Thursday, October 06, 2011

Klise; Tambah Usia ≠ Tambah Dewasa


Saya termasuk orang yang takut menjadi tua. Oke, nggak sebanyak takut (lebih tepatnya jijik, geli, serangan rasa mual tiba-tiba) akan makhluk bernama kecoa, tapi tetap saja. Rasa takut itu—jadi tua, bukan kecoa—adalah salah satu alasan terbesar saya cenderung suka sok imut.

Sok imut.
Tolong jangan hakimi saya dulu. Maksudnya bukan saya berusaha keliatan kayak bocah usia 6 tahun dengan pita di mana-mana dan suara cadel dibuat-buat yang bikin pendengarnya sariawan. Yah, mm, kadang-kadang, mungkin, yaaa tahulah, saat alam bawah sadar memegang kendali fungsi tubuh atau efek samping akibat saya kebanyakan menonton drama Asia yang mana tokoh wanitanya bertingkah laku minimal 7 tahun lebih muda.

Nah, definisi sok imut yang lebih sering saya lakukan ini tepatnya yaitu mengaku-ngaku minimal 1 tahun lebih muda dengan mata berkedip-kedip dan berbinar-binar kemilau. Terima kasih pada orang-orang di sekitar saya yang sudah membangun mental sok imut pada diri saya dengan mengatakan bahwa kelihatan lebih muda dari usia saya sebenarnya—ya, lihatlah bapak-bapak ibu-ibu kakak-kakak dan adik-adik, lihat akibatnya, sekarang saya menyombongkan diri di blog sepi rendah mutu tentang keimutan saya yang setelah dipikir-pikir belum jelas valid tidaknya.
Omong-omong soal validitas, beberapa waktu yang lalu saya pergi ke bank sendirian untuk mengganti buku tabungan serta meminta nomor TAN baru untuk aktivitas net banking. Demi kesan dewasa yang sesuai dengan imej perbankan, maka saya pun memilih mengenakan wedges 7 cm kesayangan dan kacamata (sebenarnya saya berhenti pake softlense karena terlalu malas untuk repot). Namun apa yang terjadi, saya malah menerima pertanyaan tak senonoh dari customer service, “Jadi, Dik Desy masih sekolah, ya?”

Ya, sejujurnya saya senang dibilang masih kecil. Saya senang dibilang tampak lebih muda. Saya senang saat adik kelas saya mengira saya satu angkatan dengan mereka atau dengan seenaknya memanggil saya tanpa embel-embel ‘Kak’ (sebenarnya karena saya yang suruh, soalnya ternyata dia lebih tua satu bulan).
Kenapa oh kenapa?
Simpel saja. Saya tidak cantik dan aset terbesar saya adalah tampak imut. HAHAHA. Bercanda.... oke, setengah bercanda. Setengahnya lagi adalah karena:
... saya takut tidak cukup dewasa.

Terlepas dari kontroversi imut atau tidak ini, saya punya banyak sifat kekanakan, bahkan tanpa menyertakan tindakan-tindakan di definisi sok imut di awal. Egois, manja, mau menang sendiri, keras kepala, bergantung pada orang lain, hobi merengek...
Saya takut meski usia saya bertambah namun sifat-sifat itu masih diam tak bergerak, seenak-enaknya bercokol pada diri saya yang keburu menjadi inang yang terlalu nyaman untuk ditinggal pergi.
Saya takut hanya akan menjadi bocah yang selamanya terperangkap dalam tubuh yang terus bertumbuh menjadi tua.
Saya takut tidak mampu menghadapi dan dihakimi oleh dunia.

Mengapa saya begitu senang bila dikatakan lebih muda?
Cukup jelas: supaya saya punya alasan, punya izin untuk tidak bersikap dewasa karena usia saya (seperti yang mereka kira) terlalu muda untuk harus menjadi bijak sesuai tuntutan usia. Atau bila melakukan hal bodoh yang tak semestinya, mereka cuma maklum dan tidak mempermasalahkan apa-apa.

Tapi pada akhirnya, saya toh memang tidak lebih muda.
Saya tidak pernah ikut kelas akselerasi—bukan hanya karena program akselerasi tidak tersedia di sekolah manapun di kota asal saya saat itu, tapi karena kemampuan akademis saya rasanya juga tidak cukup memadai—tidak juga terlalu cepat memasuki bangku sekolah.
Saya hanya gadis normal dengan usia normal, tidak terlalu muda, tidak pula terlalu tua.
Saat semua orang seusia saya menjadi dewasa, maka seharusnya saya pun juga.

Tahun ini saya akan berusia dua puluh tahun. Ya, saya anggap ini sesuatu yang besar karena dengan ini, saya akan mulai menyandang predikat ‘dewasa’ alih-alih remaja. No more teenage dreams for me.

Saya was-was karena dari sederetan panjang daftar yang saya tulis untuk ‘hal-hal yang harus dilakukan sebelum berumur 20 tahun’, bahkan seperempatnya belum berhasil terlaksana. Namun, entah kenapa hal-hal tersebut terasa tidak penting lagi saat saya menyadari bahwa saya hanya butuh satu hal untuk bisa dicapai:

Seiring dengan bertambahnya usia, saya ingin bertambah dewasa dalam menyikapi segalanya.




P.S. Omong-omong, tinggi badan saya kalau ditambah wedges kira-kira 165 cm, dan walaupun sering dibilang kurus, tubuh saya proporsional loh ya. (Teruntuk: my pseudo brothers yang sering bikin joke tentang badan saya. Bukannya saya peduli, sih. .... oke, sedikit.)

P.P.S. Rentang tahun lahir angkatan saya di kampus adalah dari 1989 – 1994. Yak, nggak heran saya frustasi pengen kelihatan muda. Saya cuma anak tengah di tahun 1991.  

Saturday, May 21, 2011

Pengakuan Seorang Anorexia—Cuma Bercanda

Saya paling nggak suka kalau dibilang gendut. Titik. Nggak peduli bahwa orang lain meyakinkan saya kalau saya sama sekali nggak gendut, tapi selama masih ada satu orang yang bilang saya gendut, saya akan sangat sensitif dengan yang namanya berat badan dan bakalan mogok makan semingguan.

Apa saya pernah bilang di blog ini kalau saya vegetarian? Kalau belum, berarti saya bilang sekarang: ya, saya seorang vegetarian. Sebenarnya sih masih semi-vegetarian karena susah buat meyakinkan orang-orang tentang pilihan hidup menjadi seorang vegetarian: kalo saya beli makan di warteg terus cuma pake lauk sayur-sayuran, pasti saya dikira anak kosan kere gara-gara nggak makan pake ayam. Selain karena pengen lebih langsing, saya juga pengen lebih sehat berhubung saya selalu ketakutan mendengar penyakit-penyakit serem kayak stroke atau diabetes atau apa yang penyebab utamanya adalah pola makan yang nggak sehat.

