Thursday, October 06, 2011
Klise; Tambah Usia ≠ Tambah Dewasa
Saturday, May 21, 2011
Pengakuan Seorang Anorexia—Cuma Bercanda
Sunday, May 15, 2011
#10 Sayang, Kamu Tidak Tahu
Sunday, March 27, 2011
#9 Benci
Padahal sejujurnya, dia bukan orang yang mudah dibenci. Apalagi olehku. Tidak dengan mata besarnya yang mendongak menatapku pagi ini saat aku membangunkannya yang tertidur dalam tendanya yang nyaman. Tidak pula dengan tawanya yang terdengar paling keras saat aku mulai menceritakan lelucon di tengah lingkaran api unggun.
Entahlah, terkadang kurasa ia tidak benar-benar membenciku. Kami bisa mengobrol panjang lebar, lama dan panjang—sebagian besar diisi dengan saling sindir, ejekan, dan bentakan—tapi aku tidak bisa bilang itu tidak menyenangkan. Malah sebenarnya, sangat melegakan. Kami hidup di lingkungan dengan tekanan tinggi, di mana semua orang berusaha menjilat dengan kata-kata manis yang membuat perut mual. Bertemu dengan seseorang yang mampu menyindirmu dan mengatakan keburukan-keburukanmu ditengah serbuan pujian dan sanjungan berlebihan kurasa bahkan bisa digolongkan sebagai suatu kebahagiaan.
Ya, baiklah aku mengaku. Sebenarnya, aku menyukainya. Aku hanya berpura-pura membencinya karena dia terlihat membenciku. Aku hanya tidak mau tampak menyedihkan karena menyukai seseorang yang menyatakan benci padaku secara terbuka.
Tetapi, bagaimanapun, aku memang tetap menyedihkan. Ia terlihat sangat cantik dengan jaket tebal dan syal yang melilit di leher, matanya tampak semakin bulat dan besar di tengah kegelapan malam. Aku ingin memeluknya saat kulihat ia menggosok-gosokkan kedua telapak tangannya agar tetap hangat. Aku ingin menahannya di sampingku sepanjang perjalanan, berada dalam jangkauan tanganku, agar aku bisa selalu melindunginya apapun yang akan terjadi.
Sayangnya hubunganku dan dia hanya sebatas benci. Kami hanya bisa saling bertukar kalimat-kalimat teriakan bernada tinggi.
Seandainya ada kesempatan, aku ingin mengatakan padanya. Kurasa ia tidak akan percaya, sebagaimana ia selalu membantah dan membalik setiap kata yang kuucapkan padanya.
Namun aku akan tetap akan mengatakannya. Supaya akhirnya ia tahu bahwa apa yang ada di dalam sini, selama ini, sama sekali bukan rasa benci.
Sunday, March 13, 2011
#8 Coba Saja Percaya
"Kau ini kenapa, sih?"
Aku melipat tangan di dada, senter kumatikan dan kuselipkan di bawah ketiak. Dia masih belum juga menangkap ekspresi di wajahku, kukira.
"Hei, jawab aku."
"Kau yang harusnya jawab aku!" teriakku akhirnya. "Kita terjebak di tengah hutan, kehilangan tiga orang anggota tim, dan kau malah sibuk mencari kunang-kunang. Apa kau sudah gila? Kau pikir malam ini kita akan tidur di mana?"
"Gampang," ucapnya. Tiba-tiba ia merengkuh bahuku, mendekapku di dadanya, dan mengistirahatkan wajahnya di sisi leherku. "Kita akan tidur berpelukan di sini supaya tetap hangat."
Plak!
Aku menamparnya, sekuat tenaga yang hanya kusisakan untuk berteriak seperti orang gila. "Kau pikir sekarang waktu yang tepat untuk bercanda? Demi Tuhan, kita sedang di tengah hutan, Ryan! Bisa saja seekor ular, atau harimau, atau binatang buas lain yang bahkan tidak pernah kau bayangkan datang menyergap saat kau sedang tidur!"
