lah, apa lah, sampe teriak-teriak nggak jelas.
Tapi akhirnya kami bertujuh pun berangkat ke hotel dengan mulus.

Sesampainya di hotel setelah kehebohan memarkir mobil, kami sedikit curiga melihat banyak ucapan selamat pernikahan.
“Jangan bilang ada kondangan,”kataku. Enam teman yang lain sama curiganya.
Arlia lalu turun dan berinisiatif bertanya pada pihak hotel.

Saat Arlia kembali (asal mau tahu, selama Arlia pergi aku terjepit di antara jok yang dilipat) kami sudah tahu jawabannya.
“Iyah. Acaranya dimulai jam lima, tapi sekarang stafnya udah mulai masangin lilin,”ucapnya.
Berpikir bahwa nggak mungkin kita berenang sekarang dan nggak bisa keluar gara-gara tepian kolam dipasang lilin dan terpaksa memberikan atraksi sekelas olimpiade, maka kami memupuskan harapan kami berenang gratis.
Setelah nongkrong di dalam mobil yang parkir di depan kolam renang hampir sejam, kami pun pulang sambil mengutuk Anita & John, pasangan yang mengadakan resepsi.

Sebenernya nggak ada hubungannya dengan I’a yah, tapi karena kesal dengan I’a ya anggap aja ini kesalahan dia.

Kemaren sore aja dia malu-maluin.
Ceritanya hari itu adalah hari pertama dia ikutan bimbel di JCB. Pelajaran pertamanya Kimia.
Selesai Bu Sin (atau siapapun nama Ibu itu) menjelaskan satu soal, Astri dan Ovi baru datang.
Mendengar suara sandal diseret, tiba-tiba ia tersadar.
“Tunggu,”ucapnya, “memangnya masuk kelas pake sepatu?”
Yang lain mengiyakan.
“Benar lah? Aduh, gimana nih, kamek* lepas sepatu!!”



*bahasa daerah, sebagai kata ganti orang pertama