Oke, sejujurnya menurut saya orang yang ngatain saya gendut itu gila karena BMI saya 16,8 dan itu masih dalam kategori underweight. Tapi normal weight  itu 18,5 dan saya nggak mau jadi orang normal, sebelum ini BMI saya selalu di bawah angka 17 L Kalo saya kurus-tinggi-langsing, siapa tahu waktu saya ke Korea, saya ditawarin buat jadi anggota girlband baru atau gantiin personel SNSD atau apa. Yang penting kan punya badan langsing dulu, kalau soal tampang mah gampang, tinggal oplas dan jengjengjeng kalian semua akan memutar video saya dan anggota girlband saya berulang-ulang sebelum tidur.

Satu hal yang saya takutkan dari perasaan nggak-suka-jadi-gendut-ini (selain omelan teman-teman saya karena ketidaktahudirian saya yang sok gendut) adalah jangan-jangan saya mengidap anoreksia nervosa? Saya beberapa kali cuma makan sekali sehari gara-gara insiden dibilang gendut itu dan sama sekali nggak berselera dengan cemilan-cemilan macam cokelat putih dan Oreo yang semula sangat saya sukai. Saya juga sering membiarkan diri saya menikmati rasa lapar dan mengatasinya cuma dengan minum air putih—karena katanya bisa bikin kulit tambah putih. Kalau dipikir-pikir, ya, saya waktu itu kayak orang gila.

Saya takut jadi gendut, ya. Saya, yang jarang makan ayam dan tidak pernah makan daging, bahkan cuma makan bagian putihnya di telor ceplok karena saya tahu kuning telor banyak lemak jenuhnya. Saya minum teh hijau daripada teh melati.

Tapi saya suka es krim. Saya suka Oreo, saya suka Toblerone dan Silverqueen White. Saya suka mie instan dan saya suka gorengan pinggir jalan yang banyak minyak-minyaknya itu. Dan saya paling suka kerupuk, suka sekali.

Jadi saya berpikir, saya jadi kurus buat apa, buat siapa? Artis Korea bukan, cowok tidak punya. Mama saya malah terus-terusan bilang kalau saya terlalu kurus, mungkin baru berhenti waktu berat saya menembus angka 85 dan saya butuh kain seprei untuk dijahitkan menjadi baju baru.

Lagipula teman-teman saya yang baik itu, yang mungkin karena saking kesalnya karena saya selalu bersikap seolah-olah jadi wanita paling gendut sedunia, pada akhirnya akan bilang: “Badan kamu udah bagus kok, Des, mau jadi lebih kurus apalagi coba.” Lalu cuping hidung saya akan mengembang dan bibir tersungging bahagia.

Jelas, saya bukan pengidap anoreksia. Mana ada seorang anoreksik yang sadar dirinya anoreksia dan mengumumkannya secara terbuka? Lagipula setelah efek dibilang-gendut usai saya pasti langsung habis-habisan balas dendam makan semua makanan yang saya suka tanpa pikir panjang. Sehat atau tidak sehat, menu vegetarian ataupun bukan.

Pada akhirnya, saya tahu bahwa saya cukup mencintai diri saya sendiri apa adanya. Bukan mengeluh panjang lebar tentang kenapa saya tidak cukup kurus, padahal saya tahu bahwa seperti halnya terlalu gendut, terlalu kurus juga bisa sangat berbahaya untuk kesehatan. Begitu pula saya tidak akan menyalahkan diri saya yang kurus—atau saya lebih senang kalau kita sebut langsing saja—karena saya yakin begitu banyak wanita di luar sana yang rela membayar mahal untuk bisa mendapatkan tubuh seperti yang saya punya. Saya mungkin kesulitan dalam mencari pakaian kuliah yang ukurannya pas dengan saya (karena seragam saya yang ukuran S saja masih gedombrongan kemana-mana) dan dengan lapang dada menerima bahwa jaket almamater tidak bisa kelihatan pas kalau saya pakai. Tapi saya juga senang masih bisa memakai kaos-kaos oblong yang saya punya sejak kelas 3 SMP, juga terhindar dari memakai pakaian-pakaian ketat yang memamerkan aurat.

Yah, intinya, seperti kata-kata bijak yang sudah sering kita dengar bersama: kalau saya sendiri tidak bisa menerima dan mencintai diri saya apa adanya, bagaimana orang lain bisa melakukannya?

Sunday, May 15, 2011

#10 Sayang, Kamu Tidak Tahu

Tidak, Sayang, kamu tentu tidak tahu, bahwa kata-kataku yang tajam selama ini jauh dari kesan yang kautangkap tentangku. Begitu pula tentang tatapan jahatku. Wajahku yang tanpa senyum. Usahaku untuk berusaha berada paling dekat sejauh lima meter darimu. Atau apapun itu, yang kau pikir kulakukan padamu, karena aku merasakan hal tertentu terhadapmu.

Kamu pasti sudah sering mendengar kalimat bijak tentang jangan menilai sesuatu dari penampilan luarnya saja. Awalnya, kupikir aku sudah berhasil melakukannya padamu. Aku tidak tertipu, tidak terpukau oleh penampilan luarmu semata seperti gadis-gadis muda hilang akal yang langsung berjatuhan di sisimu saat kau lewat atau apa. Kita sudah sama-sama dewasa; sepertimu yang  tidak tertarik kepada gadis-gadis muda yang malang itu, tidak pula aku tertarik padamu sebagai penyebab mengapa gadis-gadis itu bersikap seperti kebanyakan menghirup lem. Aku menilaimu sejak kita pertama bertemu, langsung menyimpulkan di detik mata kita pertama kali beradu: aku tidak akan tertarik kepadamu hanya karena wajahmu terpampang di sampul majalah wanita favoritku bulan lalu dan tinggi badanmu membuatmu tidak cukup melewati pintu masuk ruang kantorku.

Sayang, ternyata semesta jauh lebih luas dari yang pernah kubayangkan di masa kecil dahulu. Begitu banyak kemungkinan yang terhampar luas tepat di bawah hidungku—terlalu dekat untuk diabaikan, namun cukup jauh untukku menyadari kenyataan-kenyataan apa saja yang ia coba paparkan. Sebagai satu contoh kecil, sebutlah... kamu. Aku tidak tahu kita akan sering bertemu. Aku tidak pernah tahu kita punya minat dan kesukaan yang sama. Aku tidak menyangka bahwa ternyata kita punya begitu banyak bahan cerita untuk diobrolkan berdua, baik yang harus mengerutkan kening berpikir atau melengkungkan punggung tertawa. Dan satu hal paling penting, kemungkinan yang tidak pernah kubayangkan ketika di hari itu kita pertama kali berjumpa: kesimpulanku telah salah dan ternyata akulah yang menilai sesuatu hanya dari penampakan luarnya saja.

Rasanya bodoh sekali saat menyadari bahwa aku begitu naif. Aku berusaha untuk tidak tertipu oleh seindah apapun penampilan luar sesuatu hingga malah mengabaikan bahwa sesuatu itu juga berkemungkinan sama indahnya di dalam. Seperti kamu, Sayang, persis seperti kamu. Entah kenapa tiba-tiba aku teringat gadis-gadis yang menatapmu kagum dari balik gelas jus jeruk mereka saat kita makan siang bersama. Apa sikapku akan berubah tolol seperti itu, saat kusadari bahwa aku mungkin telah, katakanlah, jatuh cinta padamu?