"Lalu, kau ingin aku untuk apa?"Ia memegangi sisi wajahnya yang mungkin memerah terkena tamparanku. "Berteriak-teriak seperti orang gila seperti yang kau lakukan sekarang?"
"Oh, jadi sekarang kau mengejekku? Setidaknya aku berusaha menyadarkanmu untuk melakukan sesuatu! Dan apa yang kau lakukan? Mencari kunang-kunang? Kita bukan sedang dalam jurit malam perkemahan!"
"Aku mencoba untuk tetap tenang," ucapnya. "Percayalah padaku, ketenangan adalah hal yang paling kita butuhkan saat ini."
Mungkin ia benar. Mungkin kami memang harus tetap tenang dan memikirkan baik-baik langkah selanjutnya. Aku menarik napas panjang. "Maafkan aku. Aku... kau tahu, aku benar-benar panik."
Dan takut. Aku memeluk lenganku erat, angin malam yang berhembus membuatku menggigil di balik jaket tipis ini.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan di malam gelap seperti ini. Tidak ada penerangan, tidak ada api, tidak ada penunjuk jalan. Lebih baik kita beristirahat di sini dan menunggu pagi datang."
"Tapi--"
"Ssst, Diana, dengarkan aku. Kali ini saja, tolong dengar dan percaya padaku." Ia menatapku dalam gelap, matanya yang tajam seolah menghujam tepat ke dalam diriku. "Kita akan baik-baik saja."
Ia menarik lenganku, menyeretku lembut, dan mendudukkanku bersamanya, bersandar di sebuah pohon besar.
"Coba percaya padaku."
Entah karena angin malam, atau matanya yang menatapnya tajam, atau genggaman hangatnya di lenganku, aku hanya diam dan menurut. Tak bersuara.
"Pertama, tidak ada binatang buas di hutan ini. Termasuk binatang buas yang mungkin tidak pernah kubayangkan sebelumnya." Oh, dia menyindirku. "Mungkin ada beberapa serangga aneh, dan beberapa ular, tentu saja, tapi aku akan berusaha sebisa mungkin menjaga agar mereka tidak mendekati kita."
Aku mengangguk, tanpa sadar berusaha mendekatkan wajahku ke bahunya.
"Kedua, tenanglah dan beristirahat. Siapkan tenaga untuk petualangan kita di esok hari. Pastikan tubuhmu cukup kuat karena kurasa besok akan menjadi hari yang sangat, sangat... panjang."
"Mm-hmm." Aku mulai merasa sangat lelah dan mengantuk.
"Ketiga, kita akan tidur bersisian agar tetap hangat. Tentu saja kau boleh memelukku kalau kau mau." Ia menambahkan dengan cengiran.
Aku mendengus, tapi entah kenapa malah merapatkan sisi tubuhku padanya, dan menyandarkan wajahku di bahunya. "Baiklah. Sudah semua?"
Ia tertawa. "Anehnya, kali ini kau diam saja tanpa membantah omonganku."
"Aku kan sedang panik. Lagipula kau sendiri yang menyuruhku untuk diam dan percaya."
Gantian ia yang terdiam.
"Baiklah, selamat tidur," kataku akhirnya. Menguap. Rasanya ingin melingkarkan tanganku ke tubuhnya, tapi aku terlalu gengsi. Hubunganku dengan Ryan selama ini tidak begitu bagus, penuh pertengkaran dan segala macamnya. Kalau aku memeluknya sama saja dengan mengakui kekalahanku terhadapnya. Uh, tidak usah, ya.
"Diana."
"Hmm?" Mataku sudah terpejam.
"Aku serius tidak apa-apa kalau kau mau memelukku."
Wajahku pasti memerah sekarang, untunglah sekarang sedang gelap. Seolah-olah ia bisa membaca pikiranku saja. "Mm..."
"Aku suka padamu dari dulu, lho."
Kali ini mau tidak mau mataku terbuka lebar. Apa?
"Diam dan percaya saja, Diana."
