Hujan yang telah kuamati selama lima belas menit penuh dari balik jendela kaca tebal kamarku akhirnya berhenti, tetapi rasanya aku terlanjur enggan untuk beranjak. Udara masih dingin dan lembab, dan pelukan selimut di tubuhku terlalu nyaman untuk dilepaskan. Namun, lengkingan ponsel yang bergetar di tangan mencegahku untuk meringkuk lebih dalam di bawah selimut dan bergelung di sana hingga pagi menjelang.
"Halo?"
"Hujan sudah berhenti. Cepat kemari atau akan ada kekacauan besar, yang dapat kupastikan penyebabnya adalah kau."
Rio tidak pernah mengerti adab berbicara di telepon, bahkan untuk sekedar berkata 'halo'. Aku mendesah, menendang selimut dengan kakiku hingga terlempar ke lantai, dan merasakan udara dingin menyergap tubuhku yang hanya berbalut daster tidur kesayangan. "Baiklah, dua puluh menit lagi aku sampai. Itupun kalau jalanan lancar. Kau tahu, seperti biasa hujan selalu mendatangkan kemacetan."
"Omong kosong. Kau akan sampai dalam lima belas menit. Sudah kusuruh orang menjemputmu sejak hujan berhenti tadi."
"Orang?" Aku menelan ludah. Orang-orang Rio tidak pernah membuatku merasa nyaman. "Biar kutebak, Bobby?"
"Yep," jawabnya singkat, lalu dengan satu klik cepat memutuskan sambungan.