Pada akhirnya, aku tidak melakukannya. Entah aku harus bersyukur bahagia atau menangis menyesalinya, aku pun bingung. Percayalah, aku hanya terdiam saja saat itu; saat sahabatku mengatakan bahwa ia pun jatuh cinta padamu.

Ah, cinta, apa itu? Sejenak kurasa aku tahu, namun pengertian dangkal yang kutahu itu pun akhirnya dikaburkan oleh pernyataan sahabatku. Karena kamu tinggi dan tampan? Karena kamu mapan dan punya rumah di kawasan elit? Kalau itu semua alasannya, maka kalian sesuai. Sahabatku langsing dan cantik. Peluang karir bagus dan tinggal di apartemen mewah di salah satu pusat kota. Apa yang kurang, Sayang? Tidak ada. Maka aku pun menyingkir.

Berterimakasihlah kepadaku yang memberikan peluang yang sangat bagus ini padamu, Sayang, bukannya menyia-nyiakannya dengan berusaha mengejarku kembali. Tidak ada yang salah denganmu, atau denganku. Tidak juga orang lain, termasuk sahabatku tersayang. Seperti yang kutuliskan di awal, semua perlakuanku padamu yang mungkin agak berubah bukanlah karena aku memiliki perasaan tertentu padamu. Bukan lagi cinta dan jauh pula dari benci. Sebaliknya, aku melakukannya supaya aku tidak memiliki perasaan tertentu padamu. Tidak mengerti? Ah, begitu pun aku, pada awalnya. Namun kamu akan terbiasa, Sayang, satu hal itu aku tahu.

Lihatlah sekarang, dirimu dan dirinya. Syukurlah usahaku tidak sia-sia. Kulihat matamu, matanya. Kalau sekarang, berada di dekatmu sedekat satu meter pun tidak mengapa lagi, kurasa. Seutuhnya diriku sudah digantikan olehnya, tidak ada aku, tidak ada kita, tidak ada semesta. Hanya kamu, dia, dan sisanya lenyap entah kemana, membuatku kembali nyaman berada di antara kalian tanpa takut merusak apa-apa.

Sayang, satu hal yang juga tidak kamu tahu, ternyata memang benar cinta yang sempat kurasakan waktu itu. Cinta jugalah yang kurasakan sekarang, padamu, masih kepadamu. Tetapi tenang saja, meski tidak pernah terucapkan, namun aku telah berjanji tidak akan pernah sekalipun berusaha merusak hubungan kalian. Aku mencintaimu, namun aku juga mencintai sahabatku. Aku mencintai kalian berdua bersama dan betapa aku benar-benar tulus mengharapkan pernikahan kalian ini akan bertahan selama-lamanya serta kalian dikaruniai anak-anak menakjubkan yang mungkin salah satunya akan kalian beri nama sama denganku, siapa tahu. Aku tidak mengharapkan apa-apa, tidak pernah, namun kali ini aku ingin memohon satu hal padamu: izinkan aku untuk terus mencintaimu. Hingga kamu menikah dengan sahabatku sekarang, sampai saat kamu beranak cucu, atau bahkan jauh lebih lama lagi daripada itu, aku akan tetap mencintaimu. Hanya kamu, hanya kamu.

Tetapi biarlah saat ini, besok, bahkan selamanya, kamu tetap tidak tahu, Sayang, kamu tidak perlu.

Sunday, March 27, 2011

#9 Benci


Dari awal, aku tahu dia membenciku. Aku tahu dari cara dia menatapku dan berharap semoga aku tidak berada di sana di sampingnya. Aku tahu dari cara dia berbicara padaku, setiap kata yang diucapkannya jelas mengusirku untuk pergi jauh-jauh darinya.

Aku tidak terlalu tahu alasannya membenciku. Entahlah, aku memang bukan orang yang mudah disukai, tapi kurasa aku juga bukan orang yang segampang itu untuk dibenci. Yang kutahu pasti adalah aku membencinya, karena ia membenciku. Aku hanya berusaha membuat supaya perasaan kami seimbang.

Padahal sejujurnya, dia bukan orang yang mudah dibenci. Apalagi olehku. Tidak dengan mata besarnya yang mendongak menatapku pagi ini saat aku membangunkannya yang tertidur dalam tendanya yang nyaman. Tidak pula dengan tawanya yang terdengar paling keras saat aku mulai menceritakan lelucon di tengah lingkaran api unggun.

Entahlah, terkadang kurasa ia tidak benar-benar membenciku. Kami bisa mengobrol panjang lebar, lama dan panjang—sebagian besar diisi dengan saling sindir, ejekan, dan bentakan—tapi aku tidak bisa bilang itu tidak menyenangkan. Malah sebenarnya, sangat melegakan. Kami hidup di lingkungan dengan tekanan tinggi, di mana semua orang berusaha menjilat dengan kata-kata manis yang membuat perut mual. Bertemu dengan seseorang yang mampu menyindirmu dan mengatakan keburukan-keburukanmu ditengah serbuan pujian dan sanjungan berlebihan kurasa bahkan bisa digolongkan sebagai suatu kebahagiaan.

Ya, baiklah aku mengaku. Sebenarnya, aku menyukainya. Aku hanya berpura-pura membencinya karena dia terlihat membenciku. Aku hanya tidak mau tampak menyedihkan karena menyukai seseorang yang menyatakan benci padaku secara terbuka.

Tetapi, bagaimanapun, aku memang tetap menyedihkan. Ia terlihat sangat cantik dengan jaket tebal dan syal yang melilit di leher, matanya tampak semakin bulat dan besar di tengah kegelapan malam. Aku ingin memeluknya saat kulihat ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar tetap hangat. Aku ingin menahannya di sampingku sepanjang perjalanan, berada dalam jangkauan tanganku, agar aku bisa selalu melindunginya apapun yang akan terjadi.

Sayangnya hubunganku dan dia hanya sebatas benci. Kami hanya bisa saling bertukar kalimat-kalimat teriakan bernada tinggi.

Seandainya ada kesempatan, aku ingin mengatakan padanya. Kurasa ia tidak akan percaya, sebagaimana ia selalu membantah dan membalik setiap kata yang kuucapkan padanya.

Namun aku akan tetap akan mengatakannya. Supaya akhirnya ia tahu bahwa apa yang ada di dalam sini, selama ini, sama sekali bukan rasa benci.

Sunday, March 13, 2011

#8 Coba Saja Percaya

Matanya berkilau di bawah sinar lampu senter yang kusorotkan padanya. Segera ia menutupi wajahnya dengan tangan, memperdengarkan dengungan protes.

"Kau ini kenapa, sih?"

Aku melipat tangan di dada, senter kumatikan dan kuselipkan di bawah ketiak. Dia masih belum juga menangkap ekspresi di wajahku, kukira.

"Hei, jawab aku."

"Kau yang harusnya jawab aku!" teriakku akhirnya. "Kita terjebak di tengah hutan, kehilangan tiga orang anggota tim, dan kau malah sibuk mencari kunang-kunang. Apa kau sudah gila? Kau pikir malam ini kita akan tidur di mana?"

"Gampang," ucapnya. Tiba-tiba ia merengkuh bahuku, mendekapku di dadanya, dan mengistirahatkan wajahnya di sisi leherku. "Kita akan tidur berpelukan di sini supaya tetap hangat."

Plak!

