Friday, September 07, 2012

Conundrum

Kamu terbangun dalam keadaan dingin. Pendingin ruangan masih menyala dengan suhu paling minimal. Kamu tidak pernah suka udara yang terlalu dingin, tetapi entah kenapa kamu menyetelnya seperti itu. Kamu bangkit duduk dengan satu gerakan mulus, mengucek mata, dan mendapati sisi sebelah kiri tempat tidur king size-mu kosong, rapi, dan menyisakan sepasang bantal guling yang tak tersentuh. Seingatmu tempat tidurmu tidak pernah serapi itu sebelumnya.

Kamu merasa pusing. Kamu memutuskan untuk mencuci wajahmu dan menggosok gigi terlebih dahulu sebelum sarapan; sepotong sandwich telur keju terdengar menggiurkan. Sejenak kamu menatap cermin. Lingkaran hitam di sekitar matamu terlihat mengganggu. Bila masih tersisa cukup waktu sebelum berangkat kerja, kamu mempertimbangkan untuk mengompres matamu dengan mentimun atau es batu.

Mesin pembuat kopi terletak di salah satu sudut di dapur tetapi kamu tidak tergerak untuk menggunakannya. Kamu lebih suka menyeduh kopi instan kemasan yang kamu beli dalam jumlah besar, lalu kemudian menambahkan non-dairy creamer banyak-banyak hingga warna kopimu menjadi hampir sepucat susu. Kamu menyeruputnya sambil membuka kulkas, mengambil bahan-bahan untuk sandwich telur kejumu, namun tertegun saat melihat ada sekaleng kornet di rak kulkasmu. Kemudian kamu membuka freezer dan mendapati sebungkus burger daging sapi yang sudah terbuka berada di dalamnya. Kamu hampir tidak mempercayai penglihatanmu. Sudah empat tahun terakhir sejak kamu memutuskan untuk menjadi vegetarian, meski kamu masih tidak bisa menahan godaan akan produk telur dan susu. Tiba-tiba kamu merasakan kepalamu pusing kembali.
“Kamu terlihat pucat. Mungkin kurang zat besi. Kamu yakin tidak mau daging burgerku?”
Matamu membesar. Suara apa tadi?  Ya Tuhan, batinmu. Kamu pasti benar-benar kurang tidur hingga mendengar suara-suara aneh dalam kepalamu. Apa sebaiknya kamu izin dari tempat kerjamu hari ini? Kamu bisa menggunakan jatah cutimu satu hari. Rasa-rasanya jatah cutimu setahun ini belum sempat tersentuh sama sekali. Ya, ya. Mungkin lebih baik kamu mengambil cuti.

Dengan cekatan kamu membuat sandwich, lapis demi lapis, tidak lupa menuangkan banyak-banyak saos sambal di atas telur mata sapi. Setelah selesai, kamu menjepit sandwich di mulutmu lalu kembali ke kamar tidur untuk mengambil ponsel yang masih kamu tinggalkan di bawah bantal.

Tetapi.... 18 missed calls? 31 messages received? Ada apa ini? Apa kamu baru melewatkan suatu hal besar yang sedang terjadi?

Namun, belum sempat kamu menekan speed dial nomor 1—milik sahabat baikmu—tiba-tiba layar ponselmu berkedip menandakan ia sedang menghubungimu. Ragu-ragu, kamu menerima panggilan itu dan menempelkan ponselmu ke telinga.

“Halo?”

“Rin? Kamu baik-baik saja?” Gadis itu tiba-tiba berteriak di sambungan teleponnya, membuat telingamu berdenging selama beberapa detik. Benar-benar berlebihan, seolah-olah sedang ada sesuatu yang buruk terjadi padamu.

“Ya... aku baik-baik saja.” Tiba-tiba kamu teringat rasa pusing di kepalamu yang hilang timbul tidak terkendali. “Eh, tidak juga. Karena kebetulan kamu meneleponku, bisa tolong sekalian sampaikan izin cutiku pada Pak Kepala Bagian? Aku sedang merasa tidak enak badan hari ini...”

