Ritual yang kulakukan setiap mengawali hari adalah lewat di depan rumahmu dengan kedok pura-pura lari pagi. Tidak luput; setiap pukul enam kurang seperempat aku akan melewati blok rumahmu, setelah mengelap semua keringat di tikungan sebelumnya, berlari dengan setengah kecepatan normal ketika mendekati rumah berpagar hitam abu-abu.
Aku tidak melihatmu di sana, tentu saja. Kamu mungkin masih tergolek malas berselimut di kamarmu yang bertirai tebal dan pendingin ruangan disetel ke suhu paling minimal. Kamu tidak akan tahu bahwa hari sudah pagi menjelang siang, dan akan ada seorang gadis berambut kuncir kuda yang berkali-kali berlari melintas, diam-diam melirik jendela di lantai dua dari balik bahu. Itu aku, tetapi kamu tidak tahu. Sebaliknya, aku selalu tahu tentang aktivitasmu, tentang pesta-pesta sepanjang malam yang rutin kamu adakan tiap malam minggu. Termasuk minuman yang kamu sediakan, gadis-gadis yang kamu bawa masuk kamar, dan belakangan, kudengar pula transaksi tablet-tablet terlarang.
Betapa kejamnya waktu. Lima belas tahun berlalu. Ia mengubah seseorang yang dulu kukenal baik seakan pernah berbagi rahim ibu menjadi makhluk asing yang bahkan tak berbagi dunia yang sama lagi. Padahal aku masih yang dulu, aku masih menunggumu berdiri di depan rumahku mengetuk pintu.
***