Wednesday, December 19, 2012

Butterfly Effect

Tahukah kamu tentang Butterfly Effect?

Sebuah teori yang, kira-kira, menyatakan bahwa sebuah perubahan kecil dapat mengakibatkan perbedaan yang besar kemudian.

Ilustrasinya: kepakan sayap kupu-kupu yang pagi ini kamu temui di taman, dapat mengakibatkan badai di Afrika Selatan sebulan kemudian.

Lalu saya membayangkan.

Berawal dari sesuatu yang simpel. Tak signifikan. Sesuatu seperti senyumnya. Dua tiga kali lirikan mata, atau sapa basa-basi berdua. Kamu tidak pernah tahu.

Mungkin sehari atau dua, seminggu, bahkan berbulan-bulan kemudian. Hal-hal kecil yang bahkan tidak kamu sadari itu, ternyata terakumulasi... menjadi badai sejuta kepak sayap kupu-kupu di perutmu.

Wednesday, December 12, 2012

It's Random


I hope I don't get it mixed up. Who knows if sometimes your brain does some slipped-memory tricks and you'd start to remember it as look like a man, act like a boss, think like a girl, and work like a lady(boy).

......

Sorry, I don't know what I wrote. I was sleeping and suddenly awakened, so I decide to just write this meaningless post. It's 12-12-12 anyway, and it's sort of a waste to not posting anything at this so-called beautiful date.

Ah, before it ends, please let me say: happy 12-12-12! :)

Tuesday, December 11, 2012

Kotak Kenangan


Awalnya aku hanya iseng, sungguh. Entah kenapa waktu itu aku sedang ingin membuka dan membaca surat-surat lama yang tersimpan di inbox e-mail. Tentu saja masih tersimpan di sana; bukti-bukti korespondensi aku dan dia selama menjalani hubungan jarak jauh kami yang pertama.

Surat terakhir dikirim olehku, menceritakan perjalanan dua hari satu malam dalam rangka malam keakraban jurusan. Kulampirkan pula beberapa foto hasil dokumentasi perjalanan, dan tentu saja fotoku yang berpose narsis sendirian. Spesial diambil oleh temanku yang berprofesi sambilan sebagai fotografer amatir karena aku ingin dia melihat aku dalam penampilan terbaikkuberharap semoga bisa mengatasi rindu yang terhambat kapabilitas untuk bertemu. Aku menunggu kurang lebih dua minggu demi balasan yang tak kunjung datang, lalu aku mengerti: ia sudah tidak lagi peduli.

Monday, December 10, 2012

Are You Ready?

Some people are finicky about going to the theater alone, but I’m not. Because when the lights go down, the only relationship left in the room is the one between the movie and me.  Anna and The French Kiss
I think I'm going to do it again soon. Going to theater alone, I mean. I did it a while back as a form of getaway.

No, there's nothing wrong with my life I need to get away from, and it's not like I don't have friends to accompany me to go. Things are just simpler when you're doing it by yourself, right? Well, several things. And this going-to-see-a-movie thingy is one of them. 

One thing that concerns me is the chance of surprise encounter with my other friends in theater. They're going to ask questions like, "Why are you here alone?" with the unnecessary pitying look on their face. Because they are with their beloved friends, or boyfriend/girlfriend, or crush, or family, or anyone, while I stand there completely alonewhich is not a sin, by the way.

Now that I think, does what everyone think of me really matter? If the answer is no, then I'm ready to go. :)

Monday, December 03, 2012

Inattentional Blindness

From Scholarpedia.org : "Inattentional blindness is the failure to notice a fully-visible, but unexpected object because attention was engaged on another task, event, or object."

Ah, I wonder how does it feel to be the fully-visible but unexpected object?




Just kidding. I know how it feels.

Friday, November 30, 2012

Between Good Books and Bad Books

Based on my experience reading not that many kind of books from not that many different genres, I think I can come to a conclusion: Good books give you inspiration, while bad books give you exasperation.

Not all of the books I read are the good ones. And I'm not the kind who let it go wholeheartedly. When I get annoyed by a book, it's pretty serious, like I will go berserk and have this sudden urge to rip the book and throw it to paper-shredder or even burn it with gasoline. I will boast to people to not read that book ever—but mostly they won't hear me because what I think as a bad book almost sometimes be considered as good book to them—and declare how disgusting it is. Yes, I'm overreacting, but now that I think of it, maybe it is just because I'm actually a bad-tempered person, yet I tend to hold my anger to people (well, not always) so the innocent books are my release. Haha.

Wednesday, November 28, 2012

Hei, Je


Hei, Je.

Maaf aku terpaksa menyita waktu luangmu untuk membaca surat ini dengan menyelipkannya di novel yang belum selesai kamu baca itu. Aku tidak tahu harus dengan cara apalagi meraihmu, karena belakangan ini kamu, dan mungkin juga aku, terlalu sibuk dengan diri masing-masing hingga hampir tak lagi saling menyapa. Tenang, aku tidak menyalahkan siapa-siapa. Bukankah ini yang kita inginkan? Kesibukan? Pekerjaan yang tak kunjung selesai? Pesta demi pesta yang dilewatkan tergesa sambil tersenyum terpaksa pada tamu-tamu yang bahkan tak pernah kita suka?

Oke, aku tidak bermaksud untuk sinis. Tapi entahlah, Je, belakangan aku mulai menyadarinya. Ada yang salah dengan hidupku. Mungkin hidupmu juga. Rasa-rasanya, semua berlalu begitu cepat. Dunia berputar terlalu kencang dan aku terlalu takut untuk tertinggal dalam putaran. Sekarang aku sudah hampir tidak mengenali diriku sendiri, Je, masihkah kamu?

Monday, November 19, 2012

Carbonara

Semua bermula dari pesan singkat Aji di WhatsApp selang berapa hari sejak kepulangan saya dari Jakarta: Des, ke Bu Nina, yok!

Sekedar informasi, Aji adalah teman seperjuangan dan sepengangguran yang sama-sama sudah berbulan-bulan tak menginjakkan kaki di kota Pontianak, sedangkan Bu Nina adalah nama sebuah rumah makan ayam penyet yang tersohor karena sambalnya yang luar biasa (contoh keluarbiasaan, saya pernah keasikan nyocol sambel sambil air mata bercucuran dan keluar ingus kayak Bo teman Shin-chan).

Karena sedang nganggur dan laper, saya pun tanpa babibu mengiyakan. Kebetulan memang sudah masuk jam makan siang dan saya juga sudah kangen makanan satu itu. Begonya, kami pergi di jam makan siang, dan saat kami sampai di sana ruko tempat Ayam Penyet Bu Nina berada sudah penuh-nuh-nuh, bahkan kayaknya ada waiting list segala. Gaya banget kan, padahal cuma warung makan biasa. Tukang bakar-bakar ayam yang memang berada di bagian depan udah ngasih kode-kode entah bahasa tarzan atau bahkan semaphore (serius! Pake angkat lengan trus disilang-silang sambil pegang kipas) kalau tempat makannya sudah penuh.

Thursday, November 08, 2012

For Girls


I don't know. Just feel like posting this. Maybe I'll start another regular label called Quote from now on.

Tuesday, November 06, 2012

Aneh Saja

"Hei, saya kangen!"

Kalau saya atau kamu sudah bilang begitu, biasanya our feelings are mutual. Sama-sama kangen, cuma beda siapa yang pertama kali bilang duluan. Lalu kita pun sibuk mengatur kesempatan, kapan bisa bertemu, di sela-sela jadwal rapat, jadwal main, atau jadwal jalan dengan pacar(?) masing-masing. (Bohong, kita sama-sama ga punya pacar. Mmm, atau mungkin cuma saya yang ga punya.)

Biasanya kamu akan berjalan cukup jauh dari tempat tinggalmu sementara, untuk kemudian menghampiri rumah kedua saya, lalu masuk diam-diam untuk mengetuk pintu kamar saya. Saya biasanya masih sedang dandan atau ganti baju, lalu teriak-teriak supaya kamu ke ruang tengah saja karena kamar saya kondisinya sedang tidak layak dipandang mata. Lalu kamu menunggu saya. Kadang lama. Maaf ya :')

Tuesday, October 23, 2012

I Miss You

Sometimes I feel like I'm missing you,
that kind of hurting feeling
like your heart is ripped open
and it keeps beating and bleeding
but nothing could make it any better
other than you.

But then I ask myself,
"do you ever feel even the tiniest bit feeling
of missing me too?"
I realize you probably won't do
oh, what in the world would make you do?
So that is how I,
even though really hard,
manage to stop missing you.

Monday, October 22, 2012

Penyangkalan

Aku menarik napas panjang, berusaha menjernihkan pikiranku yang tiba-tiba saja berkabut, lalu menyetop taksi yang kebetulan sekali sedang menurunkan penumpang tepat di hadapanku. Diiringi lambaian tangan staf hotel, aku membanting pintu taksi dan mengempaskan diri di jok belakang, napas memburu.

Supir taksi menanyakan tujuanku, tapi aku belum sanggup berbicara. Aku cuma memberi isyarat untuknya terus saja, terserahlah ke mana, toh dia juga diuntungkan dengan argometer yang terus berjalan. Selanjutnya aku mengatur napas yang tinggal satu-satu karena dadaku terasa sesak, sakit sekali.

Beginikah rasanya?

