Monday, May 14, 2012

Di Suatu Bagian

Tommy

“Siang.”

Satu kata. Ditambah senyum manis yang tidak ada duanya. Ekspresiku sekarang pasti seperti habis menghirup ganja.

“Siang, Anti...” balasku, menggantung. Mencari-cari bahan untuk diobrolkan, lebih baik lagi kalau dia yang memulai duluan.

Tetapi Anti, seperti biasa, langsung melesat melewatiku dan menuju kubikelnya yang penuh kertas tempel dan dua pot kaktus sebagai hiasan, tidak melirikku lagi sama sekali.

Aku mendesah, lalu lunglai menuju mesin pembuat kopi. Cangkir ketiga hari ini. Demi proyek besar yang deadline-nya kurang dua minggu lagi, sekaligus pengurang frustasi karena lagi-lagi gagal mendekati Anti.

Anti. Seperti nama di contoh percakapan dalam buku bahasa Indonesia waktu masih SD dulu. Tetapi Anti yang ini istimewa. Cantik, anggun, dan penuh percaya diri. Bonus diskusi cerdas yang selalu tercipta setiap kali ada kesempatan mengobrol berdua—namun sayang jarang sekali terjadi. Cukup tiga kata untuk menggambarkannya dengan sempurna: calon Putri Indonesia. Aku heran dia belum pernah mendaftarkan diri sebelumnya.

“Pejuang kita gagal lagi hari ini,” bisikku, sambil menyandarkan lengan di kubikel Irina lalu menghirup kopi dengan sepenuh hati. “Pokoknya kamu harus bantu aku, Rin.”

Irina mendongak dari layar LCD komputernya. Alisnya mengerut. “Ini jam kerja, Tommy. Kamu tahu aku paling tidak suka diganggu saat kerja. Aku dibayar bukan demi curhat atau ide-ide gila khas orang jatuh cinta.”

Aku merengut. Irina dan idealismenya. “Ya sudah, curhat dan ide-ide gilanya aku bayar pake makan malam, deh. Tempatnya silahkan kamu yang pilih.”

Deal.” Dan Irina tidak repot-repot mengalihkan pandangannya dari layar, hanya mengacungkan jempol kirinya sedikit lebih tinggi, sambil tetap menarikan jari-jarinya di atas keyboard.

Aku tertawa kecil, mengacak rambutnya sekilas karena kutahu dia tidak suka kalau aku melakukannya, lalu melangkah balik ke mejaku, meninggalkan sahabatku dan umpatan-umpatannya di kubikelnya.

***
Irina

“Berlebihan tidak?” tanyaku akhirnya, setelah seperempat jam lebih mematut diri di depan kaca. Sebenarnya ini memang penampilanku yang biasa saja, kecuali blus baru yang kubeli di salah satu department store besar, kategori new arrival, dan sudah pasti tanpa diskon besar-besaran.

“Memangnya mau ke mana sih?” tanya Devi, teman berbagi apartemenku, jelas heran. Tidak biasa baginya melihatku menghabiskan sepertiga malam hanya demi kelihatan istimewa.

Kusebut sebuah restoran di salah satu mal terkeren se-Indonesia, lalu wajahnya berubah lucu. “Kamu pergi sama siapa?”

Ingin rasanya menjawab dengan muka tidak kalah lucu, ‘pacar baru’, lalu tertawa berguling-guling di kasur menceritakan kisah kasih kami yang masih baru dan momen-momen kecil yang diulang diikuti kikik panjang. Tetapi tidak bisa. Karena memang tidak ada pacar baru, momen-momen kecil, bahkan kisah kasih untuk dijadikan bahan cerita.

“Cuma Tommy,” jawabku. Berusaha terdengar biasa. Meski kurasa tidak berhasil karena kudengar lidahku masih tergelitik saat mengucapkan namanya.

Devi langsung pasang tampang muram. Bukan salahnya. “Rin...”

“Tidak apa-apa, aku biasa saja.” Bohong tentunya. Sikapku malam ini jelas sekali memberi indikasi bahwa aku sama sekali tidak biasa.

“Rin, kamu jangan sampai terbawa—“

“Iya, iya, aku ngerti. Cuma makan malam biasa, kok. Lagipula dia mau curhat dan minta petunjuk soal anak baru di bagianku, si Anti...”

Devi sudah jelas sekali ingin menyuarakan teriakan-teriakan protes, tapi teredam oleh nada notifikasi pesan masuk di ponselku.

Aku sudah di depan apartemenmu.

“Eh, ini Tommy sudah datang. Aku pergi dulu, ya.” Aku mengalihkan perhatian, lalu buru-buru meraih high heels warna silver di rak sepatu.

Masih dapat kulihat jelas ekspresinya tidak rela. “Rin, soal Tommy...”

“Hm?” Aku pura-pura sibuk memasang sepatu. Pura-pura tidak mau tahu. Ah, mungkin memang tidak mau.

