Friday, March 30, 2012

Kau Tahu Terlalu Banyak

Seharusnya kau bisa melihatnya seperti biasa saja. Ia mati dengan damai. Ia mati tersenyum, ia bahagia.

Namun otakmu tak bisa berhenti membuat asumsi-asumsi mengerikan. Rekonstruksi kejadian cepat berputar di kepalamu, lalu sedikit demi sedikit, muncul lah bukti-bukti yang menguatkan teori itu.

Pada akhirnya, benang kusut itu pun akhirnya kau uraikan. Tentang kejadian sebenarnya, kau akhirnya tahu. Kau tahu terlalu banyak dari yang sebenarnya kau perlu.

Seperti bahwa... pisau itu milikmu. Kau yang memberikan benda itu padanya, meski tanpa kau sadar dan sengaja. Kau pikir itu akan membuatnya senang dan menemaninya di kala bosan.

Tapi pisau itu cuma melukainya. Goresan-goresan kecil yang memberi sensasi ketagihan, yang kemudian melunjak menjadi tikaman-tikaman tajam. Ia bunuh dirinya. Karena pisaumu. Karenamu.

Ketika kesadaran atas semua ini menerpamu, semuanya sudah terlambat. Ia sudah mati. Meski kau hidup, masih, bersikap seakan tanpa dosa.

Lalu selanjutnya tak pernah terpikirkan olehmu.

Pisau yang sama. Kering darah, bau amis.

Perlahan-lahan, awalnya tanpa sadar, kau mulai menusuki dirimu sendiri dengan pisau tersebut.

Berpikir; Karena tak seharusnya kau biarkan hidup, sesuatu yang sejak awal tak pantas bernyawa.

Wednesday, March 28, 2012

Salju Rindu dan Musim Semiku


Rindu itu mirip kepingan salju. Jatuh satu-satu, namun tanpa sadar sudah membungkusku menjadi sebongkah utuh manusia salju yang kaku. Dingin membuatku mati rasa. Dingin membuatku beku, hatiku.

Sudah hampir seminggu tak ada kabar darimu. Terakhir kita bertemu di sela-sela pekerjaan, itu pun hanya sekedar bertukar sedikit senyum dan anggukan di tengah koridor belakang panggung yang ramai. Bahkan sepatah kata pun tak sempat kuucapkan.
Salah satu hal yang menahan air mataku untuk tidak jatuh setiap malam, karena aku tahu bahwa hubungan ini sama sekali tidak berhak untuk dihargai sebuah tangisan. Harusnya kita bahagia, sama seperti dulu, sebelum dunia seakan hanya berputar demi kita, dan segalanya berubah serumit gumpalan benang kusut yang tak sempat kuselesaikan untuk dirajut menjadi sepasang scarf untuk kita berdua. 
Lagipula air mataku sudah beku digigit malam musim dingin, saat rinduku di langit luruh menjadi kepingan-kepingan salju.

 ***

Aku menyebutkan namamu lagi di tengah-tengah interview dengan sebuah majalah kenamaan. Entah sadar atau tidak; mungkin memang terbukti bahwa aku selalu menyimpan namamu di sudut pikiranku sepanjang waktu, atau keinginan terselubung untuk memamerkanmu ke seluruh dunia telah terlalu besar dan memberontak ingin keluar.
Namun namamu di layar teleponku-lah yang membuatku terperanjat dan, dalam sepersekian detik, aku langsung merasa menyesal. Tidak seharusnya aku begitu egois, mengabaikan segala kemungkinan yang akan terjadi hanya karena sedikit saja kebocoran informasi berbalut curahan hati. 
"Ya?"
"Aku pulang ke Seoul siang ini," ucapmu, dengan nada ceria yang paling aku suka. "Apa kamu punya waktu nanti sore?"
"Sore tidak bisa... tapi jadwalku selesai pukul tujuh malam."
"Bagus sekali. Tunggu aku nanti malam, ya."
Senyumku mungkin sudah hampir mencapai daun telinga. "Iya."
Aku sudah bersiap menutup sambungan telepon ketika kamu mendadak menyela.
"Dan terima kasih sudah menyebutkan namaku di interview itu."
Wajahku memerah. Harusnya aku tahu. Dari nada suaramu, aku mengerti bahwa kamu menganggapnya sebagai suatu 'pernyataan cinta'. Hal yang selama ini selalu kita simpan diam-diam tanpa pernah saling diucapkan.


Dan buatku, kamu seperti musim semi. Musim semi hangat yang melelehkan salju. Mencairkan keping rindu, mengubahnya menjadi kristal-kristal air yang melegakan. Tidak ada lagi mati rasa ketika hatiku mulai kembali menumbuhkan bunga-bunga.

Saturday, March 24, 2012

Unpleasant

Perasaan saya ke kamu itu persis kayak nulis blog. Draftnya aja yang banyak bertumpuk-tumpuk, tapi yang berhasil di-publish nggak ada.

--Mikochin, 20 tahun, terserang writer's block stadium akhir; tinggal tunggu dimakamkan.