Sunday, October 21, 2012

Pengangguran, Pulang, dan Hujan

Berkali-kali sudah saya buka dashboard Blogger, mengklik new entry, pun menuliskan beberapa kalimat di kotak putih di layar itu, tetapi berkali-kali pula saya hanya mengklik save sambil berlalu melakukan hal-hal lain di dunia maya.
Ya... saya memang semalas itu, tidak usah heran.
Padahal banyak hal-hal penting sedang terjadi dalam hidup saya. Mungkin. Sebutlah, kegiatan Capacity Building, Yudisium, dan tentu saja, segel terakhir sebagai seseorang yang mengakhiri status mahasiswa: Wisuda.
Horee saya sudah bukan mahasiswa lagi! -- meski bingung mesti senang atau sedih. Pidato Menteri Keuangan--yang diwakili oleh Sekjen--waktu wisuda kemarin serasa menggugurkan euforia wisuda yang menurut saya memang sejak awal tidak terlalu gimana-gimana karena ada beberapa masalah yang cukup vital dalam pelaksanaannya. 
Ah, intinya... secara teknis, status saya sekarang adalah pengangguran. Walaupun saya lebih suka menyebutnya liburan, ya.

Beginilah saya sehari-hari, akhirnya. Yap; looking cute, typing on the keyboard. *dilempar batu*

Monday, October 08, 2012

Gembel dan Seratus Juta


Pembicaraan ini sudah lama, sudah basi. Harusnya. Tetapi mau tidak mau muncul lagi ke permukaan gara-gara buku angkatan. Saat itu kami sedang kumpul-kumpul di kamar kost-kostan salah satu personil—tanpa formasi lengkap karena personil yang satu lagi sedang sibuk menjemput nyonya besarnya—dan mengomentari beberapa foto di buku angkatan tersebut. Lalu saya terpaksa harus menunjukkan sesuatu, dan komentar itu pun muncullah.

“Hah, serius? Kok bisa?” dan sejenisnya langsung mengalir dari mulut bocah-bocah yang walaupun kurang ajar tetapi sudah saya anggap seperti abang sendiri.

Saya malas menjawab, cuma mesem-mesem sendiri. Entah senang atau sedih, hahaha.

Dan tentu saja, tidak cukup satu komentar. Level penghinaan semakin naik dan naik sampai akhirnya keluarlah kalimat pamungkas itu: “Ibaratnya kayak gembel dikasih duit seratus juta, terus dibuang gitu aja.”

Tawa pun meledak, termasuk dari saya yang ikut-ikutan sumbang suara. Selama lima belas menit kemudian tema pembicaraan masih seputar itu, sebelum bola panas itu saya lempar ke mereka yang saya tuduh belum move-on, maho, dan sebagainya.

Diam-diam, pikiran saya sudah penuh saja.

Gembel? Mungkin. Seratus juta? Mungkin juga. Tetapi mungkin si gembel bukannya bodoh karena membuang duit seratus juta, tapi sebenarnya jauh lebih cerdas, karena tahu duit seratus juta tadi memang ditujukan bukan untuknya. Bagaimana nanti bila ternyata itu cuma duit pinjaman, lalu saat sedang senang-senangnya dinikmati, tahu-tahu sudah terjerat lilitan utang?

Sudahlah. Si gembel lebih baik berberes hidupnya dulu, supaya tidak gembel lagi. Naik level, gitu. Jadi suatu saat, jika diizinkan untuk mendapatkan uang seratus juta atau lebih besar lagi, tidak akan ada lagi yang terkaget-kaget, heran, atau berpikir macam-macam. Karena memang sudah pantas dan sewajarnya diterima, jadi tidak akan dibuang. Tidak lagi. J

Friday, September 07, 2012

Conundrum

Kamu terbangun dalam keadaan dingin. Pendingin ruangan masih menyala dengan suhu paling minimal. Kamu tidak pernah suka udara yang terlalu dingin, tetapi entah kenapa kamu menyetelnya seperti itu. Kamu bangkit duduk dengan satu gerakan mulus, mengucek mata, dan mendapati sisi sebelah kiri tempat tidur king size-mu kosong, rapi, dan menyisakan sepasang bantal guling yang tak tersentuh. Seingatmu tempat tidurmu tidak pernah serapi itu sebelumnya.

Kamu merasa pusing. Kamu memutuskan untuk mencuci wajahmu dan menggosok gigi terlebih dahulu sebelum sarapan; sepotong sandwich telur keju terdengar menggiurkan. Sejenak kamu menatap cermin. Lingkaran hitam di sekitar matamu terlihat mengganggu. Bila masih tersisa cukup waktu sebelum berangkat kerja, kamu mempertimbangkan untuk mengompres matamu dengan mentimun atau es batu.

Mesin pembuat kopi terletak di salah satu sudut di dapur tetapi kamu tidak tergerak untuk menggunakannya. Kamu lebih suka menyeduh kopi instan kemasan yang kamu beli dalam jumlah besar, lalu kemudian menambahkan non-dairy creamer banyak-banyak hingga warna kopimu menjadi hampir sepucat susu. Kamu menyeruputnya sambil membuka kulkas, mengambil bahan-bahan untuk sandwich telur kejumu, namun tertegun saat melihat ada sekaleng kornet di rak kulkasmu. Kemudian kamu membuka freezer dan mendapati sebungkus burger daging sapi yang sudah terbuka berada di dalamnya. Kamu hampir tidak mempercayai penglihatanmu. Sudah empat tahun terakhir sejak kamu memutuskan untuk menjadi vegetarian, meski kamu masih tidak bisa menahan godaan akan produk telur dan susu. Tiba-tiba kamu merasakan kepalamu pusing kembali.
“Kamu terlihat pucat. Mungkin kurang zat besi. Kamu yakin tidak mau daging burgerku?”
Matamu membesar. Suara apa tadi?  Ya Tuhan, batinmu. Kamu pasti benar-benar kurang tidur hingga mendengar suara-suara aneh dalam kepalamu. Apa sebaiknya kamu izin dari tempat kerjamu hari ini? Kamu bisa menggunakan jatah cutimu satu hari. Rasa-rasanya jatah cutimu setahun ini belum sempat tersentuh sama sekali. Ya, ya. Mungkin lebih baik kamu mengambil cuti.

Dengan cekatan kamu membuat sandwich, lapis demi lapis, tidak lupa menuangkan banyak-banyak saos sambal di atas telur mata sapi. Setelah selesai, kamu menjepit sandwich di mulutmu lalu kembali ke kamar tidur untuk mengambil ponsel yang masih kamu tinggalkan di bawah bantal.

Tetapi.... 18 missed calls? 31 messages received? Ada apa ini? Apa kamu baru melewatkan suatu hal besar yang sedang terjadi?

Namun, belum sempat kamu menekan speed dial nomor 1—milik sahabat baikmu—tiba-tiba layar ponselmu berkedip menandakan ia sedang menghubungimu. Ragu-ragu, kamu menerima panggilan itu dan menempelkan ponselmu ke telinga.

“Halo?”

“Rin? Kamu baik-baik saja?” Gadis itu tiba-tiba berteriak di sambungan teleponnya, membuat telingamu berdenging selama beberapa detik. Benar-benar berlebihan, seolah-olah sedang ada sesuatu yang buruk terjadi padamu.

“Ya... aku baik-baik saja.” Tiba-tiba kamu teringat rasa pusing di kepalamu yang hilang timbul tidak terkendali. “Eh, tidak juga. Karena kebetulan kamu meneleponku, bisa tolong sekalian sampaikan izin cutiku pada Pak Kepala Bagian? Aku sedang merasa tidak enak badan hari ini...”

Gadis itu terdiam. Hei, dia tidak mungkin berpikir kamu sedang berbohong, kan?

“Aku mengerti, Rin. Tetapi syukurlah kamu mengangkat teleponmu akhirnya. Dua hari ini kami semua benar-benar mencemaskanmu.”

Dua hari? Dua hari apa?

Kepalamu berdenyut dan terasa semakin sakit.

“Tetapi Rin, cutimu kan sudah habis untuk.... yah, kamu tahu sendiri. Bahkan dua hari ini aku sibuk menyakinkan Pak Kepala Bagian bahwa kamu benar-benar dalam kondisi terburukmu dan tidak mungkin memaksakan diri untuk datang ke kantor. Entahlah hari ini...”

Ada apa dengan kepalamu? Dan kenapa kamu tidak mengerti apa yang dimaksud gadis itu? Kamu menutup telepon dengan sepihak, lalu menyambar handuk yang tergantung dan buru-buru masuk ke kamar mandi. Kamu butuh mendinginkan kepala.