Pada akhirnya, ia yang merengkuh tubuhku, meletakkan wajahnya yang dingin di kepalaku. Dapat kurasakan hembusan napasnya meniup pelan rambutku.
"Aku percaya."
Monday, March 07, 2011
#7 Tanpa Kata
Kata selamat tinggal sama sekali bukan kata-kata yang kuharapkan keluar dari mulut seorang Willy padaku. Namun, itulah yang dia katakan.
Air mataku tertahan. Mataku kering. Aku bahkan tidak bisa bersuara untuk membuatnya mengubah pikirannya.
Kenapa? Aku meringis, tapi kata itu tercekat, tersangkut di tenggorokan. Willy menangis, menatapku, ia sepertinya juga tidak menginginkan perpisahan ini, tetapi kenapa ia tetap melakukannya?
“Aku mencintaimu, Lin. Sangat. Hatiku hancur jika harus meninggalkan kamu begitu saja. Tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, Lin, tidak ada.”
Aku tidak bisa menatapnya. Isakannya membuatku merasa tersayat-sayat. Sakit, sangat sakit.
“Tapi ini tidak adil buatmu, Lin, tidak adil bila aku memaksamu untuk terus bertahan bila kamu sendiri sudah tidak kuat. Kamu sudah terlalu lama menderita, Lin, aku tidak bisa terus bersamamu hanya untuk melihatmu terus tersakiti.”
Menderita? Tersakiti? Apa maksudnya semua itu? Aku mencintaimu, Willy! Kuteriakkan kalimat-kalimat itu dalam benakku, berhenti mencoba mengutarakannya lewat mulut. Aku berusaha meraih tangan Willy, mencoba menggenggam kepalan tangannya, membuatnya merasakan keyakinanku bahwa aku begitu mencintainya—tapi ia menghindar, menarik tangannya jauh dariku.
“Kalau aku ingin pergi, silahkan pergi, Lin. Aku... kurasa aku akan bisa melepasmu. Mungkin akan sedikit—bukan, sangat—sakit pada awalnya... tapi aku pasti akan baik-baik saja.”
Aku tidak ingin pergi, Wil, aku ingin di sini, aku ingin bersama kamu. Tidak bisakah kita bersama selamanya seperti janjimu dahulu?
Willy melangkah keluar, pergi. Rasanya separuh diriku sudah pergi bersamanya.
Separuhnya lagi, tertinggal.
Lalu kusadari, sekelilingku putih. Kamar rumah sakit. Selang-selang di sekujur tubuh. Bunyi mesin penanda detak jantung.
Apa aku bisa hidup hanya dengan separuh bagian diriku? Sementara Willy membawanya pergi tanpa pernah akan mengembalikannya?
Aku tidak pernah tahu kekuatan itu datang dari mana. Aku bahkan tidak pernah membayangkan aku akan melakukannya. Namun, begitu saja, saat aku akhirnya mampu membuka mataku dengan jelas dan tanganku mampu untuk digerakkan—meski sangat lemah—satu-satunya hal yang ingin kulakukan adalah mencabut paksa masker oksigen yang terpasang di wajahku.
Lepas.
Sesak, dan mendadak semuanya menggelap.
Satu-satunya yang kusesalkan adalah aku tidak sempat menyaksikan ekspresi Willy saat ia mendapati bahwa aku benar-benar pergi.
Sunday, March 06, 2011
#6 Sakura
Saturday, February 26, 2011
Kisah Malam Minggu
Saturday, February 12, 2011
Ngalor-Ngidul
Friday, February 11, 2011
#5 Aku Rindu
Wednesday, February 09, 2011
#4 Sebuah Percakapan di Layar
Saturday, January 22, 2011
#3 Kolam Ikan
“Kamu percaya?”
Suatu pagi di akhir pekan. Aku dan Mini, berdua di pinggiran kolam ikan di halaman rumah nenek, menatap kecipak koi-koi yang memperebutkan makanan mereka yang kami lempar sembarang ke tengah kolam.
“Percaya apa?”