Aku menamparnya, sekuat tenaga yang hanya kusisakan untuk berteriak seperti orang gila. "Kau pikir sekarang waktu yang tepat untuk bercanda? Demi Tuhan, kita sedang di tengah hutan, Ryan! Bisa saja seekor ular, atau harimau, atau binatang buas lain yang bahkan tidak pernah kau bayangkan datang menyergap saat kau sedang tidur!"

"Lalu, kau ingin aku untuk apa?"Ia memegangi sisi wajahnya yang mungkin memerah terkena tamparanku. "Berteriak-teriak seperti orang gila seperti yang kau lakukan sekarang?"

"Oh, jadi sekarang kau mengejekku? Setidaknya aku berusaha menyadarkanmu untuk melakukan sesuatu! Dan apa yang kau lakukan? Mencari kunang-kunang? Kita bukan sedang dalam jurit malam perkemahan!"

"Aku mencoba untuk tetap tenang," ucapnya. "Percayalah padaku, ketenangan adalah hal yang paling kita butuhkan saat ini."

Mungkin ia benar. Mungkin kami memang harus tetap tenang dan memikirkan baik-baik langkah selanjutnya. Aku menarik napas panjang. "Maafkan aku. Aku... kau tahu, aku benar-benar panik."

Dan takut. Aku memeluk lenganku erat, angin malam yang berhembus membuatku menggigil di balik jaket tipis ini.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan di malam gelap seperti ini. Tidak ada penerangan, tidak ada api, tidak ada penunjuk jalan. Lebih baik kita beristirahat di sini dan menunggu pagi datang."

"Tapi--"

"Ssst, Diana, dengarkan aku. Kali ini saja, tolong dengar dan percaya padaku." Ia menatapku dalam gelap, matanya yang tajam seolah menghujam tepat ke dalam diriku. "Kita akan baik-baik saja."

Ia menarik lenganku, menyeretku lembut, dan mendudukkanku bersamanya, bersandar di sebuah pohon besar.

"Coba percaya padaku."

Entah karena angin malam, atau matanya yang menatapnya tajam, atau genggaman hangatnya di lenganku, aku hanya diam dan menurut. Tak bersuara.

"Pertama, tidak ada binatang buas di hutan ini. Termasuk binatang buas yang mungkin tidak pernah kubayangkan sebelumnya." Oh, dia menyindirku. "Mungkin ada beberapa serangga aneh, dan beberapa ular, tentu saja, tapi aku akan berusaha sebisa mungkin menjaga agar mereka tidak mendekati kita."

Aku mengangguk, tanpa sadar berusaha mendekatkan wajahku ke bahunya.

"Kedua, tenanglah dan beristirahat. Siapkan tenaga untuk petualangan kita di esok hari. Pastikan tubuhmu cukup kuat karena kurasa besok akan menjadi hari yang sangat, sangat... panjang."

"Mm-hmm." Aku mulai merasa sangat lelah dan mengantuk.

"Ketiga, kita akan tidur bersisian agar tetap hangat. Tentu saja kau boleh memelukku kalau kau mau." Ia menambahkan dengan cengiran.

Aku mendengus, tapi entah kenapa malah merapatkan sisi tubuhku padanya, dan menyandarkan wajahku di bahunya. "Baiklah. Sudah semua?"

Ia tertawa. "Anehnya, kali ini kau diam saja tanpa membantah omonganku."

"Aku kan sedang panik. Lagipula kau sendiri yang menyuruhku untuk diam dan percaya."

Gantian ia yang terdiam.

"Baiklah, selamat tidur," kataku akhirnya. Menguap. Rasanya ingin melingkarkan tanganku ke tubuhnya, tapi aku terlalu gengsi. Hubunganku dengan Ryan selama ini tidak begitu bagus, penuh pertengkaran dan segala macamnya. Kalau aku memeluknya sama saja dengan mengakui kekalahanku terhadapnya. Uh, tidak usah, ya.

"Diana."

"Hmm?" Mataku sudah terpejam.

"Aku serius tidak apa-apa kalau kau mau memelukku."

Wajahku pasti memerah sekarang, untunglah sekarang sedang gelap. Seolah-olah ia bisa membaca pikiranku saja. "Mm..."

"Aku suka padamu dari dulu, lho."

Kali ini mau tidak mau mataku terbuka lebar. Apa?

"Diam dan percaya saja, Diana."

Pada akhirnya, ia yang merengkuh tubuhku, meletakkan wajahnya yang dingin di kepalaku. Dapat kurasakan hembusan napasnya meniup pelan rambutku.

"Aku percaya."

Monday, March 07, 2011

#7 Tanpa Kata

Kata selamat tinggal sama sekali bukan kata-kata yang kuharapkan keluar dari mulut seorang Willy padaku. Namun, itulah yang dia katakan.

Air mataku tertahan. Mataku kering. Aku bahkan tidak bisa bersuara untuk membuatnya mengubah pikirannya.

Kenapa? Aku meringis, tapi kata itu tercekat, tersangkut di tenggorokan. Willy menangis, menatapku, ia sepertinya juga tidak menginginkan perpisahan ini, tetapi kenapa ia tetap melakukannya?

“Aku mencintaimu, Lin. Sangat. Hatiku hancur jika harus meninggalkan kamu begitu saja. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, Lin, tidak ada.”

Aku tidak bisa menatapnya. Isakannya membuatku merasa tersayat-sayat. Sakit, sangat sakit.

“Tapi ini tidak adil buatmu, Lin, tidak adil bila aku memaksamu untuk terus bertahan bila kamu sendiri sudah tidak kuat. Kamu sudah terlalu lama menderita, Lin, aku tidak bisa terus bersamamu hanya untuk melihatmu terus tersakiti.”

Menderita? Tersakiti? Apa maksudnya semua itu? Aku mencintaimu, Willy! Kuteriakkan kalimat-kalimat itu dalam benakku, berhenti mencoba mengutarakannya lewat mulut. Aku berusaha meraih tangan Willy, mencoba menggenggam kepalan tangannya, membuatnya merasakan keyakinanku bahwa aku begitu mencintainya—tapi ia menghindar, menarik tangannya jauh dariku.

“Kalau aku ingin pergi, silahkan pergi, Lin. Aku... kurasa aku akan bisa melepasmu. Mungkin akan sedikit—bukan, sangat—sakit pada awalnya... tapi aku pasti akan baik-baik saja.”

Aku tidak ingin pergi, Wil, aku ingin di sini, aku ingin bersama kamu. Tidak bisakah kita bersama selamanya seperti janjimu dahulu?

Willy melangkah keluar, pergi. Rasanya separuh diriku sudah pergi bersamanya.

Separuhnya lagi, tertinggal.

Lalu kusadari, sekelilingku putih. Kamar rumah sakit. Selang-selang di sekujur tubuh. Bunyi mesin penanda detak jantung.

Apa aku bisa hidup hanya dengan separuh bagian diriku? Sementara Willy membawanya pergi tanpa pernah akan mengembalikannya?

Aku tidak pernah tahu kekuatan itu datang dari mana. Aku bahkan tidak pernah membayangkan aku akan melakukannya. Namun, begitu saja, saat aku akhirnya mampu membuka mataku dengan jelas dan tanganku mampu untuk digerakkan—meski sangat lemah—satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah mencabut paksa masker oksigen yang terpasang di wajahku.