Dan kamu baru menyadarinya. Peralatan mandimu tiba-tiba mengganda. Sepasang sikat gigi.  Dua botol shampo. Sebotol after-shave.... A-after-shave?
“Aku paling suka kalau kamu habis cukuran.”
“Tambah ganteng?”
“Mm, ya, itu juga sih... tetapi kamu jadi wangi. Rasanya betah mencium kamu lama-lama.”
Siapa?
“Kamu menyia-nyiakan makanan-makanan paling lezat di dunia. Kamu yakin nggak mau berhenti jadi vegetarian?”
“Nggak.”
“Bahkan kalau aku memohon dan berlutut di kakimu?”
“Hahaha, tetap enggak.”
Sebentar, rasanya kamu tahu...
“Bagaimana rasanya?”
“Mm.”
“Biasa saja?”
“Mmmmm.”
“Oke, terserah, silakan kembali minum kopi instanmu yang nggak sehat itu...”
“Rei.... aku serius. Ini kopi terenak yang pernah aku minum. Aku berjanji akan berhenti minum kopi instan selama kamu membuatkan kopi seenak ini setiap hari untukku.”
Rei? Tiba-tiba jantungmu melewatkan satu degupan. Keringat dingin mulai mengalir di pelipismu.
“Kenapa menyetelnya sedingin ini? Aku nggak suka dingin, Rei...”
“Supaya kamu tidak punya alasan untuk melepaskan pelukanku.”
Semuanya berkelebat cepat seperti kereta api yang hanya melintas di stasiun tempat ia menunggu setiap pagi. Rei, Rei, Rei...

Kecelakaan itu... mobilnya yang terbalik... darah, banyak sekali darah... dan teriakanmu yang tak henti-hentinya saat menyadari bahwa itu dia, Rei, Rei-mu yang paling kamu cinta...

Lalu ada pemakaman. Orang-orang yang menangis. Bisikan-bisikan yang mereka harapkan bisa menguatkan, tetapi bagimu hanya omong kosong yang tidak artinya. Dan air matamu yang sudah tidak bisa jatuh. Dan lidahmu yang kelu. Dan sebagian dirimu yang ikut terkubur di dalam tanah dibawah nisan itu.

“Rei...”

Kamu berlari keluar, menuju ruang keluarga. Apartemen yang baru saja kamu tempati bersama Rei, yang cicilannya masih harus kalian tanggung lima tahun lagi, tiba-tiba terasa terlalu luas dan lengang. Potret kalian berdua tergantung di sana. Diambil seminggu yang lalu, saat kalian sibuk berbulan madu.

Ya Tuhan, kalian baru saja bersama satu minggu. Tetapi Rei sudah pergi.

Kini hanya tinggal kamu sendiri.

Friday, August 17, 2012

Secangkir Kopi


Datang lima belas menit lebih awal dari waktu perjanjian sama sekali bukan kebiasaanku. Tetapi entah kali ini. Aku terduduk rapi di depan secangkir cappuccino yang telah diseruput setengah; menunggu dengan sabar, bahkan tanpa memegang handphone atau buku bacaan. Sesekali pandanganku berkeliling ke seantero ruangan di kafe ini, terlebih mengkhususkan perhatian pada pintu masuk yang membuka dan menutup sering sekali karena banyaknya jumlah pengunjung yang bergiliran keluar dan masuk. Siapa tahu, dia salah satunya.

Ya, mungkin memang serindu itu aku padanya.

Empat tahun bukan waktu yang singkat buatku, apalagi buatnya, untuk dihabiskan menunggu. Menunggu aku, yang pada akhirnya kembali, tetapi bukan untuknya lagi.

"Nggak apa-apa," ucapnya waktu itu, sedikit pun tidak terbata.

Rasanya jadi aku yang terluka. Seharusnya aku yang jadi pemeran jahatnya; mengabaikannya, membuatnya berlama-lama menunggu yang tidak ada, dan meninggalkannya begitu saja tanpa kompensasi apa-apa. Tidak pula rasa yang tersisa. Tetapi dia malah baik-baik saja. Awalnya aku tidak ingin membuatnya menangis, tapi kali itu aku malah ingin melihat setidaknya setitik air mata. 

"Kau baik-baik saja?" tanyaku, memastikan. Mungkin dia sebenarnya sedang menahan tangis. Perempuan kan, memang selalu begitu. Pura-pura kuat, pura-pura baik-baik saja.

"He'eh."

Ada jeda yang lama. Aku berani bertaruh ia terisak di balik bantalnya.

"Aku memang sudah tahu dari dulu," lanjutnya dengan nada biasa, bahkan cenderung ceria.

Aku sempat kehilangan kata-kata waktu itu. Menebak-nebak, terbuat dari apa gadis ini sebenarnya. Ia seperti tahan peluru. Aku tidak bisa lagi melukainya, atau mungkin, memang sudah lama tidak.

Kutelan pertanyaan terakhirku, lalu kuakhiri percakapan telepon malam itu. Percakapan terakhir. Sengaja tidak kuhubungi ia lagi seterusnya.

Sampai seminggu yang lalu.

E-mail itu datang ke inbox-ku. Singkat dan padat. Tidak mengandung emosi. Cuma dapat diartikan satu saja: aku, dia, Sabtu pagi di kafe langganan kami—dulu.

Maka di sinilah aku, gantian menunggu. Kulirik jam tanganku. Setahuku ia selalu datang tepat waktu, sehingga aku heran lewat lima menit dan belum tampak kemunculannya di pintu. Mungkin jam tanganku kusetel terlalu cepat. Mungkin juga ia hanya tidak ingin buru-buru bertemu denganku.

"Hei."

Aku hampir terlonjak dari tempat duduk. Tahu-tahu, ia sudah duduk di depanku. Apa aku yang sudah tidak mengenalinya lagi?

"Hei..."

Dia jadi lebih cantik. Atau aku yang lupa bahwa dia selalu secantik ini?

"Sudah menunggu lama?" tanyanya ceria. Sedikitpun tanpa rasa bersalah. Ya, dia memang selalu seperti ini.

"Kau telat lima menit," ucapku kaku. "Tidak biasanya."

"Maaf." Ia tersenyum memamerkan giginya. "Tadi ada telepon penting."

"Tidak apa-apa," kataku, akhirnya tersenyum. "Mau kupesankan kopi?"

"Mm, aku nggak minum kopi, jus jeruk aja."

Ada yang aneh. Dulu, dia selalu minum kopi. Bahkan hingga lima cangkir sehari, sampai-sampai aku harus memperingatkannya karena khawatir dia keracunan kafein.

Ada lagi yang aneh. Perasaan apa ini? Kuakui, aku memang rindu, tetapi sebelumnya rindu tidak pernah membuat perutku bergejolak hebat seperti ini. Seperti saat bertemu cinta pertama. Tetapi dia bukan, jelas bukan.

"Kenapa?" tanyanya.

Kenapa dia santai saja? Kenapa hanya aku?

Kuseruput cappuccino ku hingga tandas, lalu kupesan jus jeruk bersamanya. Jus jeruk bisa dihabiskan sekali tenggak. Akan kubuat pertemuan ini jadi sesingkat mungkin.

"Jadi sebenarnya, apa yang ingin kau bicarakan?"

Dia tersenyum lagi, memamerkan gigi-giginya yang berderet putih dan rapi itu. Perutku kembali tidak nyaman. Firasatku mengatakan, apapun yang ingin disampaikannya nanti akan membuatku merasa lebih tidak nyaman lagi.

Tuesday, August 07, 2012

Resah Gelisah

Sudah lewat setengah Ramadhan. Masih di kota orang. Sendirian, karena ditinggal Vita mengunjungi mas nya di Cikarang. Ngabuburit cuma ditemani laptop kesayangan dan smartphone yang sudah nggak terlalu smart lagi karena paket internetnya habis. Garing. Kalau nggak ada yang ngajakin buka bersama, terancam buka puasa cuma pake air putih—sukur-sukur dingin. Itupun masih lebih mending dibanding sahur, yang karena nggak ada tukang ngebangunin, ujung-ujungnya kelewatan sampai Subuh sudah setengah enam.

Iya, saya lagi marah. Sama kampus yang seenak-enaknya mengubah format laporan sampai-sampai semua galau dan duit habis demi bolak-balik mencetak laporan. Masih sama kampus, karena membuat jadwal yang mepet-mepet lebaran sehingga setengah Ramadhan saya yang berharga harus dihabiskan dengan nelangsa di kotak 3x3 m berwujud kamar kosan. Sama dosen penilai, yang tidak kunjung memberi kabar tentang laporan saya, apakah harus direvisi atau langsung ditandatangani supaya saya bisa terbang pulang detik ini juga. Sama teman sekampung saya yang beruntung bisa pulang duluan, sempat pamer-pamer pula. Sama perusahaan jasa penerbangan yang kalau memberi harga tidak lihat-lihat dulu yang beli itu pengusaha kaya atau mahasiswa kurus kering macam saya. Dan masih banyak lagi yang ingin saya marahi, tetapi tidak bisa saya tuliskan semua karena selain membuat tulisan ini tidak layak baca (memang sebelumnya layak?) juga membuat pahala puasa saya yang seada-adanya ini menguap bak es batu di gurun sahara. Sudah, sudah.

Setidaknya sendirian membuat saya memikirkan banyak hal, salah satunya tentang masa depan. Baju lebaran, misalnya. Atau apa yang akan saya lakukan setelah wisuda nanti.

Menurut pengalaman yang sudah-sudah, biasanya ada jeda yang lumayan antara selesai wisuda dan mulainya kegiatan magang. Saya pun sudah ancang-ancang memikirkan akan melakukan apa saja di jeda yang belum jelas itu. Les Mandarin, belajar masak, kerja freelance di surat kabar, cari om-om kaya, melanjutkan proyek menulis... Sebenarnya, satu saja yang terlaksana saya pasti sudah senang sekali.