“Kalau malam, mungkin sekitar jam dua belas tengah malam, ada wanita berambut panjang yang menghampiri kolam ini dan memberi makan ikan-ikan.”
“Oh ya? Aku baru pertama kali dengar cerita itu. Itu sungguhan?”
“Aku tidak tahu. Kurasa... ya.”
Mini berhenti melemparkan makanan ikan, berbalik, dan duduk di batu pinggiran kolam.
“Wanita itu... bukan manusia? Maksudku, bukan Tante Ima yang rambutnya memang agak panjang?”
“Bukan. Kalau manusia... ia nggak akan keluar tengah malam hanya untuk memberi makan ikan.”
Aku tidak mengerti arah pembicaraan ini. Ya, Mini kadang senang bicara yang aneh-aneh, tapi baru pertama kali kudengar cerita yang menyerempet tentang makhluk gaib seperti ini.
“Lalu, kamu takut? Kamu takut sama wanita yang memberi makan ikan itu?”
Mini terdiam. “Aku nggak takut sama dia.. Aku cuma takut dia mengambil rambutku.”
“Rambutmu? Untuk apa?”
“Untuk makanan ikan.”
Untuk sesaat aku terdiam, lalu tertawa hingga bungkusan makanan ikan yang kupegang berhamburan masuk ke dalam kolam. “Tapi Mini,” aku mencoba bicara disela tawa, “ikan kan nggak makan rambut!”
Mini berbalik menatapku, berkacak pinggang. Wajahnya tidak senang. “Tapi wanita itu mengambil rambutku! Aku tahu!”
“Oh, ya? Kalau begitu kenapa dia nggak mengambil rambutku juga?”
“Karena rambutmu pendek dan nggak bagus seperti milikku.” Ia berbalik lagi, lalu kembali melemparkan makanan-makanan ikan ke kolam.
Pembicaraan kami selesai sampai di sana. Tante Eri, ibunda Mimi, memanggil kami untuk makan siang. Aku dan Mini berlomba lari siapa yang paling cepat sampai ke ruang makan.
***
Setahun sejak aku lulus SMP dan keluargaku memutuskan pindah dari perumahan keluarga kami, lalu menetap di sebuah perumahan mewah di pinggiran kota. Tiga tahun sejak aku terakhir bertemu dengan sepupuku Mini.
Sampai suatu hari berita itu datang. Mini meninggal karena leukimia.
Kami sekeluarga berangkat ke rumah duka di tempat Nenek. Di saat semua orang berpakaian hitam-hitam berkumpul di ruang tengah di dekat jenazah Mini, aku pergi ke belakang, ke kolam ikan tempat dulunya aku dan Mini sering mengobrol sambil memberi makan ikan-ikan.
Jadi, itu maksud Mini sebenarnya. Saat dia bilang tentang wanita pemberi makan ikan dengan rambut, mungkin ia sedang membicarakan rambutnya yang rontok karena penyakit yang ia derita.
Mini salah, wanita pemberi makan ikan dengan rambut itu juga suka dengan rambut pendek dan tidak bagus, kok.
Aku mengelus rambutku, yang pendek dan tidak sehalus rambut Mini, dan menatap berkas berbintik merah di sekujur kulitku.
Tampaknya seperti Mini, aku akan bilang kepada kedua orangtuaku aku benci kemoterapi.
Friday, January 21, 2011
#2 Cinta Pertama
“Jangan melulu tentang cinta,” debatnya.
Aku merengut. Padahal satu patah katapun belum sempat kuucapkan, namun kalimatnya telah membuatku menelan kembali berjuta-juta kalimat yang ingin kulimpahkan. Aku menggantinya dengan sebuah pertanyaan, yang lebih seperti sebuah rengekan. “Eh, kenapa memangnya?”
“Karena... aku bosan.”
Jahat sekali! Aku membalikkan badan, memikirkan kata-kata yang tepat. Tega sekali dia! Padahal dia satu-satunya orang yang kupercaya untuk menumpahkan segala keluh-kesahku—ya, tentu saja termasuk tentang cinta—dan selama ini dia tidak pernah mengeluh tentang itu. Tapi sekarang! Ia menolak mendengarkan ceritaku, padahal kumulai saja belum.