Lepas.

Sesak, dan mendadak semuanya menggelap.

Satu-satunya yang kusesalkan adalah aku tidak sempat menyaksikan ekspresi Willy saat ia mendapati bahwa aku benar-benar pergi.

Sunday, March 06, 2011

#6 Sakura

Awal Maret dan sekarang sudah memasuki musim semi. Udara mulai menghangat; aku mulai pergi ke sekolah tanpa syal rajutan melilit di leher, namun pohon-pohon sakura masih belum berbunga. Ada satu barisan pohon-pohon sakura yang selalu kulewati di setiap perjalanan menuju dan kembali dari sekolah, dan aku selalu mendongak, menunggu kapan kuncup-kuncup yang mulai tumbuh itu mekar, dan lepas berhamburan seperti badai salju ketika tertiup angin. Aku tidak pernah melihat langsung sakura mekar sebelum ini. Pertama kali aku datang ke negara ini beberapa bulan lalu, musim panas sedang terik-teriknya dan aku melewatkan musim semi beserta sakuranya. Kali ini aku tidak akan melewatkannya, karena aku benar-benar menyukai sakura.

Sekolahku terletak di kota sebelah, sehingga untuk sampai aku harus naik kereta melewati dua stasiun, dan berjalan kira-kira satu kilometer dari stasiun tempatku turun. Sebuah sekolah swasta juga terletak tidak jauh dari sekolahku, yang murid-muridnya berangkat ke sekolah dengan mobil mewah dan mengenakan seragam blazer hitam mereka yang elegan.
Aku selalu iri pada mereka, bukan karena sekolah mereka yang mewah atau kehidupan kelas atas yang mereka jalani, tetapi kudengar mereka memiliki satu pohon sakura yang mekar sepanjang musim, termasuk musim dingin, di taman dalam sekolah.

Pagi ini cerah, satu jam sebelum bel masuk sekolah berbunyi aku sudah sampai di stasiun tujuan. Aku melangkah pelan keluar stasiun, mengira-ngira apakah hari ini pohon-pohon sakura itu mulai mekar dengan indah... lalu aku tidak tahu apa yang terjadi berikutnya, tiba-tiba aku sudah tersungkur ke trotoar dengan lutut menghantam keras paving block, dan tas jinjingku terlempar jauh ke depan.

Saturday, February 26, 2011

Kisah Malam Minggu

Sejak saya selalu *uhuk*jomblo*uhuk* maka malam minggu saya jelas tidak pernah dilewati dengan tradisi apel mengapel atau kencan-kencan ga jelas bersama sang pacar. Saya selalu menikmatinya dengan berbagai cara lain, yang hampir selalu berakhir, mmm, tragis.

Kisah Satu

UAShampirberakhir, dan take home exam merengek minta dikerjakan tadi pagi (thanks to procrastination for once again ruining my life), menyebabkan saya nggak bisa datang rapat penting tadi pagi. Merasa ga enak, saya pun mengajukan usul pada sang teman untuk mengerjakan proposal di sabtu malam.
Awalnya, semua terasa biasa-biasa saja, tidak ada firasat buruk, atau primbon khusus seperti kedutan di bawah mata atau alis atau apapun.

Saya santai-santai setelah selesai mengumpulkan ujian saya ke email sang ketua kelas. Online, cekakak cekikik membaca blog saya sendiri (ya, saya menertawakan kekonyolan sendiri, seperti orang bodoh) dan menunda-nunda mandi. Tau-tau hari sudah berganti malam, dan saya teringat akan janji kepada teman untuk mengerjakan proposal. Itupun setelah dia meminta izin makanseolah-olah saya boskarena capek menunggu saya yang datangnya kelamaan. Akhirnya satu jam setelah sms izin makan itu, saya berangkat menuju kosan sang teman.

Sampai di kontrakan teman, yang merangkap basecamp klub yang saya ikuti di kampus, dan biasanya selalu ramai oleh anak-anak klub. Kali ini cukup sepi, cukup wajar, mengingat anak-anak akuntansi yang sudah selesai oleh ujian merekaya, saya tau, dunia tidak pernah adil kepada anak pajak.

Firasat saya masih belum muncul saat seorang senior memberi tahu bahwa teman yang saya cari sedang pergi keluar. Karena saya udah terlanjur dateng, saya jadi malas balik lagi, hingga saya memutuskan menunggu. Beberapa menit setelah saya duduk di atas sofa, senior yang tadi bicara dengan saya pergi, membawa seluruh penghuni yang semula ada di EC House (dan belakangan saya ketahui mereka pergi ke PIM, blah). Baca: saya ditinggal sendirian.

Saya baik-baik saja, menunggu dengan santai di atas sofa, sambil chatting dengan junior saya lewat henpon. Anehnya, dia terlalu mengkhawatirkan saya.

Saturday, February 12, 2011

Ngalor-Ngidul


Hari ini rehat dulu menulis flash fictionnya.
Alasannya? Bisa tolong lihat gambar di sebelah kiri?
Yak, dapat poinnya?

Benar sekali, sodara-sodara, minggu depan kampus kami tercinta akan menyelenggarakan event terbesar semester ini; event yang akan melibatkan banyak sekali fotokopian kertas kisi-kisi, desas-desus bocoran soal, bercangkir-cangkir kopi dan status fb atau twitter yang menyatakan kestressan.

UAS semester ganjil, dimulai pada tanggal, mmm, berapa ya, saya malas ngecek kalender? Oh, iya, tanggal 16 Februari 2011, jatuh pada hari Rabu.

Mungkin ada yang bertanya-tanya kenapa UAS kami terlambat sekali. Sebenarnya.... saya juga tidak tahu. Kalau masih penasaran juga, tanya pada bagian sekretariat yang mengurus tentang aturan dilarang-injak-rumput dan dilarang-nyebur-kolam-kalian-bisa-di-DO, itu adalah bidang mereka. Sepertinya.

Omong-omong, saya nggak pengen ngomongin soal uas di sini. Saya cuma mau ngomongin tentang kuliah saya, berhubung di postingan tahun 2009 dan 2010, saya sama sekali tidak sempat cerita -___-

Okeh. Jadi saya sekarang kuliah di Jakarta. Dan saya sama sekali nggak punya keluarga di Jakarta. Atau sekitarnya. Atau, mm, se-Pulau Jawa.
Dulu, waktu kuliah tingkat pertama dan waktu senggang di akhir minggu sedang banyak-banyaknya, teman-teman saya selalu pelesir ke tempat saudaranya. Entah om, tante, kakek, nenek, abang, siapapun...
Saya? Saya cuma ngiler.

S=Saya, T=Teman

S: Mau kemana?
T: Oh, mau ke tempat saudara di Cibubur. Kamu nggak pergi ke tempat saudara?
S: Pengen sih, tapi gimana ya, Om SBY lagi sibuk...
T: *tewas*

Tapi gapapa sih, seenggaknya saya jadi lebih mandiri. Mandi sendiri. Makan sendiri. Tidur sendiri. Kayak bujangan.