Omong-omong soal menulis. Saya ini payah sekali. Biasanya orang-orang semakin hari semakin berkembang tulisannya, ini saya kok, malah makin bobrok. *tunjuk posting di bawah* Jangankan novel, yang sudah saya janjikan bakalan selesai ke beberapa orang—terimakasih pada mulut besar saya, menulis flash fiction saja tidak bisa benar. Saya akui saya kurang membaca. Dulu, dalam seminggu saya bisa melahap beberapa buku, itupun langsung selesai sekali duduk atau berbaring. Kalau sekarang, satu buku saja belum tentu dibaca sekali sebulan.


Kalau ada yang mau disalahkan, salahkan koneksi internet. Benar-benar sumber distraksi. Baru beberapa menit membaca, buku sudah langsung saya tangkupkan, lalu buru-buru mengecek hengpong atau laptop untuk notifikasi terbaru dari Facebook atau Twitter. Kadang kalau memang tidak ada notifikasi, saya lebih suka membaca timeline. Kadang ketemu objek untuk di-kepo-in. Kadang ikutan galau. Lalu, buku yang baru dibaca beberapa halaman itu langsung terlupakan.

Begitulah. Dengan munculnya kata ‘galau’ rasanya saya ingin sedikit membahas hal itu juga, tapi itu hanya membuktikan hancurnya tata menulis saya karena dari paragraf pertama sampai paragraf terakhir akan sama sekali nggak ada hubungannya. Mungkin galau-nya akan saya bahas lain kali... mungkin tidak sama sekali. Entahlah. Pokoknya, sampai bertemu di posting selanjutnya! J

Monday, August 06, 2012

Janji

Aku gelisah. Bolak-balik kuperhatikan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, hanya demi mendapati kurang dari lima belas menit lagi waktu yang tersisa bagi kami untuk bertemu. Selanjutnya... entahlah. Aku tidak berani mengira-ngira. Saat ini, hanya lima belas menit ini yang aku punya.

“Aku janji akan sering pulang,” ucapnya, sambil menepuk kepalaku pelan. “Kau juga bisa sekali-kali main ke tempatku.”

Bibirku mengerucut. “Sesering apa? Tidak mungkin lebih dari sepuluh kali dalam setahun. Kau tidak sesenggang dan sekaya itu.”

Ia tertawa lalu seenaknya mengacak rambutku sampai aku harus menghentikannya dengan menggenggam telapak tangan yang besar itu dengan kedua tanganku.

“Aku serius. Uangmu tidak akan cukup untuk bolak-balik tiap dua bulan sekali, apalagi tiap minggu.”

“Aku akan pulang tiap liburan. Kutebus waktu bersama kita yang hilang saat itu.”

Tiap liburan? Berarti enam bulan sekali... itu pun belum tentu. Aku menggigit bibir.

“Hei, sudahlah. Teknologi sudah maju, kan? Aku bisa meneleponmu setiap hari, mengirim SMS tiap jam, kita juga bisa memakai fasilitas video call, apapun.”

Kutatap matanya yang tajam itu dalam-dalam. “Aku takut bila nanti di sana, kau...”

“Kau takut aku bertemu yang lain?” Ia menghela napas. “Kau tidak percaya padaku?”

“Hanya saja—“

Tiba-tiba ia memelukku. Erat. Tiba-tiba juga, air mataku mendesak untuk keluar. Deras. Seperti rinduku yang mendadak membuncah padahal kami belum juga berpisah.

“Percaya sama aku, bisa? Soal jarak dan waktu, tidak penting. Kita akan baik-baik saja, tenang saja.”

Ia tidak mengerti. Aku takut aku tidak akan ada di sana di saat ia paling membutuhkanku, begitu pula sebaliknya. Dan jika begitu, sedalam apapun rasa percaya—

“Hei, katakan, kau percaya padaku, pada kita, kan?” bisiknya di puncak kepalaku.

Mendadak aku merasa ingin terisak lebih keras. “He’eh.”

Lalu pelukan itu pun lepas. Lima belas menit yang singkat, dan kini telah usai. Ia harus pergi. Aku...

“Jaga dirimu baik-baik,” ucapnya, menepuk kepalaku sekali lagi. “Aku tidak bisa selalu ada di sampingmu mulai sekarang.”

“Kau juga,” balasku. Kupaksakan diri untuk tersenyum. “Semoga berhasil.”

Aku paham betapa rapuhnya janji yang dibuat secara lisan, sedalam apapun rasa percaya yang kau masukkan ke dalamnya. Dan aku sama sekali bukanlah pengikat janji yang baik; tidak bisa kupaksakan janji itu terus mengikat bila ikatan tersebut telah rapuh dan kau terlampau sesak untuk terus berada dalam ikatan.

Maka ketika ia berbalik dan sosoknya menghilang ditelan pintu otomatis itu, aku telah mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuknya.

Wednesday, July 11, 2012

Ceracau


Pernahkah kamu sangat ketakutan, sampai-sampai kamu harus bersembunyi di balik selimutmu, dan masih menggigil sambil berkeringat dingin di baliknya?

Saya pernah. Dan anehnya, saya takut oleh sesuatu yang tidak nyata. Bukan kecoa, bukan hantu-hantuan yang katanya ada penampakannya di sini dan di sana. Sesuatu yang lain, yang rasanya tak perlu lah saya ceritakan detilnya.

Tidakkah kamu menyadari, bahwa hal yang paling mengganggu kita adalah sesuatu yang ternyata kita ciptakan sendiri?

Semuanya cuma sugesti. Permainan pikiran. Imajinasi. Mungkin juga delusi.

Terpusat di pikiranmu. Iya, sepenuhnya milik kamu. Dan semestinya, kamu lah yang memegang kendali. Jadi rasa takut itu, rasa cemas itu... seharusnya tidak perlu ada sama sekali.

Syaratnya cuma satu. Masuk jauh ke balik pikiran kamu... dan pikirkan sekali lagi. Masih sama? Ulangi. Timpa dengan sugesti-sugesti positif yang membuat muntah pelangi. Ya, ya, seperti itu.

Tetapi terkadang saya terlalu malas berpikir dan lebih memilih jalan pintas. Cuma butuh satu tablet, lalu saya tenang dan terlelap. Rasa takut itu, sakit itu, lenyap tak berbekas. Sayangnya, terlalu mahal harga yang harus tubuh saya bayar kemudian.

Saya cuma berharap, semoga kamu tidak menjadi sebodoh itu. Karenanya, tolong berjanjilah dulu.

Silver Lining #1

Uh oh.

Semburat jingga mulai muncul di ufuk barat. Mendadak jantungku berdetak dua kali lebih kencang. Ini sudah memasuki hari ketiga, tetapi percayalah, aku tidak akan pernah terbiasa. Hilang sudah seleraku menghabiskan puding karamel yang tersisa di freezer, malah sekarang perutku mulai bergolak. Mual. Ingin muntah membayangkan apa yang akan kuhadapi beberapa saat lagi. Ragu-ragu kutinggalkan ruang makan kecil yang nyaman ini, dan membisikkan selamat tinggal perlahan pada kulkas yang menghidupiku beberapa hari ini. Aku yakin tidak akan bisa menikmati makanan jadi yang masih tersisa di dalamnya besok atau besoknya lagi karena kuperkirakan pasokan cadangan listrik hanya mampu bertahan tiga hari.

... kalau besok aku masih bisa kembali.

Susah payah aku menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Menenangkan diri. Menangis sudah jelas tidak ada gunanya. Tangisku pun sudah kering sejak hari pertama, saat aku menyadari bahwa aku benar-benar... sendirian. Setidaknya dalam radius 10km dari sini. Aku sudah lelah berusaha mencari jejak-jejak manusia yang tersisa, namun hal paling mendekati keberadaan manusia yang dapat kutemukan cuma beberapa ceceran darah merah yang masih baru. Manusia yang sudah bertransformasi tidak akan mengeluarkan darah lagi bila terluka, sehingga aku menyimpan sedikit harapan bahwa di luar sana, mungkin sedang bersembunyi dan menyusun strategi, masih ada manusia lainnya yang masih bernapas dan bernyawa.

Thursday, July 05, 2012

Jeruk Pontianak

"Duh, jangan jeruk pontianak, masih ijo-ijo gini. Kan kamu nggak suka asem."

"Jangan salah ya, jeruk pontianak itu emang luarnya ijo. Tapi dalemnya manisssss. Serius, deh."

"Oh, ya?"

"Iya. Nggak percayaan banget, sih."

"Hmm. Berarti kayak kamu dong."

"Kok aku?"

"Luarnya masih kayak bocah, eh, ternyata dewasa."

"....."

"Kenapa?"

"....apa mungkin karena aku orang Pontianak, ya?"

Sunday, June 17, 2012

Dunia Orang Dewasa

Nah, mari ucapkan selamat dulu kepada saya yang sudah berhasil survive selama seminggu di dunia perkantoran yang kejam dan akhirnya mampu menulis lagi di blog yang sudah bau debu karena lama ditinggalkan ini. Banzai!  

Sejujurnya, dunia perkantoran tidak sekejam yang saya bayangkan. Oke, sedikit, terutama ketika saya disuruh mengangkut map-map berdebu yang harus ditulisi dan disortir dari ruang berkas, persis tukang angkat-angkat di pelabuhan. Tetapi selain itu, kehidupan saya di kantor bahkan bisa dikatakan cukup menyenangkan. Serius loh, dan saya bukannya sedang di bawah todongan senjata siapa-siapa.


