Friday, December 26, 2014

Dua Puluh Tiga dan Selanjutnya

Jika memang harus dikelompokkan, mungkin saya akan masuk dalam kategori seorang pesimis. Lebih sering daripada tidak, saya membayangkan hal-hal yang akan terjadi masa mendatang dalam kondisi terburuknya. Sebagian karena memang saya tidak memiliki kemampuan dalam membuat rencana; kebanyakan 'rencana' yang saya buat punya terlalu banyak lubang sehingga tanpa perlu menjadi seorang pesimis pun saya akan tahu hal tersebut tak mungkin berjalan mulus. Sebagian lagi karena dalam dua puluh tahun lebih hidup saya di dunia, rasanya tidak pernah sekalipun hal baik yang saya bayangkan terjadi tepat seperti kenyataan. Dan dengan bijaknya saya menyimpulkan bahwa lebih baik mempersiapkan diri untuk seburuk-buruknya keadaan daripada harus ditampar kenyataan ketika hal-hal baik di angan hanya berujung kekecewaan.

Sisi baiknya, saya adalah orang yang positif. Sungguh! Beri saya waktu lima belas sampai tiga puluh menit, dan saya akan baik-baik saja dari suasana hati buruk yang mungkin menyusahkan orang-orang di sekitar. Waktu tersebut saya gunakan untuk menenangkan hati yang berpikir tahu segalanya padahal tidak, dan memaksa logika bekerja untuk menemukan sisi baik atau sekadar meyakinkan diri bahwa apapun yang saya risaukan sesungguhnya tidak berarti apa-apa. Tiga puluh menit, atau bahkan sepuluh detik. Tak heran saya sering dituduh berkepribadian ganda.

Sunday, October 19, 2014

Spectrum

I almost didn't recognize him.
Yes, he was wearing his signature plaid shirt, jeans, and sneakers. But they weren't the ones so dirty I had to sneak into his room to throw those abominations to the nearest laundy service few years ago. Actually, his bold colored sneakers looked really fancy, and I was sure it must cost him grand.
And something about his face; it seemed brighter. He still did have the scruff along his jawline--he pledged he wouldn't shave them off otherwise he would look underaged--but instead of growing uncontrollably around his face like a homeless man, he trimmed it nicely. Also, he ditched the old fashioned glasses and maybe wore lenses in exchange, because I could clearly see his emerald green eyes; greener than I ever remember.

The thing that gave him away was his smile. Oh, those smiles. I used to do even the silliest things to get those smiles out of him. Now he gave it easily to just anyone, including me, some random girl he accidentally looked in the eyes at a long bathroom line. He didn't recognize me. Yet.

So I decided to break the ice first.

Wednesday, July 30, 2014

Snippet #2

Kasus kali ini berhasil kami selesaikan jauh lebih cepat daripada yang kukira. Kalimat-kalimat ancaman dari Rio padaku di telepon tadi pagi membuatku membayangkan akan menghadapi sebuah kasus rumit dengan klien terburuk yang pernah ada.

Nyatanya, selain fakta bahwa klien kami adalah seorang pemilik perusahaan tambang yang luar biasa kaya raya dan gampang tersulut emosinya, aku hanya perlu berbincang dengannya selama kurang lebih 30 menit sebelum Rio dapat menyimpulkan analisis dan menemukan benda yang semalaman ini ia cari. Ya, hanya sebuah insiden kehilangan barang biasa. Meski tak dapat dipungkiri barang yang hilang adalah sebuah cincin berlian yang bila diuangkan dapat membayar biaya sewa kamar di rumah Nyonya Tan selama kurang lebih 20 tahun, dan imbalan jasa yang kami terima untuk pekerjaan ini mampu membuat Rio kehilangan wajah sok tenangnya selama sepersekian detik pertama si pengusaha mengulurkan cek yang ditandatanganinya pada kami.