Oh ya, dulu waktu angkatan saya masih jadi tingkat satu, keberadaan makhluk berjenis kelamin cewek itu minim sekali. Alhasil saya sukses jadi minoritas yang bener-bener minor: cewek, berasal dari kota nun jauh di pulau seberang.
Sukses, saya sering diinterogasi oleh orang-orang. Dan kadang-kadang, beberapa sesi tanya-jawab itu benar-benar bikin jengkel.

masih sama, S=Saya, T=Teman

-yang ini geografinya parah-
T: Jadi, kamu asalnya dari mana, Des?
S: Pontianak.
T: Eh itu, di Sulawesi, kan ya?
S: *tewas*

Friday, February 11, 2011

#5 Aku Rindu

Rasanya sudah bertahun-tahun kita tidak bertemu meski aku sadar sebenarnya kita baru melewatkan beberapa minggu. Aku rindu. Rindu yang teramat dalam; aku butuh kamu.

Ada yang tidak sama setiap kali aku membuka mata di pagi hari. Tidak ada pelukanmu, tidak ada aromamu, tidak ada sapaanmu, tidak ada kamu, tidak ada semangatku.
Tidak ada geliat kecil yang terasa di tempat tidur saat kamu bangun dari tidurmu sepanjang malam.
Tidak ada yang hangat saat aku merasa kedinginan.

Kini aku menghabiskan sarapanku sendirian, tidak ada kamu, tidak ada yang membantuku menghabiskan segelas susu dan potongan kuning telur yang tidak kusukai.

Saat aku lelah setelah seharian menghabiskan berjam-jam duduk di depan komputer kantor, tidak ada kamu yang menyambutku di depan pintu, memanggilku mesra dan mengajak makan bersama.

Tidak ada kamu yang setia menemaniku menghabiskan malam menonton serial Korea yang membutuhkan banyak-banyak tisu untuk menghapus air mataku.

Tidak ada kamu yang tidur di pangkuanku saat mulai bosan diam di depan televisi, menungguiku bosan dengan alur cerita berliku itu lalu hingga aku menguap mengantuk dan beranjak ke kamar.

Saat aku akan tidur, aku tidak bisa mendengar deru napasmu yang sudah duluan terlelap. Lagu Nina Bobo ku hilang; aku insomnia sejak saat itu.

Karena itu aku berpikir... aku akan mencari penggantimu. Maafkan aku, bukannya aku tidak mencintaimu, tetapi rasanya terlalu berat untukku menjalani hari-hari selamanya sendirian seperti ini. Mengingatkanku akan kamu, dan itu membunuhku.

Dan tenang saja, aku tidak akan melupakanmu.

Kamu tahu petak bunga lili di taman kecil kita? Ya... tempat di mana aku menguburmu. Indah sekali, dengan bunga-bunga lili putih yang mekar, bunga kesukaanku.

Setiap aku melihat petak itu, aku akan selalu mengingatmu. Mengingat hari-hari yang telah kita lalui bersama, hari-hari berharga yang sayang sekali terlalu sebentar bagiku. Namun bagimu, 7 tahun jelas waktu yang sangat lama.

Hari ini aku akan pergi ke PetShop ditemani salah seorang teman kantorku. Pria tinggi divisi sebelah yang dulu pernah kuceritakan padamu.

Ya, kuharap kamu tidak marah, tapi sudah kuputuskan hari ini aku akan mendapatkan penggantimu... maafkan aku.

Istirahatlah yang tenang di sana, Meowth. Aku akan selalu, selalu, selalu, mencintaimu.

Wednesday, February 09, 2011

#4 Sebuah Percakapan di Layar

Sebuah percakapan di layar. Aku dan Chris, teman mayaku.

"Hei apa kabar?"

"Yah, tidak terlalu baik, beberapa hal terjadi di sekolah."

"Oh ya? Hal-hal seperti apa? Coba ceritakan kepadaku."

"Mm, mungkin ceritaku agak aneh. Mungkin kamu ingat aku pernah cerita sebelumnya, bahwa di sekolahku, kami dibagi menjadi beberapa kelas-kelas khusus untuk anak-anak dengan minat tertentu. Nah, aku salah satu yang bergabung di kelas musik. Di kelas musik ini, terdiri dari bermacam-macam orang, dengan minat dan genre musik yang berbeda-beda, tapi semuanya masih mencakup dalam genre-genre yang disetujui oleh pembimbing. Namun seperti yang kamu tahu, tidak semua anak sependapat dengan ini, karena kelas musik merupakan kelas minat dengan peminat yang paling banyak, jadi ada beberapa genre yang tidak mencakup dalam bahasan yang di bahas di kelas musik."

"Sampai saat ini belum ada yang aneh."

"Memang belum... Jadi selanjutnya, mereka lebih senang melakukan kegiatan musik mereka sendiri, terlepas dari kelas musik yang sebenarnya. Agak aneh memang, dan beberapa merasa terganggu."

"Kamu terganggu?"

"Terganggu? Tidak juga, kurasa. Mereka cuma melakukan hal-hal yang mereka mau, aneh memang, tapi tidak mengganggu aktivitas kelas musik yang biasa. Mm, kulanjutkan. Jadi mereka--yang berbeda--melanjutkan kegiatan mereka seperti biasa, namun beberapa anak yang terganggu mendatangi mereka yang berbeda...

... dan merobek-robek partitur yang sudah berminggu-minggu mereka kerjakan untuk proyek akhir semester."

"..."

"Untuk apa mereka melakukannya? Aku juga bingung. Maksudku, itu kan bukan urusan mereka. Toh guru pembimbing juga tidak pernah protes dengan kegiatan mereka-yang-berbeda lakukan. Dan yang membuatku tidak habis pikir, mereka, yang terganggu, beramai-ramai mengusir mereka yang berbeda keluar dari kelas. Ya ampun, kurasa itu sangat berlebihan.

Iya kan, Ren?"

"..."

"Ren?"

"Sebenarnya Chris, kamu belum menanyakan kabarku tadi. Dan kalau kamu bertanya, mungkin aku akan menjawab, aku tidak terlalu baik-baik saja."

"Maafkan aku... Ren? Sebenarnya apa yang terjadi?"

"Tidak, tidak ada hubungan secara langsung denganku, sebenarnya, tapi ya, ini jelas menjadi perhatianku..."

"Maksudmu?"

"Kamu mungkin akan aneh mendengar cerita ini, ceritaku... tapi kamu harus percaya. Cerita ini mirip, ah, tidak, bahkan sama persis dengan cerita yang barusan kamu ceritakan padaku. Hanya saja... dalam skala yang lebih besar."

"Aku tidak mengerti."

"Ceritaku menyangkut hal-hal yang lebih besar, Chris; negara, kepercayaan, dan... nyawa manusia."

Malam semakin larut. Lampu modem masih terus berkedip-kedip.

Aku masih asyik bercerita pada Chris tentang keanehan bangsaku tercinta.

Saturday, January 22, 2011

#3 Kolam Ikan

“Kamu percaya?”

Suatu pagi di akhir pekan. Aku dan Mini, berdua di pinggiran kolam ikan di halaman rumah nenek, menatap kecipak koi-koi yang memperebutkan makanan mereka yang kami lempar sembarang ke tengah kolam.

“Percaya apa?”