Hari pertama mungkin sedikit awkward, eh, atau bahkan sangat. Masuk ke kantor, celingak-celinguk persis anak hilang (atau alay yang nonton Dahsyat), berpakaian putih-hitam diantara pegawai-pegawai yang beratasan biru dan bawahan gelap, lengkap dengan kalung KTM kuning dan biru sesuai spesialisasi masing-masing. Belum-belum saya sudah merasa tidak diterima di sini. 

Setelah naik ke lantai dua (dengan tangga, karena belum berani pake lift, takut dikira penjaga pintu lift) dan meminta bertemu Kasubbag Umum, akhirnya kami ditempatkan di ruang rapat bersama sang ibu kasubag dan pak kepala kantor. Langsung canggung. Mau melipat tangan, takut kayak anak SD. Mau nyandar di kursi, takut dikira lagi di warung kopi. Akhirnya saya terpaksa duduk tegak, hitung-hitung biar kelihatan agak tinggi.

Pak kepala kantor adalah seorang bapak-bapak berpenampilan tipikal pejabat; memakai kemeja yang tampak mahal dan dasi yang matching, dengan badan agak gemuk serta muka ramah yang entah kenapa terasa familiar. Entah bapak ini pernah jadi bintang iklan pajak atau apa, tetapi rasanya kok wajahnya kayak sering nongol di tipi, ah, atau mungkin cuma perasaan saya saja. Untungnya, bapak ini memang seramah kelihatannya. Beliau kemudian menjelaskan dengan singkat kegiatan kami selama sebulan di sini, menyebutkan beberapa peraturan termasuk juga soal pakaian yang ternyata harus mengikuti kebijakan kantor (yaay, tidak akan salah kostum lagi) serta mengingatkan bahwa dalam proses pengumpulan data untuk penulisan laporan kami nanti, akan ada batasan-batasan yang tidak boleh kami langgar terkait rahasia jabatan. Oke, begitu saja, lalu beliau pun pamit undur diri, meninggalkan kami dengan ibu kasubag yang akan memberikan penjelasan lanjutan.

Skip bagian selanjutnya, dan tiba-tiba kami sudah ditempatkan di bagian masing-masing. Tidak ada rolling. Jadi selama sebulan penuh, kami akan mengabdi di satu bagian yang sama. Dan buat saya dan Kat, tempat kami mengabdi ini bernama Seksi Pelayanan. Hari pertama, seperti yang sudah saya sebutkan, diisi dengan angkut-angkut map, menulisi, dan menyortirnya. Kami bekerja seperti kesetanan. Menyortir dengan kecepatan waria dikejar SatPol PP. Menulis seperti sedang menyontek waktu ulangan. Dokumen-dokumen yang bertumpuk tidak manusiawi dalam satu keranjang setrikaan akhirnya selesai dalam dua hari. 

Soal kerjaan, jangan ragukan kemampuan kami yang mumpuni. Tetapi coba tanyakan soal sosialisasi. Hari pertama, kami sukses belum kenalan dengan siapa-siapa, selain Mbak Santi, seorang pegawai magang, lulusan kampus kami tahun lalu, sehingga mungkin merasakan penderitaan kami yang bagai anak ayam kehilangan induk dan kemudian mengajarkan kami banyak hal dengan baik hati. All hail Mbak Santi!

Namun di hari-hari berikutnya, kasta kami membaik. Sudah mampu bersosialisasi, meski sedikit. Sudah kenalan, sudah hapal nama-nama pegawai di Seksi Pelayanan. Sedihnya, ada berita duka cita di hari ketiga. Salah seorang pegawai di Seksi Pelayanan, seorang bapak yang ramah dan sering menyapa, berpulang ke Rahmatullah di hari sebelumnya. Innalillahi wa innailaihi rojiun. 

Jadi, begitulah. Kalau ada yang bertanya saya sudah bisa ngapain saja, hidung saya bakal kembang kempis dengan bangga. Saya sudah memperhatikan banyak hal, belajar banyak hal. Dan bagian terbaiknya, ini baru satu minggu! Bayangkan, apa yang akan kami dapatkan dalam waktu sebulan?

Monday, May 14, 2012

Di Suatu Bagian

Tommy

“Siang.”

Satu kata. Ditambah senyum manis yang tidak ada duanya. Ekspresiku sekarang pasti seperti habis menghirup ganja.

“Siang, Anti...” balasku, menggantung. Mencari-cari bahan untuk diobrolkan, lebih baik lagi kalau dia yang memulai duluan.

Tetapi Anti, seperti biasa, langsung melesat melewatiku dan menuju kubikelnya yang penuh kertas tempel dan dua pot kaktus sebagai hiasan, tidak melirikku lagi sama sekali.

Aku mendesah, lalu lunglai menuju mesin pembuat kopi. Cangkir ketiga hari ini. Demi proyek besar yang deadline-nya kurang dua minggu lagi, sekaligus pengurang frustasi karena lagi-lagi gagal mendekati Anti.

Anti. Seperti nama di contoh percakapan dalam buku bahasa Indonesia waktu masih SD dulu. Tetapi Anti yang ini istimewa. Cantik, anggun, dan penuh percaya diri. Bonus diskusi cerdas yang selalu tercipta setiap kali ada kesempatan mengobrol berdua—namun sayang jarang sekali terjadi. Cukup tiga kata untuk menggambarkannya dengan sempurna: calon Putri Indonesia. Aku heran dia belum pernah mendaftarkan diri sebelumnya.

“Pejuang kita gagal lagi hari ini,” bisikku, sambil menyandarkan lengan di kubikel Irina lalu menghirup kopi dengan sepenuh hati. “Pokoknya kamu harus bantu aku, Rin.”

Irina mendongak dari layar LCD komputernya. Alisnya mengerut. “Ini jam kerja, Tommy. Kamu tahu aku paling tidak suka diganggu saat kerja. Aku dibayar bukan demi curhat atau ide-ide gila khas orang jatuh cinta.”

Aku merengut. Irina dan idealismenya. “Ya sudah, curhat dan ide-ide gilanya aku bayar pake makan malam, deh. Tempatnya silahkan kamu yang pilih.”

Deal.” Dan Irina tidak repot-repot mengalihkan pandangannya dari layar, hanya mengacungkan jempol kirinya sedikit lebih tinggi, sambil tetap menarikan jari-jarinya di atas keyboard.

Aku tertawa kecil, mengacak rambutnya sekilas karena kutahu dia tidak suka kalau aku melakukannya, lalu melangkah balik ke mejaku, meninggalkan sahabatku dan umpatan-umpatannya di kubikelnya.

***
Irina

“Berlebihan tidak?” tanyaku akhirnya, setelah seperempat jam lebih mematut diri di depan kaca. Sebenarnya ini memang penampilanku yang biasa saja, kecuali blus baru yang kubeli di salah satu department store besar, kategori new arrival, dan sudah pasti tanpa diskon besar-besaran.

“Memangnya mau ke mana sih?” tanya Devi, teman berbagi apartemenku, jelas heran. Tidak biasa baginya melihatku menghabiskan sepertiga malam hanya demi kelihatan istimewa.

Kusebut sebuah restoran di salah satu mal terkeren se-Indonesia, lalu wajahnya berubah lucu. “Kamu pergi sama siapa?”

Ingin rasanya menjawab dengan muka tidak kalah lucu, ‘pacar baru’, lalu tertawa berguling-guling di kasur menceritakan kisah kasih kami yang masih baru dan momen-momen kecil yang diulang diikuti kikik panjang. Tetapi tidak bisa. Karena memang tidak ada pacar baru, momen-momen kecil, bahkan kisah kasih untuk dijadikan bahan cerita.

“Cuma Tommy,” jawabku. Berusaha terdengar biasa. Meski kurasa tidak berhasil karena kudengar lidahku masih tergelitik saat mengucapkan namanya.

Devi langsung pasang tampang muram. Bukan salahnya. “Rin...”

“Tidak apa-apa, aku biasa saja.” Bohong tentunya. Sikapku malam ini jelas sekali memberi indikasi bahwa aku sama sekali tidak biasa.

“Rin, kamu jangan sampai terbawa—“

“Iya, iya, aku ngerti. Cuma makan malam biasa, kok. Lagipula dia mau curhat dan minta petunjuk soal anak baru di bagianku, si Anti...”

Devi sudah jelas sekali ingin menyuarakan teriakan-teriakan protes, tapi teredam oleh nada notifikasi pesan masuk di ponselku.

Aku sudah di depan apartemenmu.

“Eh, ini Tommy sudah datang. Aku pergi dulu, ya.” Aku mengalihkan perhatian, lalu buru-buru meraih high heels warna silver di rak sepatu.

Masih dapat kulihat jelas ekspresinya tidak rela. “Rin, soal Tommy...”

“Hm?” Aku pura-pura sibuk memasang sepatu. Pura-pura tidak mau tahu. Ah, mungkin memang tidak mau.

“... Bilang sama dia kalau sudah sampai nggak usah pake sms segala, kita punya bel pintu.”

Aku memasang senyum termanisku pada Devi tersayang. Syukurlah dia tidak bilang apa-apa. Biarkan aku nikmati malam ini, selagi masih bisa.

