Monday, April 09, 2012

The Untranslated Code

Bian merutuki kakinya yang mulai terasa perih. Ya, tentu saja perih. Perjalanan sejauh lebih dari 20 mil harus ia tempuh dengan berjalan kaki, yang hanya terbungkus sepatu kanvas lusuh tanpa kaus kaki melapisi. Namun perjalanan masih terlalu panjang dan lama tanpa perlu ditambah-tambahi sesi untuk mengeluh. Bian cuma bisa meringis, menggerigiti bibir, yang kering terkena angin debu yang berhembus setiap 15 menit sekali, dan mencoba mempercepat langkahnya.

Ia harus tepat waktu. Jika tidak, maka semua akan berakhir.

Segalanya.

***

Rumit

Bukannya tidak ingin bicara, tetapi tidak bisa. Tidak dengan jutaan mata di seantero negeri tertuju padanya. Entah senang atau sedih, aku tidak mengerti, saat aku menyadari bahwa aku terlanjur jatuh cinta pada.... katakanlah, seorang bidadari.

"Artikel tentangmu berderet-deret muncul hari ini," godaku, saat kami akhirnya punya kesempatan untuk makan siang berdua, setelah sekian lama.
"Tentangmu juga," balasnya. "Program variety show terbaru kalian ternyata sukses besar. Bukannya aku nggak menduga sebelumnya, sih."
"Oh ya? Memangnya kamu nonton juga?"
Tiba-tiba dia terdiam, menghentikan tusukan garpu di tenderloin steak nya. "Aku liat episode itu. Waktu kamu bilang... kamu mau seseorang jadi bintang tamu."
Seseorang. Oh. Aku teringat.
"Oh, itu. Episode minggu lalu." Bodoh. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi.
Selanjutnya, acara makan siang ini hampir terasa tidak berarti lagi. Hanya diam, dan mungkin sedikit basa-basi yang bahkan tidak kuingat tentang apa. Tidak penting. Tidak ada lagi yang terasa penting, selain mengembalikan senyuman di wajah kekanakannya. Aku sudah menghancurkan siangnya hari itu.


Hubungan ini rumit. Seperti ia yang merasa tidak punya hak untuk sekedar mengucapkan 'aku cemburu', tidak pula aku punya hak untuk menjelaskan apapun. Kesalahpahaman mengambang. Aku ingin melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu.

"Kamu selalu menyebutkan nama orang itu di setiap interview. Tipe ideal. Lelaki idamanmu," ucapku akhirnya. Menyiramkan minyak pada api, aku tahu, tetapi itu karena aku sudah kehabisan ide untuk memancingnya bicara. 
Ia terlihat tidak senang. Namun sedetik kemudian, ia menghela napas. "Namamu juga. Konteksnya memang berbeda, tetapi namamu selalu ada. Sayang reporter-reporter itu kadang lebih memilih untuk mengeditnya dan hanya meninggalkan satu nama."
Rasanya seperti disiram dengan seember air dingin. Kesadaranku menyergap. "Sungguh?"
"Memangnya kapan aku pernah bohong," jawabnya, berpura-pura tampak kesal. Tapi aku bisa menangkap sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya, entah karena melihat ekspresi wajahku yang kaget berlebihan atau mungkin--kurasa--karena wajahku yang tanpa sadar memerah. 
"Kamu tahu kenapa aku selalu menyebutkan nama orang yang sama untuk pertanyaan itu?" tanyaku tiba-tiba.
Senyum kecilnya menghilang, ia tak tampak ingin tahu. Ragu, ia tetap bergumam, "Memangnya kenapa?"
"Wajah bulat, senyum malu-malu... tidakkah itu terasa familiar?" Aku tersenyum lebar, lalu mengacak poni depannya yang tersisir rapi.
Bibirnya mengerucut, "Tidak, memangnya apa?"
"... Kamu. Waktu kita pertama kali bertemu."

Perjalanan pulang yang panjang ini mungkin akan terasa lebih panjang lagi dengan kecepatan berkendaraku yang kuatur selambat mungkin. Aku butuh waktu lebih lama berdua saja. Pengganti hari-hari sebelumnya di mana kami hanya saling mengangguk sopan di belakang panggung, atau berwajah masam meski saling duduk bersebelahan di konferensi pers. Tidak ada kata pun tidak apa. Cukup lagu yang menjadi musik latar. Lagu ciptaanku. Untuknya, meski tidak kukatakan, seperti banyak hal lain lagi yang tidak pernah kukatakan padanya. 
Toh melihat senyum dan semburat merah jambu di wajah kecil yang belakangan tampak semakin pucat itu, kurasa ia pun sudah tahu.