“Kalau malam, mungkin sekitar jam dua belas tengah malam, ada wanita berambut panjang yang menghampiri kolam ini dan memberi makan ikan-ikan.”

“Oh ya? Aku baru pertama kali dengar cerita itu. Itu sungguhan?”

“Aku tidak tahu. Kurasa... ya.”

Mini berhenti melemparkan makanan ikan, berbalik, dan duduk di batu pinggiran kolam.

“Wanita itu... bukan manusia? Maksudku, bukan Tante Ima yang rambutnya memang agak panjang?”

“Bukan. Kalau manusia... ia nggak akan keluar tengah malam hanya untuk memberi makan ikan.”

Aku tidak mengerti arah pembicaraan ini. Ya, Mini kadang senang bicara yang aneh-aneh, tapi baru pertama kali kudengar cerita yang menyerempet tentang makhluk gaib seperti ini.

“Lalu, kamu takut? Kamu takut sama wanita yang memberi makan ikan itu?”

Mini terdiam. “Aku nggak takut sama dia.. Aku cuma takut dia mengambil rambutku.”

“Rambutmu? Untuk apa?”

“Untuk makanan ikan.”

Untuk sesaat aku terdiam, lalu tertawa hingga bungkusan makanan ikan yang kupegang berhamburan masuk ke dalam kolam. “Tapi Mini,” aku mencoba bicara disela tawa, “ikan kan nggak makan rambut!”

Mini berbalik menatapku, berkacak pinggang. Wajahnya tidak senang. “Tapi wanita itu mengambil rambutku! Aku tahu!”

“Oh, ya? Kalau begitu kenapa dia nggak mengambil rambutku juga?”

“Karena rambutmu pendek dan nggak bagus seperti milikku.” Ia berbalik lagi, lalu kembali melemparkan makanan-makanan ikan ke kolam.

Pembicaraan kami selesai sampai di sana. Tante Eri, ibunda Mimi, memanggil kami untuk makan siang. Aku dan Mini berlomba lari siapa yang paling cepat sampai ke ruang makan.

***

Setahun sejak aku lulus SMP dan keluargaku memutuskan pindah dari perumahan keluarga kami, lalu menetap di sebuah perumahan mewah di pinggiran kota. Tiga tahun sejak aku terakhir bertemu dengan sepupuku Mini.

Sampai suatu hari berita itu datang. Mini meninggal karena leukimia.

Kami sekeluarga berangkat ke rumah duka di tempat Nenek. Di saat semua orang berpakaian hitam-hitam berkumpul di ruang tengah di dekat jenazah Mini, aku pergi ke belakang, ke kolam ikan tempat dulunya aku dan Mini sering mengobrol sambil memberi makan ikan-ikan.

Jadi, itu maksud Mini sebenarnya. Saat dia bilang tentang wanita pemberi makan ikan dengan rambut, mungkin ia sedang membicarakan rambutnya yang rontok karena penyakit yang ia derita.

Mini salah, wanita pemberi makan ikan dengan rambut itu juga suka dengan rambut pendek dan tidak bagus, kok.

Aku mengelus rambutku, yang pendek dan tidak sehalus rambut Mini, dan menatap berkas berbintik merah di sekujur kulitku.

Tampaknya seperti Mini, aku akan bilang kepada kedua orangtuaku aku benci kemoterapi.

Friday, January 21, 2011

#2 Cinta Pertama


“Jangan melulu tentang cinta,” debatnya.

Aku merengut. Padahal satu patah katapun belum sempat kuucapkan, namun kalimatnya telah membuatku menelan kembali berjuta-juta kalimat yang ingin kulimpahkan. Aku menggantinya dengan sebuah pertanyaan, yang lebih seperti sebuah rengekan. “Eh, kenapa memangnya?”

“Karena... aku bosan.”

Jahat sekali! Aku membalikkan badan, memikirkan kata-kata yang tepat. Tega sekali dia! Padahal dia satu-satunya orang yang kupercaya untuk menumpahkan segala keluh-kesahku—ya, tentu saja termasuk tentang cinta—dan selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang itu. Tapi sekarang! Ia menolak mendengarkan ceritaku, padahal kumulai saja belum.

“Apa aku semembosankan itu?” Aku merengut, bibirku mengerucut, dan aku melipat tanganku dengan sikap defensif.

Mendesak. Kutatap matanya, namun ia tidak mau menangkap mataku dan malah membuang muka.

“Ti..dak.”

Ha! Aku menangkap sikapnya yang ragu-ragu. Ia mencoba membohongiku, tapi tidak bisa. Aku sudah terlalu hapal dengan gerak-geriknya ketika ia sedang gelisah dan tidak jujur, termasuk seperti sekarang. Kami sudah berteman terlalu lama untuk membuatku tidak akan tertipu begitu saja.

“Maaf, Mel, aku... sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Tentang cinta, juga. Kurasa aku sudah muak.”

Aku membelalak. Tentang cinta? Al sedang jatuh cinta, tapi aku bahkan tidak pernah tahu?

“Kamu jatuh cinta, Al?”

Ia memutar matanya, ragu-ragu. Perlahan ia menjawab, “Ya. Ya... kurasa aku jatuh cinta.”

Seakan-akan bumi menyedotku dengan cepat ke dasarnya, aku limbung dan pikiranku mengawang entah kemana.

Al jatuh cinta.

Akhirnya.

Semester pertama di kelas 2 SMP, aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada Al. Bukan, bukan rasa suka biasa, aku yakin itu cinta. Cintaku yang pertama. Tapi aku dan Al sudah berteman sejak kami kecil. Sejak kami masih sama-sama mengenakan popok dan tidur siang bersama di rumah pohon buatan orang tua kami. Dan aku sadar, Al jelas hanya menganggapku sebagai seorang saudara perempuan biasa. Gadis kecil dengan kuncir dua, yang selalu menemaninya setiap saat di mana-mana, termasuk memanjat genteng tetangga saat layangan kami tersangkut karena angin yang berhembus terlalu kencang.

Lalu aku melupakan semuanya. Persahabatan kami terlalu berharga untuk dikorbankan demi perasaan cintaku yang aneh dan berat sebelah. Aku berkali-kali pacaran dengan beberapa anak dari kelas sebelah, bahkan beberapa senior di SMP, dan Al bahkan membantuku di setiap kencanku. Ia tetap Al yang biasa, bersemangat, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta—apalagi padaku.

Dan sekarang, semester kedua kelas 1 SMA, ia jatuh cinta. Hatiku patah.

“Siapa, Al?”

Ia menatapku bingung.

“Siapa gadis itu, yang kamu jatuhi cinta?” Aku tercekat saat mengucapkan pertanyaan itu. Sedikit tidak rela. Berkali-kali menjalani hubungan ecek-ecek, pacaran dengan para laki-laki itu, tidak pernah membuatku puas. Kurasa aku tidak pernah benar-benar mencintai salah satu dari mereka seperti aku mencintai Al.

Detik demi detik, Al masih tidak menjawab.

Dalam beberapa sela waktu yang terasa panjang itu, dalam hati aku berharap, ia akan mengatakan bahwa itu aku...

“Dia... Wilda.”

Wilda? Pikiranku melayang. Siapa Wilda?