Sunday, May 13, 2012

Sedikit Cuplikan Hidup

Rasa-rasanya saya sudah lupa caranya nulis blog. Serius. Belakangan cuma menerbitkan tulisan-tulisan flash fiction kurang bermutu, yang ditulis semata menyalurkan kegalauan (tapi demi apapun semua tulisan saya itu beneran cuma fiksi loh ya) dan hasrat tidak mau kalah dengan blog tetangga sebelah. Akhirnya rindu juga  dengan posting-posting gila yang isinya cuma curhat serta pamer kenelangsaan hidup menjadi bulan-bulanan dunia yang kejam.

Jadi, masa perkuliahan reguler saya resmi selesai. Tinggal UAS terakhir minggu depan, break untuk persiapan penyusunan outline laporan PKL, dan kegiatan PKL itu sendiri. 
Yak, sebentar lagi saya pensiun sementara jadi mahasiswa. Lalu terburu-buru mengejar kereta pagi, berdesak-desakan dengan komuter lainnya, sambil berhati-hati agar tidak diisengi maniak mesum seperti di berita-berita.
Jujur saya bakalan frustasi. Terbiasa berangkat kuliah jam delapan lewat lima untuk kelas jam delapan, saya  nggak mengerti bakal jadi apa saya kalau harus mengejar kereta dari pukul lima. Sakit jiwa. Masih untung teman kost saya, tepat di depan kamar, ditempatkan PKL di kantor yang sama, sehingga paling tidak ada yang mengingatkan untuk berangkat bareng ke stasiun.

Omong-omong, orang-orang terdekat saya tidak setuju saya berangkat bolak-balik naik kereta. Nggak tega, katanya. Seorang teman malah dengan kasual bilang, "Aku takut si Desy kejepit terus jatuh dari kereta." 
Beberapa juga tidak setuju karena yakin saya bakalan datang terlambat. "Kamu masuknya jam berapa, bangun jam berapa..."

Ah, sudahlah. PKL masih nanti-nanti. UAS saja belum mulai, apalagi selesai. Dan belum apa-apa sudah terancam suram. /nangis di pojokan/

Sebenarnya masih banyak yang ingin saya ceritakan tentang kehidupan kuliah saya. Teman yang ini, dosen yang itu, cowok yang ini, maho yang itu... dan sebagainya. Belum lagi teman kost saya yang semuanya luar biasa. Sayang, voucher kuliah gratisnya sudah mau habis. Sebentar lagi saya bakalan kehilangan bahan baku utama cerita-cerita terfavorit saya hingga nanti sudah tua.

Dasar waktu. Saat ingin dipercepat malah berjalan sangat lambat. Saat ingin diperlambat, apa-apa hanya tinggal sekejap.

Oh, satu lagi, selamat ulang tahun untuk blog ini! Harusnya tanggal 7 Mei sih, tapi entah waktu itu saya sedang kemana. Dan kalau boleh menyombongkan diri, blog ini umurnya sudah enam tahun loh. Sudah bisa masuk SD. Lumayan lah.
Dan apalah artinya blog ini tanpa para pembacanya. Baik yang diseret paksa, sekedar intip-intip iseng, atau memang punya hubungan istimewa. Pokoknya, terima kasih banyak! Semoga update berikutnya bisa lebih bermutu daripada yang satu ini. :)

Friday, May 04, 2012

Yellow

It was 9:00 PM and the full moon in the night sky looked so yellow. My favorite coloronce, before this night. I had no bad feelings, well, maybe because what happened next wasn't considered as a bad thing.

He called me right before the clock turned 9:01. I picked up the call immediately, thought this was just his usual random chatting after hours of hard work in the office. I even prepared some stories; what happened to me in the cake shop, old friend who ordered 7 levels wedding cake, and every little things I found amusing today.

"Are you still up?" was his first question. It caught me off guard.

"Who sleeps at 9 PM?" I asked back jokingly, tried to push off the thought of him being weird.

"Haha, just maybe."

It was a forced laugh, I should have known. "So, how's your day?"

"Nothing special." Silence for a moment. "Can I meet you, like, right now? I'll come by your house. I have... something important to tell you."

And that was it, I knew. I stopped trying to think positive. This was positive: He's going to write me off.

"I know what you want to tell me." I couldn't believe I just said that.

"Um? No, you don't."

"You're gonna dump me for your pretty next-door girl."

And yes, of course I was right. The girl had always been  his main topic these few days. I was just in denial before, but I totally knew that he was in love... no, he was crazy of her.

"Dump you? Why would I dump you? You're my only close friend, Re. I wouldn't have anyone else to go if I lost you."

My throat went dry, "I know, right."

It was one yellow moon night in my busy little town I would never forget. I was only his friendclose friend, as what he liked to sayand that was it.

Monday, April 09, 2012

The Untranslated Code

Bian merutuki kakinya yang mulai terasa perih. Ya, tentu saja perih. Perjalanan sejauh lebih dari 20 mil harus ia tempuh dengan berjalan kaki, yang hanya terbungkus sepatu kanvas lusuh tanpa kaus kaki melapisi. Namun perjalanan masih terlalu panjang dan lama tanpa perlu ditambah-tambahi sesi untuk mengeluh. Bian cuma bisa meringis, menggerigiti bibir, yang kering terkena angin debu yang berhembus setiap 15 menit sekali, dan mencoba mempercepat langkahnya.

Ia harus tepat waktu. Jika tidak, maka semua akan berakhir.

Segalanya.

***

Rumit

Bukannya tidak ingin bicara, tetapi tidak bisa. Tidak dengan jutaan mata di seantero negeri tertuju padanya. Entah senang atau sedih, aku tidak mengerti, saat aku menyadari bahwa aku terlanjur jatuh cinta pada.... katakanlah, seorang bidadari.

"Artikel tentangmu berderet-deret muncul hari ini," godaku, saat kami akhirnya punya kesempatan untuk makan siang berdua, setelah sekian lama.
"Tentangmu juga," balasnya. "Program variety show terbaru kalian ternyata sukses besar. Bukannya aku nggak menduga sebelumnya, sih."
"Oh ya? Memangnya kamu nonton juga?"
Tiba-tiba dia terdiam, menghentikan tusukan garpu di tenderloin steak nya. "Aku liat episode itu. Waktu kamu bilang... kamu mau seseorang jadi bintang tamu."
Seseorang. Oh. Aku teringat.
"Oh, itu. Episode minggu lalu." Bodoh. Aku tidak tahu harus bilang apa lagi.
Selanjutnya, acara makan siang ini hampir terasa tidak berarti lagi. Hanya diam, dan mungkin sedikit basa-basi yang bahkan tidak kuingat tentang apa. Tidak penting. Tidak ada lagi yang terasa penting, selain mengembalikan senyuman di wajah kekanakannya. Aku sudah menghancurkan siangnya hari itu.


Hubungan ini rumit. Seperti ia yang merasa tidak punya hak untuk sekedar mengucapkan 'aku cemburu', tidak pula aku punya hak untuk menjelaskan apapun. Kesalahpahaman mengambang. Aku ingin melakukan sesuatu, tetapi tidak tahu.

"Kamu selalu menyebutkan nama orang itu di setiap interview. Tipe ideal. Lelaki idamanmu," ucapku akhirnya. Menyiramkan minyak pada api, aku tahu, tetapi itu karena aku sudah kehabisan ide untuk memancingnya bicara. 
Ia terlihat tidak senang. Namun sedetik kemudian, ia menghela napas. "Namamu juga. Konteksnya memang berbeda, tetapi namamu selalu ada. Sayang reporter-reporter itu kadang lebih memilih untuk mengeditnya dan hanya meninggalkan satu nama."
Rasanya seperti disiram dengan seember air dingin. Kesadaranku menyergap. "Sungguh?"
"Memangnya kapan aku pernah bohong," jawabnya, berpura-pura tampak kesal. Tapi aku bisa menangkap sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya, entah karena melihat ekspresi wajahku yang kaget berlebihan atau mungkin--kurasa--karena wajahku yang tanpa sadar memerah. 
"Kamu tahu kenapa aku selalu menyebutkan nama orang yang sama untuk pertanyaan itu?" tanyaku tiba-tiba.
Senyum kecilnya menghilang, ia tak tampak ingin tahu. Ragu, ia tetap bergumam, "Memangnya kenapa?"
"Wajah bulat, senyum malu-malu... tidakkah itu terasa familiar?" Aku tersenyum lebar, lalu mengacak poni depannya yang tersisir rapi.
Bibirnya mengerucut, "Tidak, memangnya apa?"
"... Kamu. Waktu kita pertama kali bertemu."

Perjalanan pulang yang panjang ini mungkin akan terasa lebih panjang lagi dengan kecepatan berkendaraku yang kuatur selambat mungkin. Aku butuh waktu lebih lama berdua saja. Pengganti hari-hari sebelumnya di mana kami hanya saling mengangguk sopan di belakang panggung, atau berwajah masam meski saling duduk bersebelahan di konferensi pers. Tidak ada kata pun tidak apa. Cukup lagu yang menjadi musik latar. Lagu ciptaanku. Untuknya, meski tidak kukatakan, seperti banyak hal lain lagi yang tidak pernah kukatakan padanya. 
Toh melihat senyum dan semburat merah jambu di wajah kecil yang belakangan tampak semakin pucat itu, kurasa ia pun sudah tahu.

Friday, March 30, 2012

Kau Tahu Terlalu Banyak

Seharusnya kau bisa melihatnya seperti biasa saja. Ia mati dengan damai. Ia mati tersenyum, ia bahagia.

