Tommy
“Siang.”
Satu
kata. Ditambah senyum manis yang tidak ada duanya. Ekspresiku sekarang pasti
seperti habis menghirup ganja.
“Siang,
Anti...” balasku, menggantung. Mencari-cari bahan untuk diobrolkan, lebih baik
lagi kalau dia yang memulai duluan.
Tetapi
Anti, seperti biasa, langsung melesat melewatiku dan menuju kubikelnya yang
penuh kertas tempel dan dua pot kaktus sebagai hiasan, tidak melirikku lagi
sama sekali.
Aku
mendesah, lalu lunglai menuju mesin pembuat kopi. Cangkir ketiga hari ini. Demi
proyek besar yang deadline-nya kurang
dua minggu lagi, sekaligus pengurang frustasi karena lagi-lagi gagal mendekati
Anti.
Anti.
Seperti nama di contoh percakapan dalam buku bahasa Indonesia waktu masih SD
dulu. Tetapi Anti yang ini istimewa. Cantik, anggun, dan penuh percaya diri. Bonus
diskusi cerdas yang selalu tercipta setiap kali ada kesempatan mengobrol berdua—namun
sayang jarang sekali terjadi. Cukup tiga kata untuk menggambarkannya dengan
sempurna: calon Putri Indonesia. Aku heran dia belum pernah mendaftarkan diri
sebelumnya.
“Pejuang
kita gagal lagi hari ini,” bisikku, sambil menyandarkan lengan di kubikel Irina
lalu menghirup kopi dengan sepenuh hati. “Pokoknya kamu harus bantu aku, Rin.”
Irina
mendongak dari layar LCD komputernya. Alisnya mengerut. “Ini jam kerja, Tommy. Kamu
tahu aku paling tidak suka diganggu saat kerja. Aku dibayar bukan demi curhat
atau ide-ide gila khas orang jatuh cinta.”
Aku
merengut. Irina dan idealismenya. “Ya sudah, curhat dan ide-ide gilanya aku
bayar pake makan malam, deh. Tempatnya silahkan kamu yang pilih.”
“Deal.” Dan Irina tidak repot-repot
mengalihkan pandangannya dari layar, hanya mengacungkan jempol kirinya sedikit
lebih tinggi, sambil tetap menarikan jari-jarinya di atas keyboard.
Aku
tertawa kecil, mengacak rambutnya sekilas karena kutahu dia tidak suka kalau
aku melakukannya, lalu melangkah balik ke mejaku, meninggalkan sahabatku dan
umpatan-umpatannya di kubikelnya.
***
Irina
“Berlebihan
tidak?” tanyaku akhirnya, setelah seperempat jam lebih mematut diri di depan
kaca. Sebenarnya ini memang penampilanku yang biasa saja, kecuali blus baru
yang kubeli di salah satu department
store besar, kategori new arrival,
dan sudah pasti tanpa diskon besar-besaran.
“Memangnya
mau ke mana sih?” tanya Devi, teman berbagi apartemenku, jelas heran. Tidak
biasa baginya melihatku menghabiskan sepertiga malam hanya demi kelihatan
istimewa.
Kusebut
sebuah restoran di salah satu mal terkeren se-Indonesia, lalu wajahnya berubah
lucu. “Kamu pergi sama siapa?”
Ingin
rasanya menjawab dengan muka tidak kalah lucu, ‘pacar baru’, lalu tertawa berguling-guling di kasur menceritakan
kisah kasih kami yang masih baru dan momen-momen kecil yang diulang diikuti
kikik panjang. Tetapi tidak bisa. Karena memang tidak ada pacar baru,
momen-momen kecil, bahkan kisah kasih untuk dijadikan bahan cerita.
“Cuma
Tommy,” jawabku. Berusaha terdengar biasa. Meski kurasa tidak berhasil karena
kudengar lidahku masih tergelitik saat mengucapkan namanya.
Devi
langsung pasang tampang muram. Bukan salahnya. “Rin...”
“Tidak
apa-apa, aku biasa saja.” Bohong tentunya. Sikapku malam ini jelas sekali memberi
indikasi bahwa aku sama sekali tidak biasa.
“Rin,
kamu jangan sampai terbawa—“
“Iya,
iya, aku ngerti. Cuma makan malam biasa, kok. Lagipula dia mau curhat dan minta
petunjuk soal anak baru di bagianku, si Anti...”
Devi
sudah jelas sekali ingin menyuarakan teriakan-teriakan protes, tapi teredam
oleh nada notifikasi pesan masuk di ponselku.
Aku sudah di depan apartemenmu.
“Eh,
ini Tommy sudah datang. Aku pergi dulu, ya.” Aku mengalihkan perhatian, lalu
buru-buru meraih high heels warna
silver di rak sepatu.
Masih
dapat kulihat jelas ekspresinya tidak rela. “Rin, soal Tommy...”
“Hm?”
Aku pura-pura sibuk memasang sepatu. Pura-pura tidak mau tahu. Ah, mungkin
memang tidak mau.
“...
Bilang sama dia kalau sudah sampai nggak usah pake sms segala, kita punya bel
pintu.”
Aku
memasang senyum termanisku pada Devi tersayang. Syukurlah dia tidak bilang
apa-apa. Biarkan aku nikmati malam ini, selagi masih bisa.