Lalu aku teringat pada sosok itu. Tinggi, tegap, salah satu anggota tim inti klub basket sekolah.

“Kamu yakin, Al?”

Ia mengusap belakang kepalanya. “Sudah kuduga, kamu nggak akan senang mendengarnya, Mel.”

Rasanya duniaku runtuh. Al, cowok cinta pertamaku, satu-satunya cowok yang pernah kucinta...

..... jatuh cinta pada cowok lainnya.

Saturday, January 15, 2011

#1 Dingin


Flash fiction pertama saya (ya, ini flash fiction pertama yang berhasil saya tulis) telah di publish di notes facebook saya beberapa waktu sebelumnya, dengan tujuan mendapatkan respon.
Respon yang didapat? Rata-rata, saya dijuluki psycho. Gaaah.
Yang saya ingat tentang proses penulisannya adalah suatu malam, saya dipenuhi oleh emosi, lalu tangan saya mengetik dengan cepat lalu jadilah benda ini.
Itu dapat didefinisikan sebagai psycho?
Saya rasa tidak

***

Tak kupercaya aku menghancurkan benda-benda itu. Mataku sudah buta karena amarah. Semua barang yang ada di hadapanku kulempar hingga berhamburan dan pecah berkeping-keping. Beberapa serpihan mengenai kulitku, meninggalkan goresan-goresan yang kadang dalam dan panjang; mengucurkan darah.

Sakit? Tidak, tidak ada rasanya. Bahkan geli pun tidak. Aku cuma capek, muak, kesal, dan... penuh kebencian.

Seandainya bisa kulemparkan pigura itu ke wajahnya, meretakkan tulang tengkoraknya, menyayat dalam kulit pipinya, atau sekedar mematahkan hidungnya...

Sayang sekali dia tidak ada di sini, sayang sekali dia tidak bisa kuhancurkan.

Maka ku banting pigura itu ke lantai porselen yang berkilap, membuat kaca pelindung fotonya berderai menjadi beling-beling menyilaukan, dan ukiran-ukiran kayu yang sebelumnya tampak mahal kini cuma seperti potongan ranting kayu bakar.

Aku menginjak pecahan-pecahan itu dengan kakiku yang telanjang, merasakan serpihan-serpihan kaca mengoyak kulit kakiku, menembus dagingku, dan lantai mulai terasa licin karena darah yang mengalir.

Aku melirik lantai yang merah, foto yang masih utuh itu ikut memerah, tapi aku masih bisa melihat ke dalam wajah-wajah yang tersenyum dalam foto, munafik...

"Vio?"

Aku mengalihkan pandanganku pada pintu yang diketuk.

Dia datang.

"Ya?" Aku menjawab datar.

"Kamu nggak apa-apa? Aku tadi dengar suara-suara..."

"Nggak, aku nggak apa-apa. Cuma... nyenggol pigura."

"Oh... kamu yakin? Aku boleh masuk?"

Selamat, kupu-kupu dengan sukarela masuk ke sarang laba-laba.

"Ya... masuk aja."

Pintu berderit membuka, perlahan, aku meraih satu pigura lagi yang berisikan foto aku dengan dia...

... dan menghantamkan kacanya tepat di puncak kepalanya.

Ia tidak sempat berteriak; aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata.

Pintu berderit saat kututup, menyamarkan suara tubuhnya yang jatuh menimpa pecahan-pecahan barang yang berhamburan.

Semua karena kamu. Ya, kamu.

Pesanmu yang kuterima di ponselku beberapa puluh menit yang lalu sudah meluluh lantakkan hidupku.

Kesalahanmu adalah, kamu memutuskan hubunganmu dariku, padahal aku masih mencintaimu, sangat mencintaimu.

Oh, dan alasan bodohmu bahwa aku terlalu dingin, kaku, bahkan menyeramkan.

(Apa aku begitu? Kurasa kamu lah orangnya yang selalu mengatakan aku tampak cantik meski aku hanya menatap kosong pada apapun?)

Namun kesalahan terbesarmu adalah, saat kamu memilih dia menjadi penggantiku.

Dia, orang yang--dulunya--sahabatku.

Lalu dia mencuri perhatianmu dan sekarang duniamu berpusat kepadanya. Dia segalanya bagimu.

Dia; si gadis hangat, lembut dan manis idamanmu.

Apakah kamu yakin?

Yang kulihat sekarang, dia cuma terbujur dingin, kaku, bahkan menyeramkan saat aku mulai mengoyak-ngoyak kulitnya dengan potongan-potongan kaca.

10 Hari Menulis Flash Fiction

Ikut-ikutan membuat target menulis, saya memilih 10 Hari Menulis Flash Fiction sebagai tema saya kali ini. Mm, kenapa flash fiction?

Pertama, karena saya nggak punya ide untuk menulis yang lainnya. Sebagian orang menulis puisi, prosa, atau bahkan cerpen... tapi sayangnya saya nggak bisa. Saya hobi menulis, tetapi puisi atau prosa sama sekali di luar jangkauan gadis tidak puitis tanpa bakat menulis macam saya. Dan cerpen? Um, saya senang sekali menulis cerpen, tapi seumur hidup saya hanya punya berapa cerpen yang sempat selesai karena kalau nggak kepepet (baca: tugas sekolah atau deadline lomba) saya nggak akan pernah bisa mencapai kalimat terakhirnya.
Jadi, here it comes: Flash Fiction.

Alasan kedua, flash fiction cukup pendek! Bisa tidak lebih panjang dari puisi dan jelas jauh lebih pendek daripada cerita pendek biasa. Lagipula terkadang ide-ide di kepala saya terlalu ringkas untuk dibeberkan menjadi sebuah cerita pendek yang utuh, dan saya lebih suka menuliskan klimaks ceritanya dalam sebuah rangkaian kalimat bertitel flash fiction :)

Tapi sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan flash fiction?

Sejujurnya, saya juga kurang begitu tahu. Hmm, mengutip dari Wikipedia:

Flash fiction adalah karya fiksi yang sangat singkat, bahkan lebih ringkas daripada cerita pendek. Walaupun tidak ada ukuran jelas tentang berapa ukuran maksimal sebuah flash fiction, umumnya karya ini lebih pendek dari 1000 atau 2000 kata. Rata-rata flash fiction memiliki antara 250 dan 1000 kata.
Keterbatasan jumlah kata flash fiction sendiri sering kali memaksa beberapa elemen kisah (protagonis, konflik, tantangan, dan resolusi) untuk muncul tanpa tersurat; cukup hanya disiratkan dalam cerita.
Dan sejujurnya lagi, mungkin format penulisan flash fiction yang akan saya sajikan dalam beberapa post ke depan ini salah total, selain bagian 'kurang dari 1000 kata'-nya. Terkadang tangan saya memang terlalu gatal bermain kata dan mendeskripsikan sesuatu atau elemen-elemen yang mungkin tidak terlalu penting.

Tapi, siapa yang peduli?
Toh saya memang masih bertransisi dari gaya biasa dalam menulis cerpen ke format flash fiction. Anggaplah hal ini sebagai media pembelajaran. Perjalanan ribuan langkah diawali dengan satu langkah kecil, bukan?

Well, selamat menikmati, hihihi.