Namun otakmu tak bisa berhenti membuat asumsi-asumsi mengerikan. Rekonstruksi kejadian cepat berputar di kepalamu, lalu sedikit demi sedikit, muncul lah bukti-bukti yang menguatkan teori itu.

Pada akhirnya, benang kusut itu pun akhirnya kau uraikan. Tentang kejadian sebenarnya, kau akhirnya tahu. Kau tahu terlalu banyak dari yang sebenarnya kau perlu.

Seperti bahwa... pisau itu milikmu. Kau yang memberikan benda itu padanya, meski tanpa kau sadar dan sengaja. Kau pikir itu akan membuatnya senang dan menemaninya di kala bosan.

Tapi pisau itu cuma melukainya. Goresan-goresan kecil yang memberi sensasi ketagihan, yang kemudian melunjak menjadi tikaman-tikaman tajam. Ia bunuh dirinya. Karena pisaumu. Karenamu.

Ketika kesadaran atas semua ini menerpamu, semuanya sudah terlambat. Ia sudah mati. Meski kau hidup, masih, bersikap seakan tanpa dosa.

Lalu selanjutnya tak pernah terpikirkan olehmu.

Pisau yang sama. Kering darah, bau amis.

Perlahan-lahan, awalnya tanpa sadar, kau mulai menusuki dirimu sendiri dengan pisau tersebut.

Berpikir; Karena tak seharusnya kau biarkan hidup, sesuatu yang sejak awal tak pantas bernyawa.

Wednesday, March 28, 2012

Salju Rindu dan Musim Semiku


Rindu itu mirip kepingan salju. Jatuh satu-satu, namun tanpa sadar sudah membungkusku menjadi sebongkah utuh manusia salju yang kaku. Dingin membuatku mati rasa. Dingin membuatku beku, hatiku.

Sudah hampir seminggu tak ada kabar darimu. Terakhir kita bertemu di sela-sela pekerjaan, itu pun hanya sekedar bertukar sedikit senyum dan anggukan di tengah koridor belakang panggung yang ramai. Bahkan sepatah kata pun tak sempat kuucapkan.
Salah satu hal yang menahan air mataku untuk tidak jatuh setiap malam, karena aku tahu bahwa hubungan ini sama sekali tidak berhak untuk dihargai sebuah tangisan. Harusnya kita bahagia, sama seperti dulu, sebelum dunia seakan hanya berputar demi kita, dan segalanya berubah serumit gumpalan benang kusut yang tak sempat kuselesaikan untuk dirajut menjadi sepasang scarf untuk kita berdua. 
Lagipula air mataku sudah beku digigit malam musim dingin, saat rinduku di langit luruh menjadi kepingan-kepingan salju.

 ***

Aku menyebutkan namamu lagi di tengah-tengah interview dengan sebuah majalah kenamaan. Entah sadar atau tidak; mungkin memang terbukti bahwa aku selalu menyimpan namamu di sudut pikiranku sepanjang waktu, atau keinginan terselubung untuk memamerkanmu ke seluruh dunia telah terlalu besar dan memberontak ingin keluar.
Namun namamu di layar teleponku-lah yang membuatku terperanjat dan, dalam sepersekian detik, aku langsung merasa menyesal. Tidak seharusnya aku begitu egois, mengabaikan segala kemungkinan yang akan terjadi hanya karena sedikit saja kebocoran informasi berbalut curahan hati. 
"Ya?"
"Aku pulang ke Seoul siang ini," ucapmu, dengan nada ceria yang paling aku suka. "Apa kamu punya waktu nanti sore?"
"Sore tidak bisa... tapi jadwalku selesai pukul tujuh malam."
"Bagus sekali. Tunggu aku nanti malam, ya."
Senyumku mungkin sudah hampir mencapai daun telinga. "Iya."
Aku sudah bersiap menutup sambungan telepon ketika kamu mendadak menyela.
"Dan terima kasih sudah menyebutkan namaku di interview itu."
Wajahku memerah. Harusnya aku tahu. Dari nada suaramu, aku mengerti bahwa kamu menganggapnya sebagai suatu 'pernyataan cinta'. Hal yang selama ini selalu kita simpan diam-diam tanpa pernah saling diucapkan.


Dan buatku, kamu seperti musim semi. Musim semi hangat yang melelehkan salju. Mencairkan keping rindu, mengubahnya menjadi kristal-kristal air yang melegakan. Tidak ada lagi mati rasa ketika hatiku mulai kembali menumbuhkan bunga-bunga.

Saturday, March 24, 2012

Unpleasant

Perasaan saya ke kamu itu persis kayak nulis blog. Draftnya aja yang banyak bertumpuk-tumpuk, tapi yang berhasil di-publish nggak ada.

--Mikochin, 20 tahun, terserang writer's block stadium akhir; tinggal tunggu dimakamkan.

Tuesday, February 21, 2012

Happy Three Friends... yang Tiada

Sudah berapa tahun sejak foto ini diambil? Saya lupa.
Sudah berapa tahun sejak kita kumpul bertiga? Saya lupa juga.
Terlalu lama, saya takut pada akhirnya saya tidak ingat bahwa 'kita' pernah ada.

di parkiran, dengan bantuan fitur self-timer dan tas pinjeman dari mama
Salahkan jarak, dan mungkin, waktu. Tambahkan juga kebodohan saya yang tak sengaja menghapus nomor-nomor kontak di hengpong sehingga kehilangan satu-satunya jalan untuk merengkuh kalian.

Saya masih ingat percakapan ini. Dulu, dulu sekali.
"Duh, rasanya ga pengen cepat-cepat lulus, rasanya pengen balik ke masa-masa kita masih kelas satu."
"Ah, ga mau ah. Waktu kelas satu aku belum kenal kalian."
"Ya itu... Aku pengen kita ngulang lagi dari kelas satu, tapi dengan kondisi aku udah ketemu kalian berdua. Jadi, kita mulai bersahabat dari awal sekali."
Rasanya masih banyak janji-janji yang belum ditepati, aksi-aksi yang belum dieksekusi, dan orang-orang di sekitar yang belum diberi komentar.

Teruntuk vitamin-vitamin tawa saya yang paling cantik dan menyenangkan: saya rindu kalian.

Saturday, February 18, 2012

Personality

I was bored, so this is what I found when I aimlessly surfed the net.

Your Stress Sources:
"Feels unappreciated and in an unpleasant position. Needs personal recognition and the respect of others, since she has not been about to find partners who value the same things she does. She holds back her emotions and is unable to give fully of himself, but lasting isolation makes her want to change those ways and surrender to her deep urges. Giving in to her natural instincts and urges is a sign of weakness, so feeling this way makes her weak and irritable. Fighting these urges makes her feel stronger, as if she can take on anything that comes her way. Longs to be valued as an important associate and admired for her personal qualities."

Your Restrained Characteristics:
Current events leave her feeling forced into compromise in order to avoid being cut off from affection or future cooperation.
Struggles to make her demands clear, but feels ignored. Feels resentful, but acts as if she doesn't care, doing what is necessary to keep peace.
Feels trapped in a helpless situation and is desperately seeking relief.
Current situation is leaving her doubtful and cautions about becoming intimately involved with others.

Your Desired Objectives:
Relies on love and friendship to bring her happiness. She is in constant need for approval and this makes her willing to help others in exchange for love and understanding. She is open to new ideas as long as they are productive and interesting.

Your Actual Problems:
"Agitated, unpredictable, and irritation as well as lack of energy and inability to cope with any more pressure placed on her have left her feeling stress and tormented by her situation. Feels powerless to come up with a solution on her own; desperately wishes a solution will present itself and allow her a chance to escape."
"Feeling unimportant in this current situation, and is looking for different conditions where she will be able to better prove her worth and importance."

-------

That was the result after a less-than-5-minutes color test. Based on above result, honestly, I'm pretty desperate, aren't I?
Truth is, it's mostly true.
Damn, I'm pathetic. Hahaha.

Wednesday, February 15, 2012

Rumput Tetangga

.... kelihatan lebih hijau dan segar. Mungkin memang lebih hijau dan segar. Mungkin itu merupakan rumput keturunan yang bagus, disilangkan dari rumput jenis ini dan itu, sehingga menciptakan rumput jenis baru yang kelihatan jauh lebih istimewa dari rumput-rumput lainnya.

Termasuk rumput di halaman rumah saya.

Kusam saja, hampir tidak berwarna. Kadang-kadang kering, dan terasa gatal ketika di pijak. Bahkan bunga-bunga tidak mau tumbuh diantara rerumputan tidak berharga ini--mungkin hanya gulma.

Sebab itu saya lebih senang dengan rumput tetangga. Mengagumi kesegaran dan hijaunya, ikut membantu membersihkan gulma ketika musimnya tiba, serta ikut mengingatkan sang tetangga kapan rumputnya harus dipotong dan dibersihkan. Ikut memuji-mujinya saat ia kelihatan cantik dari balik pagar ke jalan raya.

Sejujurnya saya iri pada tetangga. Kenapa rumputnya istimewa? Kenapa rumput itu bukan milik saya saja? Rumput saya jelek dan tidak membuat bangga. Lebih sering saya menjadikannya lelucon diantara teman-teman saat saya kehabisan bahan untuk bercanda.