“... Bilang sama dia kalau sudah sampai nggak usah pake sms segala, kita punya bel pintu.”

Aku memasang senyum termanisku pada Devi tersayang. Syukurlah dia tidak bilang apa-apa. Biarkan aku nikmati malam ini, selagi masih bisa.

Sunday, May 13, 2012

Sedikit Cuplikan Hidup

Rasa-rasanya saya sudah lupa caranya nulis blog. Serius. Belakangan cuma menerbitkan tulisan-tulisan flash fiction kurang bermutu, yang ditulis semata menyalurkan kegalauan (tapi demi apapun semua tulisan saya itu beneran cuma fiksi loh ya) dan hasrat tidak mau kalah dengan blog tetangga sebelah. Akhirnya rindu juga  dengan posting-posting gila yang isinya cuma curhat serta pamer kenelangsaan hidup menjadi bulan-bulanan dunia yang kejam.

Jadi, masa perkuliahan reguler saya resmi selesai. Tinggal UAS terakhir minggu depan, break untuk persiapan penyusunan outline laporan PKL, dan kegiatan PKL itu sendiri. 
Yak, sebentar lagi saya pensiun sementara jadi mahasiswa. Lalu terburu-buru mengejar kereta pagi, berdesak-desakan dengan komuter lainnya, sambil berhati-hati agar tidak diisengi maniak mesum seperti di berita-berita.
Jujur saya bakalan frustasi. Terbiasa berangkat kuliah jam delapan lewat lima untuk kelas jam delapan, saya  nggak mengerti bakal jadi apa saya kalau harus mengejar kereta dari pukul lima. Sakit jiwa. Masih untung teman kost saya, tepat di depan kamar, ditempatkan PKL di kantor yang sama, sehingga paling tidak ada yang mengingatkan untuk berangkat bareng ke stasiun.

Omong-omong, orang-orang terdekat saya tidak setuju saya berangkat bolak-balik naik kereta. Nggak tega, katanya. Seorang teman malah dengan kasual bilang, "Aku takut si Desy kejepit terus jatuh dari kereta." 
Beberapa juga tidak setuju karena yakin saya bakalan datang terlambat. "Kamu masuknya jam berapa, bangun jam berapa..."

Ah, sudahlah. PKL masih nanti-nanti. UAS saja belum mulai, apalagi selesai. Dan belum apa-apa sudah terancam suram. /nangis di pojokan/

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan tentang kehidupan kuliah saya. Teman yang ini, dosen yang itu, cowok yang ini, maho yang itu... dan sebagainya. Belum lagi teman kost saya yang semuanya luar biasa. Sayang, voucher kuliah gratisnya sudah mau habis. Sebentar lagi saya bakalan kehilangan bahan baku utama cerita-cerita terfavorit saya hingga nanti sudah tua.

Dasar waktu. Saat ingin dipercepat malah berjalan sangat lambat. Saat ingin diperlambat, apa-apa hanya tinggal sekejap.

Oh, satu lagi, selamat ulang tahun untuk blog ini! Harusnya tanggal 7 Mei sih, tapi entah waktu itu saya sedang kemana. Dan kalau boleh menyombongkan diri, blog ini umurnya sudah enam tahun loh. Sudah bisa masuk SD. Lumayan lah.
Dan apalah artinya blog ini tanpa para pembacanya. Baik yang diseret paksa, sekedar intip-intip iseng, atau memang punya hubungan istimewa. Pokoknya, terima kasih banyak! Semoga update berikutnya bisa lebih bermutu daripada yang satu ini. :)

Friday, May 04, 2012

Yellow

It was 9:00 PM and the full moon in the night sky looked so yellow. My favorite coloronce, before this night. I had no bad feelings, well, maybe because what happened next wasn't considered as a bad thing.

He called me right before the clock turned 9:01. I picked up the call immediately, thought this was just his usual random chatting after hours of hard work in the office. I even prepared some stories; what happened to me in the cake shop, old friend who ordered 7 levels wedding cake, and every little things I found amusing today.

"Are you still up?" was his first question. It caught me off guard.

"Who sleeps at 9 PM?" I asked back jokingly, tried to push off the thought of him being weird.

"Haha, just maybe."

It was a forced laugh, I should have known. "So, how's your day?"

"Nothing special." Silence for a moment. "Can I meet you, like, right now? I'll come by your house. I have... something important to tell you."

And that was it, I knew. I stopped trying to think positive. This was positive: He's going to write me off.

"I know what you want to tell me." I couldn't believe I just said that.

"Um? No, you don't."

"You're gonna dump me for your pretty next-door girl."

And yes, of course I was right. The girl had always been  his main topic these few days. I was just in denial before, but I totally knew that he was in love... no, he was crazy of her.

"Dump you? Why would I dump you? You're my only close friend, Re. I wouldn't have anyone else to go if I lost you."

My throat went dry, "I know, right."

It was one yellow moon night in my busy little town I would never forget. I was only his friendclose friend, as what he liked to sayand that was it.