Monday, September 14, 2015

Dunia Alisa

Apa sih susahnya tersenyum?

Galih menatap punggung Alisa yang begitu saja melewatinya tanpa basa-basi. Jangankan tersenyum, bahkan untuk menatap matanya saja gadis itu tidak mau. Rasa-rasanya baru kemarin Galih berhasil membuat Alisa tertawa, tetapi hari ini sikapnya kembali seperti biasa. Dingin dan tak peduli. Ia berjalan sendirian melewati kerumunan di lorong dengan kepala tegak dan tatapan lurus ke depan. Seolah Galih dan seisi kampus hanya pemeran figuran tanpa raut muka di film bisu ciptaannya, dengan Alisa sendiri sebagai pemeran utama.

Sudahlah, batinnya. Kalau gadis itu saja tak peduli, mengapa Galih harus?

Ia menghela napas. Sayang sekali. Padahal setelah dua setengah jam percakapan panjang tentang segala hal bersama Alisa kemarin siang saat terjebak hujan, ia terlanjur terpesona. Gadis yang tampak tak tersentuh itu ternyata seorang teman berbicara luar biasa, bahkan tanpa secangkir kopi dan sebatang rokok atau dua untuk doping seperti standar percakapan rutin dengan teman-teman sepahamnya. Seandainya tidak mengalaminya sendiri, Galih hampir tidak percaya dari dua setengah jam itu, ia tidak sedetikpun merasa bosan. Ia berbicara dan mendengarkan sama antusiasnya. Bonus menatap wajah Alisa yang semakin dilihat semakin manis saja. Tahu-tahu, Galih ingin mengenalnya lebih jauh.

Maka saat hujan mereda dan percakapan terpaksa dijeda, Galih-lah yang paling kecewa. Satu-satunya penghiburan yang ia dapat adalah kenyataan bahwa esok hari ia masih bisa bertemu Alisa lagi.

Tetapi hari ini Galih baru sadar; percakapan di hari hujan itu hanya ketidaksengajaan yang eksepsional. Langit cerah sekarang. Dan Alisa tidak sedang berbagi dunia.

***

Dari jarak jauh, diantara kerumunan mahasiswa, bahkan hanya dengan bagian punggung yang menghadap kearahnya, Alisa masih bisa mengenali Galih. Mungkin karena tinggi badannya yang tidak normal. Atau rambutnya yang terkadang berantakan. Atau tas punggungnya yang lusuh, tapi masih tampak mahal. Tetapi mungkin lebih karena Galih punya semacam aura yang Alisa sudah hapal sejak hari pertama berkenalan.

Galih adalah lelaki tipikal. Tinggi dan percaya diri, punya lingkup pertemanan luas, dan beraroma asap tembakau. Awalnya, Alisa berpikir begitu.

Tetapi siapa sangka ia dan Galih bisa mendiskusikan banyak hal. Berawal dari aroma hujan yang menghambur hingga entah bagaimana sampai pada politik kampus berujung ke sejarah Republik Indonesia. Terdengar gila, tetapi untuk seseorang yang awalnya takut terjangkiti Tubercolosis oleh Galih, mengapa Alisa seolah membukakan pintu masuk ke dunianya?

Mungkin, ia hanya terkejut ketika Galih dengan sopan menyapanya saat berteduh dari hujan hari itu. Galih yang berusaha memulai percakapan, namun bersiap-siap berhenti apabila ia terlihat tak nyaman. Galih yang dengan tenang  mendengarkan pendapatnya, meskipun dari matanya Alisa bisa melihat bahwa isinya kepalanya sudah dipenuhi bantahan-bantahan. Galih yang jago melucu tapi tidak kasar. Galih yang.... ah! Alisa bingung, karena mendadak, jantungnya berdebar lebih kencang. Lalu seperti orang bodoh, matanya tergesa mencari di tengah kerumunan. Sosok tinggi berambut berantakan itu masih ada.

Baiklah, batinnya. Mungkin Alisa hanya perlu menyapanya sekali, dan percakapan seperti kemarin akan terulang kembali.

Semoga ia tidak terlalu grogi hingga kehilangan kepercayaan diri.

***