Aku tak mampu menghapus senyum di wajahku. Hari masih pagi, udara yang terasa sejuk karena hujan dini hari membuat kaku wajahku dalam ekspresi itu. Sekilas aku melirik Rio yang berjalan dengan langkahnya panjang-panjang di sampingku. Ia selalu terlihat rileks setiap kali sebuah kasus berhasil diselesaikan dengan mulus, dan meski aku tidak melihat senyum di bibirnya, aku yakin bisa melihat pancaran rasa senang dan optimisme dibalik kacamata ber-frame tebalnya. Rio jelas bukan orang yang berorientasi uang, tapi bukan berarti ia tidak akan senang bila menerima selembar cek yang dapat dicairkan menjadi setumpuk besar uang untuk membiayai kegiatan operasional kami.

Aku memutuskan untuk bertanya selagi Rio masih dalam mood yang bagus. "Jadi, makan-makan di restoran mahal atau pesta barbekyu?"

Rio menoleh dengan ekspresi wajah seakan baru menyadari bahwa aku ada di sampingnya, lalu melambatkan langkah. Aku bersyukur karena tak lagi harus berjalan cepat, bahkan hampir berlari, hanya untuk bisa menyamai langkahnya.

"Maksudmu?"

"Kita baru menyelesaikan kasus gampang dengan bayaran luar biasa dan hari ini pun masih panjang. Tidakkah menurutmu kita harus merayakannya?"

Ia tampak berpikir sebentar. "Jadi kau menyarankan kita perlu makan di restoran mahal, berdua?"

Tuesday, June 10, 2014

Skip and Fast Forward

It's June already! A lot can happen in a month, and actually, that's the very reason I leave out May in my blog archive this year.

First, I'm almost officially an official. Okay, the word 'almost' doesn't sound reassuring at all, does it? But to me, who has been a sad little girl without a certain status these past few months, it is a big thing. Big enough to make me feel a wee bit euphoric when holding a mere paper with my name and my status written there. 

Secondly, I no longer work in the office where I have finished my on-the-job training. I get placed in the regional office that's even closer to my house than the previous one, but surprisingly, I do not feel all that happy. People keep saying I'm lucky to still have the opportunity to stay in my hometown, or the regional office has fewer workloads so I could relax. Correct me if I'm wrong, but most of the time, feeling has nothing to do with logic, doesn't it? I keep counting all the benefit I can get, but the truth is, I can't get myself to feel excited. I don't know, maybe I'm just being ungrateful, or maybe I just have to give it time. Loving is a process, I know that much too.

Thirdly, what is it with all the peer pressure? Two of my close friends are ready to settle down this year. The girls with whom I used to do silly things together now starting their own family. Don't get me wrong, I'm happy for them, really, and I always wish the best for them in life or after. But being an unmarried girl in an adult environment only to be added by news of everybody gets married unless me, that's one pain in the stomach I could not avoid. Not that I want to get married anytime soon either. I'm just that girl who looks at greener grasses only to feel envy as hell. Haha. 

Bottom line, my life is great. It always is, but sometimes I need to write down things in public blog under pseudonym to reset my mindset and realize that.

"...But perhaps you hate a thing and it is good for you; and perhaps you love a thing and it is bad for you. And Allah Knows, while you know not." [Quran, Al-Baqarah 216}

Tuesday, April 01, 2014

Stockholm Syndrome #2

Aku tahu bahwa tidak sopan untuk menatap seseorang lebih lama dari tiga detik, tetapi aku tak tahan untuk tidak memperhatikan sepasang mata milik Axel yang sedang fokus menyetir dan memperhatikan jalan. Warnanya hijau. Berkilau cemerlang seperti warna gundu yang sering kumainkan saat masih kecil dulu. 

"Ada apa di wajahku?" tanya Axel, tanpa melirik.

Cepat-cepat kualihkan pandanganku ke jalanan. Langit masih kelabu dan keping salju mulai turun satu-satu. "Apa kau akan membawaku menemui Sam sekarang?"

Ia mengernyit, entah kenapa tampak tak begitu senang. "Kau ingin menemuinya sekarang?"