Lalu hari ini saya iseng menatap hamparan rumput di halaman rumah saya yang lama tidak diperhatikan. Ia kelihatan semakin jelek, apalagi semenjak beberapa hari ini saya hanya peduli pada rerumputan di sebelahnya. Tidak bisa dibandingkan. Untuk apa lagi saya sirami dan saya pelihara, toh ia akan tetap jelek, seperti aslinya.
Tetapi.

Rumput tetangga selalu disiram setiap hari. Dibersihkan, diberi pupuk. Pemiliknya juga selalu cinta dan memuji-mujinya setiap hari. Apakah itu rahasianya kelihatan begitu indah dan cantik?

Awalnya rumput halaman saya juga cantik, mungkin. Saya sudah lupa. Saya terbutakan kekecewaan ketika rumput halaman saya tidak tumbuh sebagus yang saya inginkan. Lalu ia saya lupakan, dan perlahan-lahan tanpa sadar telah saya buang.

Wajar jika ia menjadi semakin jelek. Wajar jika ia tidak bisa dibanggakan. Saya tidak pernah berusaha berbuat apa-apa, menyirami, memberi pupuk, membersihkan, apapun. Ia cuma tumbuh seperti biasa di sana, sudah syukur tidak langsung mati kekeringan, atau apa.

Mungkin sudah seharusnya saya berhenti mengagung-agungkan rumput tetangga. Sampai kapanpun ia tidak akan bisa menjadi milik saya. Rumput halaman saya sendiri butuh disirami, dipelihara. Tidak akan jadi secantik rumput tetangga memang, tapi saya bisa berusaha. Setidaknya ia tidak lagi memalukan.

Setidaknya ia terselamatkan dari keringnya kematian.

Wednesday, February 08, 2012

Segitiga Tak Bersudut


Mataku melirik ragu-ragu, lalu mencoba menangkap tatapan matanya. Lirih aku mengucapkan kalimat-kalimat yang kini hampir tidak ada maknanya lagi karena terlalu sering diucapkan, seperti mantra.

Takut-takut aku memperhatikan reaksinya. Dia bertahan dalam hening. Cukup lama hingga membuat mataku kering karena takut untuk sekedar sekali berkedip.

Akhirnya ia menghela napas. "Oh, begitu." Dan beberapa kalimat-kalimat lainnya yang sudah tidak fokus kudengarkan. Aku sudah cukup lega ia tidak mengamuk ataupun mengeluarkan reaksi brutal lainnya.

Kubiarkan ia bercerita. Melontarkan alasan-alasan bijak, pun kulihat ia berusaha tampak tegar. Aku merasa bersalah, sedikit, namun bagaimanapun aku sudah terlalu kebal untuk terlarut dalam simpati.

Ketika ia akhirnya selesai, aku hanya berusaha secepatnya berlalu. "Sudah ditunggu Arina," alasanku. Tidak bohong, meski sama sekali bukan alasan yang utama. Aku tidak mau menatap wajah sendunya, dipaksa dibayang-bayangi cap penjahat tanpa perasaan yang semena-mena.

"Lagi?" tanya Arina. Retoris sebenarnya, karena aku bisa melihat salah satu sudut bibirnya terangkat; menertawakanku.

"Kamu sudah tahu peraturannya," jawabku seadanya.

Ia mengangkat bahu. "Kupikir dengan yang kali ini akan berbeda. Sayangnya tidak."

"Hanya satu orang, Rin," jawabku enggan. Malas rasanya harus mengungkit-ungkit hal ini lagi. "Jika dengan dia, semuanya pasti berbeda. Sayangnya..."

"... sayangnya tujuh tahun berlalu dan dia masih belum menyadarinya?" Arina terkikik kecil di ujung kalimatnya. "Ini hal paling bodoh yang pernah dilakukan oleh orang secerdas kamu, Bel."

"Bukan aku yang tidak menyadari apapun selama tujuh tahun," sahutku defensif.

"Tapi kamu menunggu tujuh tahun tanpa berbuat apa-apa! Ini bisa saja berlanjut menjadi sepuluh tahun penantian, dan kamu sudah terlanjur jadi perawan tua."

"Aku nggak akan jadi perawan tua. Kalau dia pada akhirnya menikah dengan orang lain," aku mengucapkannya dengan pahit, "aku akan menikah dengan siapapun yang mau denganku. Berondong muda ganteng juga boleh, toh aku punya uang."

"Dan selama itu... kamu nggak akan pernah bilang duluan?"

Aku menarik napas panjang. "Nggak."

"Prinsip bodohmu itu, ya? Ini zaman modern, Bella, nggak ada gunanya juga kamu pertahankan prinsip itu, toh nggak bakal ada yang mengapresiasi. Tidak juga dia."

"Terserahmu, wanita itu harus punya prinsip."

Akhirnya Arina menutup perdebatan tidak penting kami dengan mengangkat bahu, tepat sebelum aku memasuki bangku pengemudi mobil, ketika ponselku berbunyi nyaring.

"Dari Ergi," bisikku panik. "Kamu yang bawa mobilnya deh," kataku sambil melemparkan kunci mobil ke tangan Arina, dan kamipun berpindah posisi.

"Halo?"

"Bella, aku dengar Ryan melamar kamu? Jadi, kalian resmi tunangan akhirnya?"

Arina, yang mungkin mendengar isi percakapan telepon ini, cuma memutar bola mata sambil menjalankan kemudi.

"Mm... enggak, Gi."

"Lagi?" Ia terdengar kaget. "Kenapa?"

Seandainya ia bisa kuberitahu, tetapi sayangnya mulut ini terkunci serapat-rapatnya. Dan kode kombinasinya ternyata cuma sebuah prinsip bodoh, yang kata Arina mungkin akan membuatku menyesal selama-lamanya.

Monday, January 30, 2012

Testimoni



Saya ingat waktu itu sedang iseng memantau dashboard blogger, tetiba terbacalah sebuah post dari Gilang tentang testimonial teman sekelas, sebuah 'komunike' (istilahnya beliau haha) yang tersisa dari perjalanan kami para makhluk-makhluk penghuni Core I3 ke Situ Gunung, Sukabumi. Mendadak merasa iri dan ingin juga mengabadikan testimoni untuk saya yang dicorat-coret di atas sebuah kaos kepanitiaan yang baru pernah dipakai sekali, maka inilah hasilnya:
·         Ter-hot, lucu, sok imut, jarang ngomong.
·         Pendiam, tapi aslinya lain. Sering ngelamun pas kuliah.
·         Lama eci ngelamun = lama saya makan.
·         Awalnya pendiem, tapi rame juga kok..
·         Easy going banget, diem tapi bisa rame, kadang jayus, manis.
·         Kamu itu hot banget ci! Tapi cerewetnya kok sering di dunia maya sih, haha.
·         Punya kepribadian yang dalam. Jago nulis, pengertian, cute. A lovable friend.
·         Leeemot... imutmut.
·         Akhirnya bisa juga diajak maen :D
·         Temen telat gue. Keliatannya ga sediem penampilannya.
·         Keliatannya polos tapi ternyata aneh juga, hehe..
·         Update terus blog-nya. Hidup emang lebih menarik jika dilihat dari sisi yang beda...
·         CALM
·         Sukses chi. Tambah dewasa aja! J
·         Echi unyuuu xD  ©
·         Cantik kalo ga jutek.
·         Eciii, mari kita jadi vegetarian!!! :D
·         Sepertinya pendiem, tapi blognya “waw”. Salut!
·         Pertahankan jilbabmu J
·         Dengan segudang buku yang kamu baca, kamu cukup sedikit berbicara untuk menjadi luar biasa.
·         Kalem!!
·         Mana karya-karyanya, kok berhenti. Ayo terusin jangan pikirkan apa kata orang, pikirkan apa yang membuat kita “bahagia”.
·         Echi kocak, lugu (bo’ong) :p
·         Jangan sering telat cik... semangat!
·         Tetap jadi wanita yang feminim ya.
·         Cewek ter-easy going. Lil bit freak but I like your style ©
·         Tampang diem tapi rame juga.. sukses terus yaa.. ^_^
·         Maaf ci, selama ini aku Cuma bercanda, semua yang lo denger dari gue itu gak bener =D
·         Be yourself ya ^_^ chi, ayo J
·         Kutunggu undanganmu 7 tahun lagi. Semoga menjadi wanita sakinah mawadah warahmah. Alhamdulillah amin!

  
Kesimpulan yang saya dapat?
Hmm, ternyata di mata orang yang berbeda, kesan yang sampaikan juga berbeda-beda. Bipolar disorder saya belum sembuh benar ternyata.
Pelajaran yang bisa diambil?
Saya mungkin harus bisa belajar lebih terbuka ke lebih banyak orang. Gak diem mengkerut melamun di kelas tapi heboh grasa grusu di dunia maya. Bahkan sampai ada yang bilang kalem dan feminim... luar biasa, terima kasih saya haturkan kepada Anda yang berhasil termakan pencitraan saya hahaha :D
Dan saya baru sadar, ternyata banyak juga yang baca blog saya... dipuji-puji pula. Aduh mak, saya jadi besar kepala. Hahaha.

Intinya saya ingin berterimakasih sangat-sangat-sangat pada teman-teman yang telah menuliskan kesan dan pesannya di kaos butek ini. Terima kasih atas perjalanan dua harinya yang cukup berharga untuk dikenang sampai tua.
Saya senang semesta menempatkan saya diantara kalian semua; saya senang menjadi bagian dari 'kita'. :)