Tuesday, October 20, 2015

Momentum

Tahu-tahu, sore berubah menjadi senja. Merah jingga yang sebentar. Lalu petang datang.

"Sana sholat Maghrib dulu."

"Iya. Di sana...?"

"Masih terang benderang. Teleponnya ditutup dulu aja, nanti baterenya habis."

"Hu um. Nanti kutelpon lagi ya."

"Siap."

***

Pukul satu dini hari. Ribut burung hantu dan sesekali tiupan angin pada rerimbun semak di belakang rumah menimbulkan siul-siul panjang. Merdu, sekaligus mencekam.

"Belum tidur?"

"Acara di TV lagi bagus, tanggung ah."

"Memangnya ngerti mereka ngomong apa?"

"Sedikit. Kalau ada yang lucu aku udah bisa ikut ketawa."

"Ih kirain. Kan bisa bantu-bantu jadi tukang terjemahin drama."

"Kamu sempat nonton drama?"

"Ya iyalah. Nggak ada hiburan lain."

"...."

"Hoaam. Udah ah, ngantuk. Besok jaga pagi."

"Maaf, ya."

"Hm?"

"Memang harusnya aku nggak usah ambil beasiswanya."

"...."

"...."

"Dah."

"Eh--"

Satu kali sentuh dan sambungan terputus. Suara siul panjang kembali datang. Waktunya menarik selimut dan terlelap.

***

"Perang?"

Keringat dingin. Ritme detak jantung semakin cepat. Bernapas pelan-pelan, satu-dua-hembus.

"Rudal balistik ke pusat kota. Korbannya..."

Tidak tahu. Tidak mau tahu.

Langit mendung kelabu. Angin kencang. Sudah satu jam tapi masih belum turun hujan.

***

"Halo?"

Hening.

Jas putih terlipat rapi di atas koper. Di atas paspor. Di atas visa dan tiket pesawat dan bukti reservasi hotel.

"Aku memutuskan berhenti dulu. Lanjutnya tunggu kamu lulus dua tahun lagi saja. Sendirian nggak enak."

Malam ini tidak ada dekut burung apapun. Tidak pula siulan malam, atau sekadar gemerisik semak.

"Sudah telat, ya?"

Semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama: peluru kendali dari Korea Utara menyerang Korea Selatan. Korban tewas 184 orang. Satu orang warga negara Indonesia.

Kau tentu tahu siapa.

Monday, September 14, 2015

Dunia Alisa

Apa sih susahnya tersenyum?

Galih menatap punggung Alisa yang begitu saja melewatinya tanpa basa-basi. Jangankan tersenyum, bahkan untuk menatap matanya saja gadis itu tidak mau. Rasa-rasanya baru kemarin Galih berhasil membuat Alisa tertawa, tetapi hari ini sikapnya kembali seperti biasa. Dingin dan tak peduli. Ia berjalan sendirian melewati kerumunan di lorong dengan kepala tegak dan tatapan lurus ke depan. Seolah Galih dan seisi kampus hanya pemeran figuran tanpa raut muka di film bisu ciptaannya, dengan Alisa sendiri sebagai pemeran utama.

Sudahlah, batinnya. Kalau gadis itu saja tak peduli, mengapa Galih harus?

Ia menghela napas. Sayang sekali. Padahal setelah dua setengah jam percakapan panjang tentang segala hal bersama Alisa kemarin siang saat terjebak hujan, ia terlanjur terpesona. Gadis yang tampak tak tersentuh itu ternyata seorang teman berbicara luar biasa, bahkan tanpa secangkir kopi dan sebatang rokok atau dua untuk doping seperti standar percakapan rutin dengan teman-teman sepahamnya. Seandainya tidak mengalaminya sendiri, Galih hampir tidak percaya dari dua setengah jam itu, ia tidak sedetikpun merasa bosan. Ia berbicara dan mendengarkan sama antusiasnya. Bonus menatap wajah Alisa yang semakin dilihat semakin manis saja. Tahu-tahu, Galih ingin mengenalnya lebih jauh.

Maka saat hujan mereda dan percakapan terpaksa dijeda, Galih-lah yang paling kecewa. Satu-satunya penghiburan yang ia dapat adalah kenyataan bahwa esok hari ia masih bisa bertemu Alisa lagi.

Tetapi hari ini Galih baru sadar; percakapan di hari hujan itu hanya ketidaksengajaan yang eksepsional. Langit cerah sekarang. Dan Alisa tidak sedang berbagi dunia.

***

Dari jarak jauh, diantara kerumunan mahasiswa, bahkan hanya dengan bagian punggung yang menghadap kearahnya, Alisa masih bisa mengenali Galih. Mungkin karena tinggi badannya yang tidak normal. Atau rambutnya yang terkadang berantakan. Atau tas punggungnya yang lusuh, tapi masih tampak mahal. Tetapi mungkin lebih karena Galih punya semacam aura yang Alisa sudah hapal sejak hari pertama berkenalan.

Galih adalah lelaki tipikal. Tinggi dan percaya diri, punya lingkup pertemanan luas, dan beraroma asap tembakau. Awalnya, Alisa berpikir begitu.

Tetapi siapa sangka ia dan Galih bisa mendiskusikan banyak hal. Berawal dari aroma hujan yang menghambur hingga entah bagaimana sampai pada politik kampus berujung ke sejarah Republik Indonesia. Terdengar gila, tetapi untuk seseorang yang awalnya takut terjangkiti Tubercolosis oleh Galih, mengapa Alisa seolah membukakan pintu masuk ke dunianya?

Mungkin, ia hanya terkejut ketika Galih dengan sopan menyapanya saat berteduh dari hujan hari itu. Galih yang berusaha memulai percakapan, namun bersiap-siap berhenti apabila ia terlihat tak nyaman. Galih yang dengan tenang  mendengarkan pendapatnya, meskipun dari matanya Alisa bisa melihat bahwa isinya kepalanya sudah dipenuhi bantahan-bantahan. Galih yang jago melucu tapi tidak kasar. Galih yang.... ah! Alisa bingung, karena mendadak, jantungnya berdebar lebih kencang. Lalu seperti orang bodoh, matanya tergesa mencari di tengah kerumunan. Sosok tinggi berambut berantakan itu masih ada.

Baiklah, batinnya. Mungkin Alisa hanya perlu menyapanya sekali, dan percakapan seperti kemarin akan terulang kembali.

Semoga ia tidak terlalu grogi hingga kehilangan kepercayaan diri.

***

Saturday, March 28, 2015

Unlucky

I was sick for a week. Chicken pox. In the age of twenty-three. In the middle of intensive training in which I need at least 80% attendance and have exam every Monday. And all of this happened when I was still in the Capital, living faraway from my family.

I guess I couldn't thank my lucky stars for that.

When I discovered I have red rash all over my body after having fever for two days straight, I started to freak out. It was Friday. I already had the plan to hang out: sort of small reunion with my college friends. My best friend from Yogyakarta also happened to have a training in the Capital too, so we decided to meet up and hang like we used to do back in the days. Then I went to doctor, hoping it wasn't as bad as I thought. But the young, handsome doctor told me with his charming smile that it was indeed a chicken pox. I should have a rest for two or three days, he said. But I said I didn't have that much of a time, that there's this exam I had to face in Monday and those class I couldn't just skip. So the doctor told me it was okay to still come to class but I had to wear mask. Honestly, I was relieved. At least I wouldn't have to redo my training next year because I clearly failed if I didn't attend the exam.