Gadis itu terdiam. Hei, dia tidak mungkin berpikir kamu sedang berbohong, kan?

“Aku mengerti, Rin. Tetapi syukurlah kamu mengangkat teleponmu akhirnya. Dua hari ini kami semua benar-benar mencemaskanmu.”

Dua hari? Dua hari apa?

Kepalamu berdenyut dan terasa semakin sakit.

“Tetapi Rin, cutimu kan sudah habis untuk.... yah, kamu tahu sendiri. Bahkan dua hari ini aku sibuk menyakinkan Pak Kepala Bagian bahwa kamu benar-benar dalam kondisi terburukmu dan tidak mungkin memaksakan diri untuk datang ke kantor. Entahlah hari ini...”

Ada apa dengan kepalamu? Dan kenapa kamu tidak mengerti apa yang dimaksud gadis itu? Kamu menutup telepon dengan sepihak, lalu menyambar handuk yang tergantung dan buru-buru masuk ke kamar mandi. Kamu butuh mendinginkan kepala.

Dan kamu baru menyadarinya. Peralatan mandimu tiba-tiba mengganda. Sepasang sikat gigi.  Dua botol shampo. Sebotol after-shave.... A-after-shave?
“Aku paling suka kalau kamu habis cukuran.”
“Tambah ganteng?”
“Mm, ya, itu juga sih... tetapi kamu jadi wangi. Rasanya betah mencium kamu lama-lama.”
Siapa?
“Kamu menyia-nyiakan makanan-makanan paling lezat di dunia. Kamu yakin nggak mau berhenti jadi vegetarian?”
“Nggak.”
“Bahkan kalau aku memohon dan berlutut di kakimu?”
“Hahaha, tetap enggak.”
Sebentar, rasanya kamu tahu...
“Bagaimana rasanya?”
“Mm.”
“Biasa saja?”
“Mmmmm.”
“Oke, terserah, silakan kembali minum kopi instanmu yang nggak sehat itu...”
“Rei.... aku serius. Ini kopi terenak yang pernah aku minum. Aku berjanji akan berhenti minum kopi instan selama kamu membuatkan kopi seenak ini setiap hari untukku.”
Rei? Tiba-tiba jantungmu melewatkan satu degupan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipismu.
“Kenapa menyetelnya sedingin ini? Aku nggak suka dingin, Rei...”
“Supaya kamu tidak punya alasan untuk melepaskan pelukanku.”
Semuanya berkelebat cepat seperti kereta api yang hanya melintas di stasiun tempat ia menunggu setiap pagi. Rei, Rei, Rei...

Kecelakaan itu... mobilnya yang terbalik... darah, banyak sekali darah... dan teriakanmu yang tak henti-hentinya saat menyadari bahwa itu dia, Rei, Rei-mu yang paling kamu cinta...

Lalu ada pemakaman. Orang-orang yang menangis. Bisikan-bisikan yang mereka harapkan bisa menguatkan, tetapi bagimu hanya omong kosong yang tidak artinya. Dan air matamu yang sudah tidak bisa jatuh. Dan lidahmu yang kelu. Dan sebagian dirimu yang ikut terkubur di dalam tanah dibawah nisan itu.

“Rei...”

Kamu berlari keluar, menuju ruang keluarga. Apartemen yang baru saja kamu tempati bersama Rei, yang cicilannya masih harus kalian tanggung lima tahun lagi, tiba-tiba terasa terlalu luas dan lengang. Potret kalian berdua tergantung di sana. Diambil seminggu yang lalu, saat kalian sibuk berbulan madu.

Ya Tuhan, kalian baru saja bersama satu minggu. Tetapi Rei sudah pergi.

Kini hanya tinggal kamu sendiri.