"Mm, tidak tahu. Maksudku, aku hanya bertanya."

"Oh."

Axel tidak menjawab pertanyaanku.

Sunday, March 23, 2014

Snippet

Hujan yang telah kuamati selama lima belas menit penuh dari balik jendela kaca tebal kamarku akhirnya berhenti, tetapi rasanya aku terlanjur enggan untuk beranjak. Udara masih dingin dan lembab, dan pelukan selimut di tubuhku terlalu nyaman untuk dilepaskan. Namun, lengkingan ponsel yang bergetar di tangan mencegahku untuk meringkuk lebih dalam di bawah selimut dan bergelung di sana hingga pagi menjelang. 

"Halo?"

"Hujan sudah berhenti. Cepat kemari atau akan ada kekacauan besar, yang dapat kupastikan penyebabnya adalah kau."

Rio tidak pernah mengerti adab berbicara di telepon, bahkan untuk sekedar berkata 'halo'. Aku mendesah, menendang selimut dengan kakiku hingga terlempar ke lantai, dan merasakan udara dingin menyergap tubuhku yang hanya berbalut daster tidur kesayangan. "Baiklah, dua puluh menit lagi aku sampai. Itupun kalau jalanan lancar. Kau tahu, seperti biasa hujan selalu mendatangkan kemacetan."

"Omong kosong. Kau akan sampai dalam lima belas menit. Sudah kusuruh orang menjemputmu sejak hujan berhenti tadi."

"Orang?" Aku menelan ludah. Orang-orang Rio tidak pernah membuatku merasa nyaman. "Biar kutebak, Bobby?"

"Yep," jawabnya singkat, lalu dengan satu klik cepat memutuskan sambungan.

Friday, March 07, 2014

Pelangi


Kamu tahu mengapa saya suka pelangi? Bila belum, mari saya bagi ceritanya padamu.

Pada suatu hari, sehabis bermain lompat tali dengan teman-teman sebelah rumah di pekarangan sekolah seberang jalan, saya mencoba menjadi sedikit nakal. Ibu bilang saya sudah harus pulang sebelum jam tiga, tetapi saya masih belum puas karena anak-anak tetangga mau lanjut bermain petak umpet di lorong-lorong kelas yang terkunci. Sekali itu saja, pikir saya. Saya bosan jadi anak yang paling bodoh dalam permainan karena terlalu banyak diam di rumah dan duduk membaca.

Seorang yang mendapat giliran jaga mulai menghitung sampai seratus dengan kecepatan mobil formula. Saya dan yang lainnya buru-buru berlari mencari tempat persembunyian. Beberapa memilih bersembunyi di balik pintu. Atau di kantin yang gelap. Saya tak suka tempat biasa. Saya melompat dari lantai panggung bangunan sekolah dan bersembunyi di bawah lantai. Mereka bilang di bawah ada biawak dan ular sawah, tetapi saya tidak takut. Setahu saya biawak tidak makan manusia, jadi menurut saya makhluk itu hanya sekedar cicak berukuran besar dan panjang. Ular sawah? Saya tidak percaya. Tanah di bawah gedung sekolah lebih cocok disebut rawa dibandingkan sawah yang ada padinya.

Thursday, January 16, 2014

What A Day!

I made stupid mistake today and it's kinda fatal. As in, fatal for me, because I can assure you I did nothing to cause loss of our precious state revenue. But still, it's really stupid and no intelligent human being would make such mistake therefore I must not qualified as an intelligent human being which means I have low IQ and don't deserve a position in this ministry. *crying*

Okay, I'm exaggerating much.

But I ain't lying about how I feel really terrible after committing this atrocity. I can't get it off my mind; it's like being in love but in the cruelest way. (What?)

Writing about it may or may not make me feel better, so I take the chance (between easing my heart and embarrassing myself in front of my dearest almost-non-existent blog readers). And somehow I do feel better. Slightly... but definitely better.

(Maybe it's not the writing, maybe it's the rants, but whichever works for me.)