“Apa aku semembosankan itu?” Aku merengut, bibirku mengerucut, dan aku melipat tanganku dengan sikap defensif.
Mendesak. Kutatap matanya, namun ia tidak mau menangkap mataku dan malah membuang muka.
“Ti..dak.”
Ha! Aku menangkap sikapnya yang ragu-ragu. Ia mencoba membohongiku, tapi tidak bisa. Aku sudah terlalu hapal dengan gerak-geriknya ketika ia sedang gelisah dan tidak jujur, termasuk seperti sekarang. Kami sudah berteman terlalu lama untuk membuatku tidak akan tertipu begitu saja.
“Maaf, Mel, aku... sedang banyak pikiran akhir-akhir ini. Tentang cinta, juga. Kurasa aku sudah muak.”
Aku membelalak. Tentang cinta? Al sedang jatuh cinta, tapi aku bahkan tidak pernah tahu?
“Kamu jatuh cinta, Al?”
Ia memutar matanya, ragu-ragu. Perlahan ia menjawab, “Ya. Ya... kurasa aku jatuh cinta.”
Seakan-akan bumi menyedotku dengan cepat ke dasarnya, aku limbung dan pikiranku mengawang entah kemana.
Al jatuh cinta.
Akhirnya.
Semester pertama di kelas 2 SMP, aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada Al. Bukan, bukan rasa suka biasa, aku yakin itu cinta. Cintaku yang pertama. Tapi aku dan Al sudah berteman sejak kami kecil. Sejak kami masih sama-sama mengenakan popok dan tidur siang bersama di rumah pohon buatan orang tua kami. Dan aku sadar, Al jelas hanya menganggapku sebagai seorang saudara perempuan biasa. Gadis kecil dengan kuncir dua, yang selalu menemaninya setiap saat di mana-mana, termasuk memanjat genteng tetangga saat layangan kami tersangkut karena angin yang berhembus terlalu kencang.
Lalu aku melupakan semuanya. Persahabatan kami terlalu berharga untuk dikorbankan demi perasaan cintaku yang aneh dan berat sebelah. Aku berkali-kali pacaran dengan beberapa anak dari kelas sebelah, bahkan beberapa senior di SMP, dan Al bahkan membantuku di setiap kencanku. Ia tetap Al yang biasa, bersemangat, dan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda jatuh cinta—apalagi padaku.
Dan sekarang, semester kedua kelas 1 SMA, ia jatuh cinta. Hatiku patah.
“Siapa, Al?”
Ia menatapku bingung.
“Siapa gadis itu, yang kamu jatuhi cinta?” Aku tercekat saat mengucapkan pertanyaan itu. Sedikit tidak rela. Berkali-kali menjalani hubungan ecek-ecek, pacaran dengan para laki-laki itu, tidak pernah membuatku puas. Kurasa aku tidak pernah benar-benar mencintai salah satu dari mereka seperti aku mencintai Al.
Detik demi detik, Al masih tidak menjawab.
Dalam beberapa sela waktu yang terasa panjang itu, dalam hati aku berharap, ia akan mengatakan bahwa itu aku...
“Dia... Wilda.”
Wilda? Pikiranku melayang. Siapa Wilda?
Lalu aku teringat pada sosok itu. Tinggi, tegap, salah satu anggota tim inti klub basket sekolah.
“Kamu yakin, Al?”
Ia mengusap belakang kepalanya. “Sudah kuduga, kamu nggak akan senang mendengarnya, Mel.”
Rasanya duniaku runtuh. Al, cowok cinta pertamaku, satu-satunya cowok yang pernah kucinta...
..... jatuh cinta pada cowok lainnya.
Saturday, January 15, 2011
#1 Dingin
Tak kupercaya aku menghancurkan benda-benda itu. Mataku sudah buta karena amarah. Semua barang yang ada di hadapanku kulempar hingga berhamburan dan pecah berkeping-keping. Beberapa serpihan mengenai kulitku, meninggalkan goresan-goresan yang kadang dalam dan panjang; mengucurkan darah.
Sakit? Tidak, tidak ada rasanya. Bahkan geli pun tidak. Aku cuma capek, muak, kesal, dan... penuh kebencian.
Seandainya bisa kulemparkan pigura itu ke wajahnya, meretakkan tulang tengkoraknya, menyayat dalam kulit pipinya, atau sekedar mematahkan hidungnya...
Sayang sekali dia tidak ada di sini, sayang sekali dia tidak bisa kuhancurkan.
Maka ku banting pigura itu ke lantai porselen yang berkilap, membuat kaca pelindung fotonya berderai menjadi beling-beling menyilaukan, dan ukiran-ukiran kayu yang sebelumnya tampak mahal kini cuma seperti potongan ranting kayu bakar.
Aku menginjak pecahan-pecahan itu dengan kakiku yang telanjang, merasakan serpihan-serpihan kaca mengoyak kulit kakiku, menembus dagingku, dan lantai mulai terasa licin karena darah yang mengalir.
Aku melirik lantai yang merah, foto yang masih utuh itu ikut memerah, tapi aku masih bisa melihat ke dalam wajah-wajah yang tersenyum dalam foto, munafik...
"Vio?"
Aku mengalihkan pandanganku pada pintu yang diketuk.
Dia datang.
"Ya?" Aku menjawab datar.
"Kamu nggak apa-apa? Aku tadi dengar suara-suara..."
"Nggak, aku nggak apa-apa. Cuma... nyenggol pigura."
"Oh... kamu yakin? Aku boleh masuk?"
Selamat, kupu-kupu dengan sukarela masuk ke sarang laba-laba.
"Ya... masuk aja."
Pintu berderit membuka, perlahan, aku meraih satu pigura lagi yang berisikan foto aku dengan dia...
... dan menghantamkan kacanya tepat di puncak kepalanya.
Ia tidak sempat berteriak; aku tidak sempat mengucapkan sepatah kata.
Pintu berderit saat kututup, menyamarkan suara tubuhnya yang jatuh menimpa pecahan-pecahan barang yang berhamburan.
Semua karena kamu. Ya, kamu.
Pesanmu yang kuterima di ponselku beberapa puluh menit yang lalu sudah meluluh lantakkan hidupku.
Kesalahanmu adalah, kamu memutuskan hubunganmu dariku, padahal aku masih mencintaimu, sangat mencintaimu.
Oh, dan alasan bodohmu bahwa aku terlalu dingin, kaku, bahkan menyeramkan.
(Apa aku begitu? Kurasa kamu lah orangnya yang selalu mengatakan aku tampak cantik meski aku hanya menatap kosong pada apapun?)
Namun kesalahan terbesarmu adalah, saat kamu memilih dia menjadi penggantiku.
Dia, orang yang--dulunya--sahabatku.
Lalu dia mencuri perhatianmu dan sekarang duniamu berpusat kepadanya. Dia segalanya bagimu.
Dia; si gadis hangat, lembut dan manis idamanmu.
Apakah kamu yakin?
Yang kulihat sekarang, dia cuma terbujur dingin, kaku, bahkan menyeramkan saat aku mulai mengoyak-ngoyak kulitnya dengan potongan-potongan kaca.
10 Hari Menulis Flash Fiction
Flash fiction adalah karya fiksi yang sangat singkat, bahkan lebih ringkas daripada cerita pendek. Walaupun tidak ada ukuran jelas tentang berapa ukuran maksimal sebuah flash fiction, umumnya karya ini lebih pendek dari 1000 atau 2000 kata. Rata-rata flash fiction memiliki antara 250 dan 1000 kata.
Keterbatasan jumlah kata flash fiction sendiri sering kali memaksa beberapa elemen kisah (protagonis, konflik, tantangan, dan resolusi) untuk muncul tanpa tersurat; cukup hanya disiratkan dalam cerita.